Rabu, 05 November 2014

Di Keheningan Malam

Aku terkadang malu kepada keteranganku sendiri..
Mengaku mencinta tapi jauh dari takwa..
Sementara diri bangga dengan dosa-dosa..
Seakan akan hidup untuk selamanya..

Pada heningnya malam.
Aku mencoba bermuhasabah.
Bertanya pada jiwaku yang penuh dosa.

Andaikan ini akhirnya.
Aku tak mampu berbuat apa-apa.
Diriku tertunduk tak berdaya.
Tatkala nafas berhenti berhembus di dalam jiwa.
Dan kedua mata tertutup untuk selamanya.
Apa yang akan kubawa menghadap kepada-Nya?

Tak terhitung betapa banyak nikmat-Mu yang kusia-siakan.
Dunia benar-benar membuatku kehilangan.
Kehilangan akan cinta-Mu.
Dan membuatku bagaikan seorang pengembara yang tak tahu ke mana arah yang dituju.

Dan kini, sudah terlalu jauh aku tersesat dalam lautan dosa.
Yang membuat diri seakan hampa.
Lantas, masih pantaskah hati ini mengharap cinta-Mu?
Serta berada dalam dekapan ampunan-Mu?

Yaa Allah, bimbing aku untuk kembali ke jalan-Mu.

Imam Asy Syafi'i

Sebagai seorang pemuda muslim, kisah tentang pemuda-pemuda salaf pada zaman Rasulullah dan generasi shalih setelahnya merupakan panutan wajib yang harusnya menjadi tolak ukur kehidupan ideal seorang pemuda muslim.

Salah satunya adalah kisah tentang Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i atau Imam Syafi’i. Sejak kecil, beliau merupakan seorang yatim dan hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, namun hal itu tidak membuat kehidupan ilmiah dan tekad menuntut ilmu Imam Syafi’i menjadi pudar, sebaliknya Imam Syafi’i adalah seorang yang sangat giat dalam menuntu ilmu bahkan Imam Syafi’i harus menulis catatannya di potongan tulang dan dikumpulkan dalam karung. Hal tersebut mengambarkan betapa penuh keterbatasannya Imam Syafi’i di masa mudanya. Merenungi kisah Imam Syafi’i membuat sebuah pertanyaan muncul di benak saya, apa yang telah saya capai dalam kondisi yang serba berkecukupan seperti sekarang. Tidak perlu lagi menulis di potongan tulang untuk mencatat karena teknologi dan jumlah buku yang begitu mudah didapat serta “berserakannya” buku-buku berbobot di berbagai sudut kehidupan kampus membuat pertanyaan tersebut sangat menohok saya yang hidup di zaman yang serba mudah ini.

Jika dalam kondisi yang terbatas, Imam Syafi’i mampu menghafal kitab suci Al-Quran pada usia yang masih sangat belia, apa yang telah saya hafal di usia yang akan meninggalkan usia remaja ini?

Jika Imam Syafi’i mampu menjadi mufti dan mampu memberikan manfaat kepada umat di saat beliau belum baligh, apa yang telah saya lakukan untuk diri sendiri dan orang-orang sekitar dalam memberi manfaat?

Mungkin kita, pemuda muslim di zaman sekarang tidak akan mampu menyamai kekhusyuan, keikhlasan dan kebesaran Imam Syafi’i, namun setidaknya Imam Syafi’i pantas dan harusnya menjadi panutan serta contoh dalam menjadi muslim tangguh di zaman yang sering disebut zaman edan ini.

Untuk Apa Aku Diciptakan ?

Satu pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama. Pertanyaan yang akan membuat manusia tersadar dari berbagai perbuatan-perbuatan buruk yang selama ini dilakukan secara berkelanjutan. Dengan menjawab pertanyaan tersebut kita akan mengetahui tujuan diciptakannya manusia, tujuan diberikannya nafas dan kehidupan untuk manusia.

Manusia diciptakan untuk beberapa urusan yang maha penting karena itulah Sang Pencipta menciptakan manusia, bumi, langit dan seisinya serta mengutus beberapa orang rasul untuk menyeru setiap umat agar melaksanakan tujuan tersebut.

Untuk apakah aku diciptakan? Manusia diciptakan salah satunya dengan tujuan agar manusia beribadah kepada Allah tanpa sedikit pun menyekutukan-Nya dengan sesuatu hal yang lain.

Tertuang dengan jelas di dalam Al-Quran surah Adz Dzariyat ayat 56.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”

Supaya manusia beribadah, salah satu tujuan diciptakannya manusia. Beribadah tidak hanya sebatas melaksanakan rukun Islam dan rukun Iman masih banyak lagi bentuk-bentuk ibadah yang selama ini mungkin kita tidak menyadarinya.

Shalat, mengaji, berzakat, naik haji merupakan beberapa contoh ibadah yang sudah jelas kita ketahui. Selain itu, melakukan hal-hal kebaikan, membaca buku, menolong sesama, menulis, hormat-menghormati dan masih banyak lagi bentuk ibadah lainnya. Bahkan, ketika seseorang bekerja atau menuntut ilmu (sekolah atau kuliah) pun tetap dikategorikan dalam hal beribadah jika diniatkan semua itu untuk beribadah.

Semua kebaikan yang dilakukan oleh manusia jika dia meniatkan sebagai ibadah dalam rangka mendekatkan diri dan mematuhi segala perintah-Nya maka hal yang dia lakukan tersebut akan bernilai ibadah. Ibadah yang akan membuat hati manusia lebih tenang sebab dari ibadahnya itu sebagai bentuk ingatnya manusia pada Sang Khalik.

Ingat kepada Sang Khalik tidak hanya pada saat shalat, saat beraktivitas apapun kita dianjurkan agar tetap ingat kepada-Nya. Namun, terkadang diri ini lebih banyak lupa daripada ingat kepada Zat Yang Maha Agung.

Minimal jika kita tidak mampu mengingat-Nya dalam segala aktivitas yang diperbuat. Ingatlah Dia tatkala adzan berkumandang agar segera melepaskan segala pekerjaan-pekerjaan yang beraromakan keduniaan menuju kehidupan akhirat dengan cara beribadah lewat shalat fardhu.

Jika kita menyadari bahwa salah satu tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah maka tak ada rasa untuk malas beribadah ataupun berani meninggalkan ibadah-ibadah yang telah disyariatkan baik di Al-Quran ataupun as-sunnah yang menjadi panutan setiap insan.

Manusia akan menyadari bahwa ada Zat yang harus disembah dengan berbagai ibadah yang dilakukannya. Jika dia tak mau beribadah. Apakah dia masih meragukan Zat tersebut? Ataukah selama ini pintu hatinya tertutup rapat dari mengenal dan mengakui akan keberadaan-Nya?

Beribadah bisa dilakukan di manapun, kapanpun dan dalam bentuk apapun. Tidak hanya terpaku pada satu ibadah.

Justru Islam hadir dengan berbagai ibadah yang memberikan kemudahan untuk umat Islam dalam mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Bukan menjadi beban yang harus dikerjakan secara terpaksa.

Ibadah sendiri merupakan kebutuhan bagi manusia. Layaknya makan dan minum yang menjadi kebutuhan pokok manusia. Manusia akan merasa kekurangan ataupun ada yang hilang jika tidak makan atau minum selama satu hari.

Begitu pula dengan ibadah, jika seseorang tidak beribadah dalam sehari terutama ibadah wajib yakni shalat fardhu maka dirinya akan merasa kekurangan atau gelisah sebab kebutuhannya belum tercapai.

Jika dengan makanan kita memenuhi kebutuhan fisik maka dengan ibadah kita akan memenuhi kebutuhan rohani. Tidak hanya fisik yang memerlukan makanan tetapi rohani pun memerlukan asupan agar menjadi tenang dan tenteram seperti fisik yang telah diberikan makan dan minum sehingga menjadi tenang dan sehat.

Untuk apa aku diciptakan? Satu kalimat itulah yang seharusnya diulang-ulang bagi diri manusia yang hingga saat ini masih berani berbuat keburukan pada dirinya ataupun orang lain di muka bumi. Jika diri ini masih berani melanggar perintah-Nya dan mengerjakan larangan-Nya maka diri ini belum mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Apakah manusia diciptakan di dunia ini untuk melanggar perintah dan menjalankan larangan-Nya?

Tatkala diri ini tersadar dengan kesalahan-kesalahan yang telah lama diperbuat dan keburukan-keburukan yang belum terhapuskan. Maka, perlahan-lahan diri ini akan menjauhi hal-hal yang salah dan buruk tersebut. Menuju pada hal-hal yang baik dan bermanfaat yang akan berbuah kebaikan dan pahala bagi diri sendiri maupun orang lain.

Lewat ibadah kita menjawab pertanyaan yang selama ini belum terpecahkan. Lewat ibadah pula kita tersadarkan bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Zat Yang Maha Agung yang akan bermuara pada kesadaran diri bahwa manusia itu kecil, hina, tak punya apa-apa, dzalim ketika berada di hadapan-Nya.

Azzamkanlah dengan kuat di dalam diri kita. Aku diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang akan menuntun manusia kepada cahaya Ilahi yang selama ini sangat dinanti-nanti. Cahaya yang akan mengantarkan setiap makhluk ke suatu tempat yang indah dan tak pernah terbayangkan sedikitpun saat berada di dunia. Sebab, tempat itu tak ada yang pernah melihat, mendengar, mencium ataupun merasakannya.

Tempat tersebut telah disiapkan bagi orang-orang yang beriman dan selalu melaksanakan amal ibadah serta kebaikan. Tempat bagi orang-orang yang mampu menjawab satu pertanyaan inti ketika berada di dunia yakni, untuk apakah aku diciptakan?

Bangkrut yang Sebenarnya

Rasulullah Saw pernah berdiskusi dengan para sahabatnya tentang definisi orang yang merugi. "Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?" tanya Rasul Saw. Para sahabat berpendapat, orang bangkrut adalah mereka yang tidak mempunyai dirham maupun dinar. Ada juga yang berpendapat mereka yang rugi dalam perdagangan. Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah mereka yang datang pada Hari Kiamat dengan banyak pahala shalat, puasa, zakat, dan haji.

Tapi di sisi lain, ia juga mencaci orang, menyakiti orang, memakan harta orang (secara bathil), menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Ia kemudian diadili dengan cara membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang pernah dizaliminya. Ketika telah habis pahalanya, sementara masih ada yang menuntutnya maka dosa orang yang menuntutnya diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun dilemparkan ke dalam neraka." (HR Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).

Hadis ini mengubah cara pandang para sahabat tentang kerugian yang sebenarnya bukanlah persoalan harta, melainkan amal ibadah. Amal ibadah tak bernilai apa-apa, kecuali diikuti dengan amal sosial.

Pahala menggunung tak ada artinya tanpa diikuti dengan akhlak yang baik. Baiknya pemahaman agama seseorang dibuktikan dengan baiknya akhlak dan perilaku. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Kebanyakan yang menjadikan manusia masuk surga adalah takwa kepada Allah Swt dan akhlak yang mulia." (HR Ahmad).

Sebagaimana kisah berangkat haji seorang tabi’in, Ali bin Muwaffaq. Dari 60 ribu jamaah haji yang datang ke Tanah Suci, hanya haji Ali bin Muwaffaq seorang yang mabrur. Padahal, sebenarnya ia tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Ali menemukan satu keluarga yang kelaparan dalam perjalanan hajinya dari Damaskus. Ia pun membatalkan perjalanan hajinya dan memberikan bekalnya kepada orang yang kelaparan itu.

Kisah masyhur yang ditulis Abdullah bin Mubarak ini mengisyaratkan, tak ada artinya ibadah sehebat apa pun tanpa peduli dengan kondisi sosial. Betapa banyak mereka yang pulang pergi ke Tanah Suci, namun tetangganya sendiri berada dalam kesusahan. Apa artinya seorang Muslim berangkat haji dari lingkungan yang melarat dan kelaparan?

Ibadah haji sebagai rukun Islam terakhir menjadi ibadah tertinggi di sisi Allah. Tak ada balasan yang lebih pantas bagi seorang yang mendapatkan haji mabrur, kecuali surga. Namun pada kenyataannya, kepedulian sosial jauh lebih mahal harganya dari ibadah individual. Menyakiti orang lain bisa menghapuskan nilai ibadah yang telah susah payah diperjuangkan.

Kepedulian seorang Ali bin Muwaffaq telah menuntunnya mendapatkan haji mabrur. Kendati tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci, ia diberikan hadiah haji mabrur dari Sang Khaliq. Hal ini memperlihatkan, akhlak yang baik merupakan bukti kesempurnaan ibadah seseorang.

Allah Swt tak (hanya) menginginkan hasil, melainkan melihat prosesnya juga. Proses perjalanan haji seorang Ali bin Muwaffaq telah memperlihatkan akhlak yang agung. Itulah alasannya, ia mendapatkan balasan yang baik dari perjalanan hajinya. Rasulullah Saw dikenal sebagai orang yang paling baik akhlaknya. Lisannya tak pernah menghardik, apalagi menyakiti orang lain. Sikap dan tindak tanduk Beliau senantiasa disukai, baik kawan maupun lawan. Tak pernah Rasulullah Saw melukai siapa pun.

Baiknya hubungan vertikal kepada Allah Swt harus dipadu dengan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Keindahan Islam terlihat dari keagungan akhlak para penganutnya. Mereka yang dilembutkan hatinya (mualaf) terbuka untuk menerima Islam sebagai agamanya, kebanyakan karena melihat keindahan akhlak yang dituntunkan Islam.

Nabi Tidak Menemuinya Karena Rokok

Diceritakan oleh Al Habib Umar bin Muhammad bin Hafidzh  bahwa sekitar 40 tahun yang lalu, ada seorang Syaikh yang istiqamah berada di Masjid Nabawi, istiqamah berziarah ke Nabi Muhammad sallallahu alaihi wassalam.

Suatu ketika beliau tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam sedang mondar-mandir dari pusara beliau ke Raudhah, sehingga membuat bingung Syaikh tersebut dan bertanya kepada
Rasulullah: “Kenapa engkau mondar-mandir ya Rasulullah dari pusaramu ke Raudhah?”

Sang nabi yang mulia Muhammad sallallahu alaihi wassalam menjawab: “Aku ingin menjumpai salah satu cucuku yang sedang shalawat kepadaku di Raudhah namun aku tidak dapat menjumpainya karena di dalam
kantungnya ada rokok.”

Tidak lama kemudian terbangunlah Syaikh tersebut. Dilihatnya salah seorang yang sedang duduk persis seperti yang ada di dalam mimpinya.

Syaikh tersebut mendatangi sayyid tersebut dan menceritakan perihal mimpinya berjumpa dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa salam dan  bahwasanya Rasulullah tidak dapat menjumpainya karena di dalam kantungnya ada rokok.

Mendengar itu sayyid tersebut menangis dan membuang rokoknya. Sejak itu sayyid tersebut taubat dari merokok.. Wallahua’lam..

Semoga yang masih merokok diberi hidayah berhenti merokoknya dan yang tidak merokok diberi keistiqamahan tidak merokok..
Amin.

Menjaga Wudhu

Dikisahkan pada saat sahabat berkumpul dengan Rasulullah. Beliau bersabda,
“Ada salah seorang dari sahabat kita yang bunyi terompah (sandal) terdengar di dalam surga”
“Wahai Rasulullah, bunyi terompah siapakah itu?”
“Bilal bin Rabbah”

Kemudian Rasulullah bertanya kepada Bilal yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
“Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau amalkan dalam Islam, karena aku sungguh telah mendengar gemerincing sandalmu di tengah-tengahku dalam surga.”

Bilal berkata, “Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling kuharapkan di sisiku, hanya aku tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku shalat bersama wudhu itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku.” (HR Bukhari).

Subhanallah, seorang Bilal bin Rabbah suara gemerincing sandalnya sudah terdengar di dalam surga hanya karena mengamalkan dan menjaga wudhu. Apakah kita bisa mencontohnya?

Zaman sekarang kita hanya mengenal wudhu pada saat hendak melaksanakan sholat, sebab sholat tanpa wudhu maka tak akan sah sholatnya. Diluar sholat kita tak mengenal wudhu. Padahal, dengan berwudhu kita menjaga kesucian badan, hati dan pikiran terutama menjaga dari berhadast kecil.

Dengan berwudhu, tetesan-tetesan air wudhu itulah yang akan mengugurkan dosa-dosa manusia yang tak terhingga jumlahnya. Apakah kita merasa tidak mempunyai dosa sehingga hanya mau berwudhu lima kali sehari itupun ketika melaksanakan sholat? Jika sholat ditinggalkan maka wudhu pun ikut ditinggalkan. Astaghfirullah…

Lewat berwudhu secara tidak langsung kita membersihkan mikroba-mikroba yang ada di jemari, hidung, wajah, tangan, telinga dan kaki. Bukankah mikroba itu sumber dari penyakit? Jika kita berwudhu berarti kita telah menghilangkan mikroba-mikroba yang akan membuat manusia menjadi sakit.

Orang yang menjaga wudhu dalam kesehariannya maka dia akan selalu berada dalam kesucian. Ketika dia berhadast kecil, baik buang air besar ataupun buang air kecil terlebih jika mengeluarkan angin maka dia perbaharui kembali wudhunya agar tetap dalam kondisi suci.

Ketika seseorang berada dalam kesucian maka lindungan dan rahmat-Nya selalu menyertainya. Bahkan malaikat pun tak segan-segan untuk selalu menjaga dan membersamai dalam setiap langkah dan gerak dalam aktivitas sehari-harinya. Tak maukah kita selalu dijaga dan dibersamai malaikat?

Lihatlah orang yang selalu menjaga wudhunya. Kita akan menemui wajah yang berseri-seri, ada keteduhan tersendiri yang tak semua orang bisa merasakannya. Orang yang melihatnya saja sudah bahagia dan merasa terteduhkan. Bagaimana dengan orang yang merasakan sendiri?

Di hari kiamat kelak, wudhu umat muslim akan menjadi pertanda bahwa dia adalah umat Rasulullah, wajahnya akan bercahaya dan semua anggota tubuh yang dia jaga wudhunya ikut bercahaya. Sehingga, pada saat itu sangat mudah dikenali bahwa dia adalah umat Rasulullah.

Apakah kita ingin menjadi umat Rasulullah hingga hari kiamat? Ataukah kita hanya ingin menjadi umatnya di dunia saja? Jika kita menjadi umatnya hingga hari kiamat kelak dia pun akan menuntun dan memberikan syafaat bagi umatnya agar ikut berbahagia di dalam sebuah tempat yang hanya orang-orang beriman dan beramal sholeh yang akan menjadi penghuninya.

Ketenangan hati pun akan dirasakan bagi orang yang mampu menjaga wudhu karena saat dia dalam kondisi suci limpahan rahmat-Nya tercurahkan secara luas. Apalah artinya segala perkara dunia jika rahmat-Nya telah tercurahkan?

Berwudhulah jika kita merasakan kegelisahan. Buktikan sendiri, dengan berwudhu sedikit demi sedikit kegelisahan tersebut akan berkurang. Bahkan Rasulullah mengajarkan kepada kita jikalau kita hendak marah maka redamlah kemarahan itu dengan berwudhu.

Apabila seseorang sudah dalam kondisi berwudhu (menjaga wudhu) apakah dia akan mudah marah? Salah satu kelebihan yang akan kita peroleh ketika mampu menjaga wudhu yakni kita mampu memendam amarah ketika situasi tidak memungkinkan terjadi pada diri.

Pada saat itu pula kita akan merasa selalu diawasi oleh Allah sehingga kita akan merasa malu untuk berbuat keburukan ataupun maksiat yang melanggar larangan-Nya.

Terlalu sulitkan untuk menjaga wudhu? Membangun sebuah kebiasaan adalah salah satu kuncinya. Jika kita sudah terbiasa ketika batal wudhu kemudian berwudhu maka tak akan ada rasa beban sedikit pun untuk menjaga wudhu.

Di dalam kitab suci umat Islam di jelaskan bahwa Allah itu menyukai orang-orang yang bersuci. Bagaimanakah rasanya jika kita termasuk di dalam golongan orang-orang yang disukai-Nya? Tentu, apapun yang dikehendaki akan Dia berikan dan kabulkan. Layaknya, seorang manusia yang menyukai atau mencintai seseorang, dia akan rela melakukan dan memberikan apapun untuk orang yang dia sukai. Begitu pula Allah, akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya jika dia termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapatkan kasih sayang dan cinta-Nya.

Apakah kita tidak mau memperoleh cinta dan kasih sayang-Nya?
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan orang-orang yang bersuci.”
(QS. Al-Baqarah ayat 222).

Mari kita biasakan diri ini untuk selalu berada di dalam kesucian dengan tetap selalu menjaga wudhu agar diri ini selalu bersih dan suci tidak hanya fisik, pikiran dan hati pun akan mengikuti jika kondisi diri dalam keadaan suci.

Naungan dan limpahan rahmat-Nya pun tercurahkan bagi orang-orang yang mampu menjaga dirinya agar selalu berada dalam kondisi suci (menjaga wudhu). Tak menutup kemungkinan kita pun akan mendapatkan hadiah seperti yang dihadiahkan kepada para sahabat terdahulu yang dengan rutin menjaga wudhu yakni tempat istimewa yang kekal dan abadi dengan kebahagiaan tak terhenti.

Menanggapi Siaran TV One 14 Oktober 2014

Dalam acara ILC di TV One hari Selasa 14 Oktober 2014, Ketua Umum GP Anshor Nusron Wahid dan Sekjen PBNU Marsudi Syuhud bersama pendeta Katolik Benny sepakat bahwa Ahok boleh dan sah sebagai pemimpin di Jakarta yang mayoritas muslim sesuai konstitusi.

Sedang Ketua umum Fron Pembela Islam (FPI) Habib Muhsin bin Ahmad Alattas yang hadir dalam acara tersebut dengan didampingi Ketua Hisbah DPP FPI KH. Awit Masyhuri dan Sekum FPI KH. Ja’far Shiddiq tetap pada prinsip Islam, bahwa si kafir Ahok haram jadi pemimpin di Jakarta sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Al-Ijma.

Jadi, silahkan warga NU dan Anshor dipimpin Ahok, sedang komponen umat Islam lainnya termasuk warga FPI tidak akan pernah mau dipimpin Ahok.

Tidak cukup sampai di situ, Nusron Wahid yang konon stres karena dipecat Golkar dan batal dilantik menjadi anggota DPR menyebut kalimat kekufuran. “Ayat Konstitusi di atas ayat Al-Qur’an,” katanya

Secara spontan Ketua Majelis Syura DPP FPI KH. Misbahul Anam yang hadir dalam acara tersebut menyatakan, “Kepada semua anggota GP Anshor di seluruh Indonesia sesuai “Fatwa” Ketumnya, maka mulai besok jangan baca ayat Al-Qur’an tapi baca saja Ayat Konstitusi, dan kalau sekarat atau mati maka jangan dibacakan Yasin, tapi bacakan saja ayat Konstitusi.”

Nusron mengatakan bahwa hukum konstitusi lebih tinggi dari hukum agama, maka menurut FPI, mulai besok harap semua anggota GP Ansor agar baca UUD saja, tidak perlu baca Al Qur’an. Kalo mati gak perlu dibacakan Yasin, tapi dibacakan UUD 45 saja.

Menurut FPI, kalimat Nusron yang menyatakan bahwa hukum konstitusi lebih tinggi dari hukum agama adalah bentuk kekufuran yang nyata. Sudah tidak pantas lagi ini orang digolongkan sebagai golongan Muslimin. Karena dia telah murtad secara terbuka didepan umum. Wal’iyadzubillah

Mereka kaum-kaum kafir dan munafiq mengatakan apabila kita ummat Islam tidak mau menerima hukum konstitusi, mereka mempersilahkan kita kluar dari Indonesia.

Untuk kaum kafir dan munafiq, FPI yang merupakan komponen umat Islam Indonesia yang sah menyerukan,”Dengarlah wahai kaum yang anti dengan hukum Allah, apabila kalian tidak setuju dengan hukum Allah dan merasa ada hukum lain yang lbh tinggi dari hukum Allah, maka kami mempersilahkan kalian keluar dari bumi Allah.”

Kamis, 02 Oktober 2014

Tata Cara Hisab di Akhirat

Orang-orang yang dihisab pada hari kiamat ada dua golongan:

Di antara mereka ada yang dihisab dengan hisab yang mudah, yaitu dilewatkan saja.
Dari Aisyah radhiyAllahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak ada seseorang yang dihisab pada hari kiamat kecuali binasa.’ Saya katakan: ‘Wahai Rasulullah, bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya hal itu hanyalah sekedar lewat, dan tidak ada seseorang yang dihisab pada kiamat kecuali disiksa.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari No. 6537 dan ini adalah lafazhnya, dan Muslim No 2876.)

Di antara mereka ada yang dihisab dengan hisab yang susah dan ditanya tentang segala yang kecil dan besar.
Jika ia benar, maka alangkah baiknya. Dan jika ia berusaha bohong atau menyembunyikan, maka sesungguhnya ditutup mulutnya dan anggota tubuhnya yang berbicara, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yasiin: 65).

Umat-umat yang Dihisab

Hisab pada hari kiamat berlaku umum kepada semua umat kecuali mereka yang dikecualikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka adalah 70.000 orang dari umat ini, mereka masuk surga tanpa hisab dan tidak ada siksa.

Orang-orang kafir akan dihisab dan diperlihatkan amal perbuatan mereka pada hari kiamat sebagai celaan bagi mereka. Mereka berbeda-beda dalam siksaan. Siksaan orang yang banyak kejahatannya lebih besar dari pada siksaan orang yang memiliki kesalahan sedikit. Barangsiapa yang memiliki kebaikan-kebaikan niscaya diringankan siksaan darinya, akan tetapi dia tidak masuk surga.

Umat yang pertama kali dihisab adalah umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan amal perbuatan yang pertama kali dihisab adalah shalat. Jika shalatnya baik niscaya baiklah semua amalnya dan jika rusak niscaya rusaklah semua amalnya. Dan yang pertama kali diputuskan di antara manusia adalah persoalan darah.

Tata Cara Hisab di Akhirat

Orang-orang yang dihisab pada hari kiamat ada dua golongan:

Di antara mereka ada yang dihisab dengan hisab yang mudah, yaitu dilewatkan saja.
Dari Aisyah radhiyAllahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak ada seseorang yang dihisab pada hari kiamat kecuali binasa.’ Saya katakan: ‘Wahai Rasulullah, bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya hal itu hanyalah sekedar lewat, dan tidak ada seseorang yang dihisab pada kiamat kecuali disiksa.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari No. 6537 dan ini adalah lafazhnya, dan Muslim No 2876.)

Di antara mereka ada yang dihisab dengan hisab yang susah dan ditanya tentang segala yang kecil dan besar.
Jika ia benar, maka alangkah baiknya. Dan jika ia berusaha bohong atau menyembunyikan, maka sesungguhnya ditutup mulutnya dan anggota tubuhnya yang berbicara, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yasiin: 65).

Umat-umat yang Dihisab

Hisab pada hari kiamat berlaku umum kepada semua umat kecuali mereka yang dikecualikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka adalah 70.000 orang dari umat ini, mereka masuk surga tanpa hisab dan tidak ada siksa.

Orang-orang kafir akan dihisab dan diperlihatkan amal perbuatan mereka pada hari kiamat sebagai celaan bagi mereka. Mereka berbeda-beda dalam siksaan. Siksaan orang yang banyak kejahatannya lebih besar dari pada siksaan orang yang memiliki kesalahan sedikit. Barangsiapa yang memiliki kebaikan-kebaikan niscaya diringankan siksaan darinya, akan tetapi dia tidak masuk surga.

Umat yang pertama kali dihisab adalah umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan amal perbuatan yang pertama kali dihisab adalah shalat. Jika shalatnya baik niscaya baiklah semua amalnya dan jika rusak niscaya rusaklah semua amalnya. Dan yang pertama kali diputuskan di antara manusia adalah persoalan darah.

Hadats Besar & Sebabnya

Pengertian

Hadats besar adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang dalam keadaan janabah. Dan janabah itu adalah status hukum yang tidak berbentuk fisik. Maka janabah tidak identik dengan kotor.

Ada beberapa penyebab kenapa seseorang menyandang status sedang janabah, diantaranya adalah keluar mani.

Dalam hal ini. orang yang mengalami keluar mani, baik dengan sengaja atau tidak sengaja, meski dia telah mencuci maninya dengan bersih lalu mengganti bajunya dengan yang baru dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.

Penyebab Hadats Besar

Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats besar antara lain adalah keluar mani, bertemunya dua kemaluan, meninggal dunia, mendapat haidh, nifas dan melahirkan bayi.

Ketiga penyebab pertama itu bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan, sedangkan tiga penyebab yang terakhir hanya terjadi pada diri perempuan.

Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan.

Keluar Mani
Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah baik dengan cara sengaja (masturbasi) atau tidak.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:

Dari Abi Said Al Khudhri Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air (keluarnya sperma). (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun ada sedikit berbedaan pandangan dalam hal ini di antara para fuqaha’.

Mazhab Al Hanafiyah Al Malikiyah dan Al Hanabilah mensyaratkan keluarnya mani itu karena syahwat atau dorongan gejolak nafsu baik keluar dengan sengaja atau tidak sengaja. Yang penting ada dorongan syahwat seiring dengan keluarnya mani. Maka barulah diwajibkan mandi janabah.

Sedangkan mazhab Asy-syafi’iyah memutlakkan keluarnya mani baik karena syahwat atau pun karena sakit semuanya tetap mewajibkan mandi janabah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah jilid 16 halaman 49)

Sedangkan air mani laki-laki itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan mazi:

Dari aromanya air mani memiliki aroma seperti aroma ‘ajin (adonan roti). Dan seperti telur bila telah mengering.
Keluarnya dengan cara memancar sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: من ماء دافق
Rasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda.
Mani Wanita

Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya”Ya Rasulullah sungguh Allah tidak mau dari kebenaran apakah wanita wajib mandi bila keluar mani? Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab”Ya bila dia melihat mani keluar”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa wanita pun mengalami keluar mani bukan hanya laki-laki.

Bertemunya Dua Kemaluan
Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan (jima’). Dan para ulama membuat batasan: dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj wanita atau faraj apapun baik faraj hewan.

Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi di luar larangan perilaku itu.

Hal yang sama berlaku juga untuk wanita dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki baik dewasa atau anak kecik baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya mewajibkan mandi di luar masalah larangan perilaku itu.

Semua yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi meskipun tidak sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kami mandi.”

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Bila seseorang duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi) maka sudah wajib mandi. (HR. Muttafaqun ‘alaihi).

Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Meski pun tidak keluar mani”

Meninggal
Seseorang yang meninggal maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang orang yang sedang ihram tertimpa kematian:

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Mandikanlah dengan air dan daun bidara’. (HR. Bukhari dan Muslim)

Haidh
Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan.

Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan juga sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS  Al Baqarah: 222)

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Apabila haidh tiba tingalkan shalat apabila telah selesai (dari haidh) maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)

Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan atau melahirkan maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah.

Hukum nifas dalam banyak hal lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat puasa thawaf di baitullah masuk masjid membaca Al Quran menyentuhnya bersetubuh dan lain sebagainya.

Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan anak meski anak itu dalam keadaan mati maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya meski seorang wanita tidak mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah lantaran persalinan yang dialaminya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘illat atas wajib mandinya wanita yang melahirkan adalah karena anak yang dilahirkan itu pada hakikatnya adalah mani juga meski sudah berubah wujud menjadi manusia.

Dengan dasar itu maka bila yang lahir bukan bayi tapi janin sekalipun tetap diwajibkan mandi lantaran janin itu pun asalnya dari mani.

Mengangkat Hadats Besar

Untuk mengangkat atau menghilangkan hadats besar, ritual yang harus dijalankan adalah mandi janabah. Penulis membuat bab tersendiri untuk membahas mandi janabah.

Dan dalam kondisi tidak ada air, mandi janabah bisa digantikan dengan tayammum yang sesungguhnya bukan hanya berfungsi sebagai pengganti wudhu, tetapi juga berfungsi sebagai pengganti dari mandi janabah.

Maka bila ada seseorang yang terkena janabah tidak perlu bergulingan di atas tanah. Cukup baginya untuk bertayammum saja. Karena tayammum bisa menggantikan dua hal sekaligus yaitu hadats kecil dan hadats besar.

Namun karena sifatnya yang sebagai pengganti sementara, maka bagi orang yang bersuci dari hadats besar dengan tayammum, tiap kali mengerjakan shalat, thawaf, i’tikaf dan lainnya, wajiblah atasnya untuk bertayammum lagi. Mengingat sifatnya yang hanya mengangkat hadats besar sementara.

Mengenai tayammum dengan segala ketentuannya, akan kita bahas dalam bab tersendiri setelah kita membahas bab tentang wudhu’ dan bab tentang mandi janabah.

Referensi:

Fiqih dan Kehidupan oleh Ahmad Sarwat, Lc. MA.
Mukhtashar Fiqih Islami oleh Dr. Muhammad bin Abdullah At Tuwaijiri

Amal & Timbangan di Akhirat

Pengertian Hisab

Yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menahan hamba-hamba-Nya di hadapan-Nya dan memperlihatkan pada mereka amal perbuatan yang telah mereka lakukan. Kemudian membalas mereka menurut kadar amal perbuatan mereka. Satu kebaikan dengan balasan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat hingga kelipatan yang banyak, dan kejahatan dengan balasan seumpamanya.

Mengambil Catatan Amal

Setiap orang yang berada di mauqif diberikan kitab catatan amalnya. Di antara mereka ada yang diberikan kitabnya dengan tangan kanannya, dan mereka adalah orang-orang yang beruntung. Dan di antara mereka ada yang diberi kitabnya dengan tangan kiri dari belakang punggungnya, dan mereka adalah orang-orang yang celaka.

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja sungguh-sungguh menuju Rabbmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, *maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. Al-Insyiqaaq: 6-12).

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu, (QS. Al-Haaqqah: 25-27).

Meletakkan Timbangan

Diletakkan timbangan pada hari kiamat untuk menghisab semua makhluk. Manusia maju satu persatu untuk dihisab. Lalu Rabb mereka menghisab mereka dan bertanya kepada mereka tentang amal perbuatan mereka. Apabila hisab telah sempurna, sesudahnya adalah timbangan amal perbuatan.

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (QS. Al-Anbiyaa: 47).

2. Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah Neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu (yaitu) api yang sangat panas. (QS. Al-Qaari’ah: 6-11).

3. Ibnu Umar r.a berkata bahwa ‘Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Orang beriman didekatkan dari Rabb-nya pada hari kiamat sehingga Dia Subhanahu wa Ta’ala meletakkan atasnya perlindungan-Nya, lalu mengikrarkan kepadanya dosa-dosanya. Dia Subhanahu wa Ta’ala bertanya: ‘Apakah kamu mengetahuinya?’ Ia menjawab: ‘Benar, wahai Rabb, aku mengetahuinya.’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku telah menutupinya semasa di dunia dan sungguh Aku mengampuninya untukmu pada hari ini.’ Lalu diberilah catatan amal kebaikannya. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru mereka di hadapan semua makhluk, mereka adalah orang-orang yang berdusta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.’ (Muttafaqun ‘alaih).

Selasa, 30 September 2014

Menjadi Pendukung Dakwah, Bukan Penelikung

Berapa banyak perjuangan yang tampaknya sia-sia dan bahkan harus terusir dari negerinya sendiri, tapi Allah Ta'ala catat sebagai kemuliaan. Bila saudaramu berjuang menegakkan dien ini dan tampak tidak membawa hasil, bukan berarti engkau boleh campakkan kebenaran. Bila saudaramu tak memiliki kepatutan dalam mewujudkan apa diperjuangkannya, bukan berarti apa yang diperjuangkan serta-merta salah dan hina.

Boleh jadi atas kegagalannya mewujudkan apa yang mereka perjuangkan, kitalah yang justru amat berat tanggung-jawabnya di akhirat. Kita mengalami kesengsaraan di akhirat bersebab sikap nyinyir kita terhadap perjuangkan menegakkan yang haq, menjadikan manusia futur dan menghalangi manusia lainnya dari bersimpati serta berkiprah terhadap perjuangan. Yang awalnya ingin mendukung, berbalik menelikung. Adapun mereka telah ditetapkan apa-apa yang telah mereka usahakan sepenuh kesungguhan, liLahi Ta'ala, ilaLlah dan fiLlah.

Kewajiban kita berjuang mengantarkan hidayah. Tapi bukan wewenang kita memastikan seseorang memperoleh hidayah melalui dakwah kita. Sebagian di antara kesungguhan berdakwah, baru tampak hasilnya justru sesudah kita tiada. Lamban diterima, tapi disambut secara penuh. Janganlah terkecoh oleh cepatnya manusia menyambut kita. Boleh jadi ini bukan penanda keberhasilan dakwah, melainkan justru kelirunya kita. Mereka bergegas menyambut kita bukan karena menerima seruan kita, tetapi karena kita bawakan untuk mereka apa yang mencocoki hawa nafsu.

Sesungguhnya dakwah tidak bernilai, tak berharga sama sekali, kecuali liLlah, fiLlah dan ilaLlah. Bukan menyeru pada kelompok. Jika tak mampu menjadi penyokong dakwah, maka hendaklah kita tidak menjadi penyebab runtuh dan rusaknya dakwah.

Sedikit yang dapat saya sampaikan. Jika ada yang batil, ingatkanlah saudaramu ini dengan tawashau bil haq, bish-shabr dan bil marhamah. Jika ada yang tidak tepat, jangan tertawakan saudaramu seiman. Ini adalah adab sangat buruk yang menjadikan seseorang kehilangan muru'ahnya. Engkau tidak menjadi mulia karena mentertawakan orang bodoh yang berusaha meraup ilmu; ia penuh kekurangan tapi berjuang meraih kebaikan.

"Subhanallah" Sering Tertukar dengan 'Masya Allah"

Ditulis dari qultum K. H. Muhammad Arifin Ilham

Ungkapan dzikir atau kalimah thayyibah “Subhanallah” sering tertukar dengan ungkapan “Masya Allah”. Ucapkan “Masya Allah” kalau kita merasa kagum. Ucapkan “Subhanallah” jika melihat keburukan.

Selama ini kaum Muslim sering “salah kaprah” dalam mengucapkan Subhanallah (Mahasuci Allah), tertukar dengan ungkapan Masya Allah (Itu terjadi atas kehendak Allah). Kalau kita takjub, kagum, atau mendengar hal baik dan melihat hal indah, biasanya kita mengatakan Subhanallah. Padahal, seharusnya kita mengucapkan Masya Allah yang bermakna “Hal itu terjadi atas kehendak Allah”.

Ungkapan Subhanallah tepatnya digunakan untuk mengungkapkan “ketidaksetujuan atas sesuatu”. Misalnya, begitu mendengar ada keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan, kita katakan Subhanallah (Mahasuci Allah dari keburukan demikian).

Ucapan Masya Allah

Masya Allah artinya “Allah telah berkehendak akan hal itu”. Ungkapan kekaguman kepada Allah dan ciptaan-Nya yang indah lagi baik. Menyatakan “semua itu terjadi atas kehendak Allah”.

Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat hal yang baik dan indah. Ekspresi penghargaan sekaligus pengingat bahwa semua itu bisa terjadi hanya karena kehendak-Nya.

“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu, ‘Maasya Allah laa quwwata illa billah‘ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan?” (QS. Al-Kahfi: 39).

Ucapan Subhanallah

Saat mendengar atau melihat hal buruk/jelek, ucapkan Subhanallah sebagai penegasan: “Allah Mahasuci dari keburukan tersebut”.

Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Suatu hari aku berjunub dan aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama para sahabat, lalu aku menjauhi mereka dan pulang untuk mandi junub. Setelah itu aku datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: ‘Wahai Abu Hurairah, mengapakah engkau malah pergi ketika kami muncul?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku kotor (dalam keadaan junub) dan aku tidak nyaman untuk bertemu kalian dalam keadaan junub. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Subhanallah, sesungguhnya mukmin tidak najis.” (HR. Tirmizi)

“Sesungguhnya mukmin tidak najis” maksudnya, keadaan junub jangan menjadi halangan untuk bertemu sesama Muslim. Dalam Al-Quran, ungkapan Subhanallah digunakan dalam menyucikan Allah dari hal yang tak pantas (hal buruk), misalnya: “Mahasuci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan”, juga digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikkan semacam syirik.” (QS. 40-41).

Jadi, kesimpulannya, ungkapan Subhanallah dianjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, bukan yang baik-baik atau keindahan. Dengan ucapan itu, kita menegaskan bahwa Allah Subahanahu wa Ta’ala Maha Suci dari semua keburukan tersebut.

Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat yang indah, indah karena keindahan atas kuasa dan kehendak Allah Ta’ala. Lalu, apakah kita berdosa karena mengucapkan Subhanallah, padahal seharusnya Masya Allah dan sebaliknya? Insyaa Allah tidak. Allah Maha Mengerti maksud perkataan hamba-Nya. Hanya saja, setelah tahu, mari kita ungkapkan dengan tepat antara Subhanallah dan Masya Allah.

Wallahu a’lam bish-shawabi.

Hukum Shalat Taubat

Shalat taubat adalah shalat sunnah ketika melakukan satu dosa dan ingin bertobat sebagai pelengka doa.

Sunnahnya shalat ini disepakati oleh keempat madzhab (lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 27/164).

Dalilnya adalah hadits Ali bin Abi Thalb yang meriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq,, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما مِنْ عَبدٍ يُذْنِبُ ذنباً فيُحسنُ الطهُورَ، ثم يقومُ فيصلي ركعتين، ثم يستغفِرُ الله إلا غفر الله له”

“Tidak ada seorangpun yg telah melakukan satu dosa, lalu dia memperbagus wudhunya, kemudian dia shalat dua rakaat, lalu minta ampun kepada Allah (istighfar) kecuali pastilah Allah akan mengampuninya.”

(HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ahmad).

Bahkan shalat ini boleh dilaksanakan meski di waktu karahah seperti setelah shalat Asar sebelum MAgrib, Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (23/215) mengatakan,

وذوات الأسباب كلها تفوت إذا أخرت عن وقت النهي: مثل سجود التلاوة وتحية المسجد وصلاة الكسوف، ومثل الصلاة عقب الطهارة، كما في حديث بلال، وكذلك صلاة الاستخارة إذا كان الذي يستخير له يفوت إذا أخرت الصلاة، وكذلك صلاة التوبة، فإذا أذنب فالتوبة واجبة على الفور، وهو مندوب إلى أن يصلي ركعتين ثم يتوب كما في حديث أبي بكر الصديق

“Shalat-shalat yg punya sebab dimana akan terlewat bila diundur menunggu selesainya waktu terlarang maka boleh dilakukan, misalnya sujud tilawah, tahiyyatul masjid, shalat kusuf, juga seperti shalat setelah thaharah sebagaimana dalam hadits Bilal, juga shalat istikharah bila waktunya sempit dan akan terlambat kalau diundur setelah berakhirnya waktu terlarang. Demikian pula (boleh) melaksanakan shalat taubat, karena taubat itu wajib disegerakan dan disunnahkan untuk shalat dua rakaat kemudian bertobat sebagaimana dalam hadits Abu Bakar Ash-Shiddiq.”

Caranya seperti shalat sunnah biasa dan tidak ada bacaan khusus di dalamnya, hanya diniatkan sebagai shalat taubat dari dosa baik besar maupun kecil. Wallahu a’lam.

Ustadz Anshari Taslim, Lc.

Baity Jannaty

Mengasingkan diri yang diajarkan syariat dan sunnah Rasul adalah menjauhkan diri dari kejahatan dan pelakunya, orang-orang yang banyak waktu kosongnya, orang-orang yang lalai, dan orang-orang yang senang membuat huru-hara. Dengan begitu, jiwa Anda akan selalu terkendali, hati menjadi tenang dan sejuk, pikiran selalu jernih, dan Anda akan merasa leluasa dan bahagia berada di taman-taman ilmu pengetahuan.

Mengasingkan diri (uzlah) dari semua hal yang melalaikan manusia dari kebaikan dan ketaatan merupakan obat yang sudah diuji coba dan dibuktikan kemujarabannya oleh para ahli pengobatan hati. Banyak cara untuk menjauhkan diri dari kejahatan dan permainan yang sia-sia. Diantaranya adalah; mengisi waktu dengan menyuntikkan wawasan baru ke dalam akal pikiran, menjalankan semua hal yang sesuai dengan kaedah”takut kepada Allah”, dan juga menghadiri majelis-majelis pertaubatan dan dzikir. Betapapun, perkumpulan atau majelis yang terpuji dan patut dikunjungi adalah yang digunakan untuk menjalankan shalat berjamaah, menuntut dan mengajarkan ilmu, atau untuk saling membantu dalam kebaikan.

Maka dari itu, hindarilah majelis-majelis yang tidak jelas tujuannya dan tidak pula berguna! Jaga kesucian kulit Anda, tangisilah kesalahan Anda dan jagalah lidah! Semoga, dengan itu rumah Anda dapat membahagiakan hati Anda.

Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan merupakan seranganmematikan bagi jiwa dan ancaman yang membahayakan keamanan dan kedamaian diri Anda. Pasalnya, melakukan hal itu berarti Anda telah bergaul dengan setan-setan pembisik desas-desus, penebar kabar bohong, peramal bencana dan petaka. Dan itu, akan membuat Anda mati tujuh kali dalam sehari sebelum Anda benar-benar mati. Maka,

{Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka.} (QS. At-Taubah: 47)

Atas dasar itu, harapan saya adalah supaya Anda menjalani bagaimanapun kondisi Anda, tetap menyendiri di ‘kamar’ Anda dan hanya keluar untuk berkata atau berbuat baik saja. Pada saat seperti itu hati Anda akan benar-benar menjadi milik Anda, sehingga waktu dan umur Anda selamat dari kesia-siaan, lidah Anda terhindar dari menggunjing (ghibah), hati Anda bersih dari kerisauan, telinga Anda terjauhkan dari ucapan kotor, dan jiwa Anda bebas dari berburuk sangka. Barangsiapa mencoba sesuatu, niscaya akan mengetahuinya. Barangsiapa membiarkan dirinya hanyut dalam gumpalan kasak-kusuk dan terseret ke dalam komunitas orang-orang yang tidak berilmu, serta senang berbuat yang sia-sia, maka katakan kepadanya:

Selamat tinggal!

Syaikh Dr. ‘Aidh Abdullah Al Qarni

Macam-macam Air Mutlak yang Digunakan untuk Thaharah

Dalam pandangan syariah, air adalah benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus, yaitu menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual berthaharah.

Air merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga air itu berfungsi sebagai media yang syar’i untuk menghilangkan hadats.

Meski benda lain juga bisa dijadikan media berthaharah, namun air adalah media yang utama. Tanah memang juga bisa berfungsi untuk menghilangkan najis, tetapi yang media yang utama untuk membersihkan najis tetap air. Najis berat seperti daging babi disucikan dengan cara mencucinya dengan air 7 kali tanah hanya salah satunya saja. Tanah memang bisa digunakan untuk bertayammum, namun selama masih ada air tayammum masih belum dikerjakan.

Maka ketika kita berbicara tentang thaharah, bab tentang air menjadi bab yang tidak bisa disepelekan.

Namun demikian tidak semua air bisa digunakan untuk bersuci. Ada beberapa keadan air yang tidak memungkinkan untuk digunakan untuk bersuci.

Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, sesuai dengan hukumnya yang digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh, para ulama itu membaginya menjadi 4 macam, yaitu air mutlaq, air musta’mal air yang tercampur benda yang suci, dan air yang tercampur dengan benda najis.

Berikut ini adalah penjabarannya secara ringkas:

Air Mutlaq

Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis.

Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk digunakan untuk bersuci. Maksudnya untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih dikenal dengan istilah طاھر لنفسھ مطھر لغیره thahirun li nafsihi muthahhirun li ghairihi.

Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air the, air kelapa atau air-air lainnya.

Namun air yang suci belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan, seperti untuk berwudhu’ atau mandi. Maka kita tahu ada air yang suci tapi tidak mensucikan, namun setiap air yang mensucikan pastilah air yang suci hukumnya.

Diantara air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah: air hujan, salju, embun, air laut, air zamzam, air sumur atau mata air dan air sungai.

1. Air Hujan

Air hujan yang turun dari langit hukum suci dan juga mensucikan. Suci berarti bukan termasuk najis. Mensucikan berarti bisa digunakan untuk berwudhu mandi janabah atau membersihkan najis pada suatu benda.

Meski pun di zaman sekarang ini air hujan sudah banyak tercemar dan mengandung asam yang tinggi, namun hukumnya tidak berubah. Air hujan yang terkena polusi dan pencemaran ulah tangan manusia bukan termasuk najis.

Ketika air dari bumi menguap naik ke langit, maka sebenarnya uap atau titik-titik air itu bersih dan suci. Meskipun sumbernya dari air yang tercemar kotor atau najis.

Sebab ketika disinari matahari, yang naik ke atas adalah uapnya yang merupakan proses pemisahan antara air dengan zat-zat lain yang mencemarinya. Lalu air itu turun kembali ke bumi sebagai tetes air yang sudah mengalami proses penyulingan alami. Jadi air itu sudah menjadi suci kembali lewat proses itu.

Hanya saja udara kota yang tercemar dengan asap industri kendaraan bermotor dan pembakaran lainnya memenuhi langit kita. Ketika tetes air hujan itu turun terlarut kembalilah semua kandungan polusi itu di angkasa.

Namun meski demikian, dilihat dari sisi syariah dan hukum, air hujan itu tetap suci dan mensucikan. Sebab polusi yang naik ke udara itu pada hakikatnya bukan termasuk barang yang najis. Meski bersifat racun dan berbahaya untuk kesehatan, namun selama bukan termasuk najis sesuai kaidah syariah tercampurnya air hujan dengan polusi udara tidaklah membuat air hujan itu berubah hukumnya sebagai air yang suci dan mensucikan.

Apalagi polusi udara itu masih terbatas pada wilayah tertentu saja, seperti perkotaan yang penuh dengan polusi udara. Di banyak tempat di muka bumi ini, masih banyak langit yang biru dan bersih, sehingga air hujan yang turun di wilayah itu masih sehat.

Tentang sucinya air hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki. (QS Al Anfal: 11)

Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (QS Al Furqan: 48)

2. Salju

Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi butir atau kristal salju, tetapi sesungguhnya salju adalah air juga.

Hukum salju tentu saja sama dengan hukum air hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci baik wudhu’, mandi janabah dan lainnya.

Tentu saja harus diperhatikan suhunya agar tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjelaskan tentang kedudukan salju kesuciannya dan juga fungsinya sebagai media mensucikan. Di dalam doa iftitah pada setiap shalat, salah satu versinya menyebutkan bahwa kita meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar disucikan dari dosa dengan air, salju dan embun.

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan Al Fatihah beliau menjawab”Aku membaca, “Ya Allah Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkanantara Timur dan Barat. Ya Allah sucikan aku dari kesalahankesalahanku sebagaimana pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Embun

Embun juga bagian dari air yang turun dari langit, meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan dedaunan pada pagi hari.

Maka tetes embun itu bisa digunakan untuk mensucikan untuk bertahharah, baik untuk berwudhu, mandi janabah atau menghilangkan najis.

Dalilnya sama dengan dalil di atas yaitu hadits tentang doa iftitah riwayat Abu Hurairah radhiyallahuanhu.

4. Air Laut

Air laut adalah air yang suci dan mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu’, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’).

Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.

Meski pun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, embun, atau pun salju, yaitu boleh dan bisa digunakan untuk berthaharah.

Sebelumnya, para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengetahui hukum air laut untuk berthaharah, sehingga ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup untuk keperluan minum mereka berijtihad untuk berwudhu’ menggunakan air laut.

Sesampainya kembali ke daratan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hukum menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu’. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab bahwa air laut itu suci dan bahkan bangkainya pun suci juga.

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam’Ya Rasulullah kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?’. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, An Nasai)[1]

Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa hewan laut juga halal dimakan dan kalau mati menjadi bangkai bangkainya tetap suci.

5. Air Zamzam

Air Zamzam adalah air yang bersumber dari mata air yang tidak pernah kering. Mata air itu terletak beberapa meter di samping ka’bah sebagai semua sumber mata air pertama di kota Mekkah sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu. Bolehnya air zamzam untuk digunakan bersuci atau berwudhu ada sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Dari Ali bin Abi thalib Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta seember penuh air zamzam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu’. (HR. Ahmad).

Selain boleh digunakan untuk bersuci disunnahkan buat kita untuk minum air zamzam lantaran air itu memiliki kemulian tersendiri di sisi Allah.

Namun para ulama sedikit berbeda pendapat tentang menggunakan air zamzam ini untuk membersihkan najis menjadi 3 pendapat:

Pendapat Pertama

Mazhab Al Hanafiyah mazhab Asy-Syafi’iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats yaitu berwudhu atau mandi janabah.

Namun kurang disukai (karahah) kalau digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang sangat mulia sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn najis dengan air zamzam.

Pendapat Kedua

Mazhab Al Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah.

Dalam pandangan mereka air zamzam boleh digunakan untuk bersuci baik untuk wudhu mandi istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada badan pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air zamzam.

Pendapat Ketiga

Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci baik untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah) apalagi untuk membersihkan najis. Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu:

Aku tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid namun air zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu’

6. Air Sumur atau Mata Air

Air sumur mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk wudhu mandi atau mensucikan diri pakaian dan barang dari najis.

Dalil tentang sucinya air sumur atau mata air adalah hadits tentang sumur Budha’ah yang terletak di kota Madinah.

Dari Abi Said Al Khudhri Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa seorang bertanya, “Ya Rasulullah Apakah kami boleh berwudhu’ dari sumur Budho’ah? Padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu’. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy, An- Nasai Ahmad dan Al Imam Asy-Syafi’i)[2]

7. Air Sungai

Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahulu umat Islam terbiasa mandi wudhu’ atau membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan air sungai.

Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi terutama di kota-kota besar air sungai itu tercemar berat dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.

Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak limbah WC atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai berubah warna bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.

Sebab meskipun jumlahnya banyak tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa warna dan aroma yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai jelaslah air itu menjadi najis.

Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu’ mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa aroma dan warnanya berubah seperti bau najis. Namun umumnya hal itu tidak terjadi pada air laut sebab jumlah air laut jauh lebih banyak meskipun pencemaran air laut pun sudah lumayan parah dan terkadang menimbulkan bau busuk pada pantai-pantai yang jorok.

___________

[1] At Tirmidzy mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih

[2] At-Tirmidzy mengatakan hadits ini hasan

 

Referensi:

Fiqih dan Kehidupan oleh Ahmad Sarwat, Lc. MA.
Mukhtashar Fiqih Islami oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijri

Tafakkur Hikmah Kehidupan dalam Keseharian

Hikmah apa yang sudah kita dapat hari ini?

Ada masanya, kita lupa memaknai bahwa hari-hari kita dapat dilalui dengan satu kekuatan besar : Allah. Ialah Allah yang maha segala, yang memampukan diri ini melakukan begitu banyak hal. Dan setiap hari adalah hari yang sejatinya selalu memuat banyak hikmah, jika saja kita mau meluangkan waktu untuk melakukan refleksi dan merenungkannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada kejadian yang menyenangkan, membuat kesal, membuat terharu, dan berbagai kejadian yang sangat dinamis mengubah emosi. Ada satu poin yang harus dilakukan pada titik ini oleh seorang muslim. Saat di mana kita berfikir : sebenarnya pada momen ini apa yang sedang Allah ajarkan padaku?

Segala hal yang terjadi adalah ketentuan-Nya. Dan jika kita mau membuka hati dan meluangkan waktu barang sejenak, ada saja hikmah yang dapat kita ambil dari setiap kejadian. Seorang Imam Syafi’i ketika tersandung ia langsung berpikir bahwa tersandung ini adalah teguran dari Allah, hingga akhirnya ia merefleksikan apa yang harus ia perbaiki atas amal-amalnya.

Barangkali lewat sakit Allah hendak menegur kita yang terlalu lelah dengan begitu banyak urusan dunia namun sedikit sekali mengindahkan memenuhi hak-hak-Nya. Barangkali lewat kelahiran seorang bayi dari sanak saudara, Allah meminta kita mengingat bahwa kelahiran kita dahulu adalah kehadiran yang sangat diharapkan oleh orang tua, oleh karena itu jangan sampai kita menjadi seorang anak yang membuat keduanya kecewa. Barangkali lewat tumpukan tugas yang semakin mendekati deadline, Allah hendak mengajarkan diri ini untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang telah diberikan-Nya. Lewat kemudahan yang diberikan kita sepatutnya menjaga rasa syukur, dan lewat kesulitan hendaknya kita belajar untuk kuat dan menggantungkan segala hal pada-Nya.

Hati ini mungkin masih sulit untuk memaknai setiap kejadian yang dilalui agar dapat menangkap hikmah yang terselip di dalamnya. Maka seperti ayat 6 dalam surat Al Fatihah, ihdinashshiraatal mustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Meminta pada Allah agar kerap membersamai langkah kita agar selamat dalam perjalanan panjang kehidupan. Karena kata huda yang termuat dalam kata ihdina bukan hanya bermakna petunjuk yang merupakan arti kata rosyad yang berarti hanya memberi arahan. Tapi huda bermakna memberi petunjuk, sekaligus membersamai kita untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Apapun yang Allah berikan hari ini adalah yang terbaik. Syukuri, kemudian ambil pelajaran daripadanya. Karena hikmah hari ini tentu telah disiapkan agar kita makin siap menjalani kehidupan di hari-hari berikutnya. Memahami, mentafakuri, serta mensyukuri hikmah yang telah Allah berikan akan membuat kita semakin mengenal-Nya. Dan mengenal-Nya akan membuat kecintaan pada-Nya kian bertambah. Kenali Ia lewat hikmah yang terselip di antara ilmu yang kita pelajari, di antara nikmat tubuh; secara fisik dan hati nurani, serta mintalah pentunjuk pada-Nya agar diberi kemudahan dalam proses mensyukuri hikmah yang juga proses mengenal-Nya ini.

Senyuman Membawa Kebahagiaan

Ketika kita terbangun dari tidur. Cobalah sejenak tersenyum agar hati ini merasakan kebahagiaan diawal kehidupan setelah melalui proses kematian sesaat (tidur). Kita akan merasakan hal yang berbeda pada saat bangun tanpa ekspresi apapun dengan bangun dengan tersenyum manis. Tersenyum pada diri sendiri diawal hari merupakan salah satu cara mencapai kebahagiaan sepanjang hari.

Apakah hari ini akan dilalui dengan kesedihan? Ataukah kebahagiaankah yang diharapkan? Jika kebahagiaan jawabannya maka dari sekarang, sejak dari bangun tidur kita biasakan untuk tersenyum sebab senyuman akan membawa kebahagiaan tersendiri bagi orang yang melakukannya.

Saat ditimpa suatu masalah pun, usahakan kita tetap tersenyum. Dengan senyuman itu masalah akan terasa ringan dan kecil. Setidaknya dari senyuman diri ini mampu jinak dan tenang dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan.

Satu kunci solusi telah diperoleh. Lewat senyuman, hati akan menjadi tenang dan pikiran pun akan mengikuti sehingga kita bisa fokus pada solusi dari masalah yang memimpa. Bukan fokus pada masalah yang ada yang mengakibatkan tak akan pernah terselesaikan jika hanya berfokus pada masalah. Jika berfokus pada masalah maka diri ini akan mengeluh bahkan berputus asa akibat masalah tersebut,

Bukankah kita semua ingin melewati hari-hari dengan kebahagiaan walaupun masalah hilir mudik mampir? Senyuman yang tergoreskan di wajah setiap manusia adalah salah satu jawaban dari berbagai masalah kehidupan. Disenyuman tersebut akan ditemukan keteduhan dan ketentraman jiwa bagi orang yang tersenyum.

Bahagia dahulukah baru kita tersenyum? Atau kita tersenyum dahulu baru bahagia?

Jika kita menunggu bahagia dahulu baru tersenyum maka terlalu sedikit porsi senyum yang kita berikan dikeseharian bahkan tidak ada senyuman yang menghiasi kehidupan. Sebab, setiap orang memiliki masalah dan persoalan masing-masing, sehingga dari berbagai persoalan tersebut banyak orang yang belum bisa merasakan kebahagiaan. Maka dari itu, jika kita menunggu bahagia dahulu baru tersenyum, bisa dipastikan senyuman itu berharga mahal dan langka.

Sebaliknya, jika tersenyum dahulu baru bahagia. Buktikanlah sendiri. Berhentilah sejenak dalam rutinitas. Tersenyumlah maka kita akan merasakan kebahagiaan. Kita bahagia karena tersenyum. Bukan tersenyum karena bahagia.

Bagi orang yang bahagia karena tersenyum, disaat dalam kesedihan pun dia mampu bahagia dengan senyuman yang terlukis diwajahnya. Tetapi, bagi orang yang tersenyum karena bahagia, disaat dalam kesedihan dia tak akan mampu tersenyum sebab kebahagiaan telah pergi dari dirinya.

Tersenyumlah pada diri sendiri. Tersenyumlah pada orang lain. Asal jangan tersenyum pada benda-benda mati. Dari senyuman itu terhantarkan kebahagiaan yang tak ternilai. Hanya orang-orang yang mampu tersenyum yang akan merasakan kebahagiaan tersebut.

Lewat senyuman manusia akan merasakan kedamaian. Lewat senyuman pula orang-orang akan merasa dihargai dan dihormati. Senyuman yang akan membawa kebahagiaan bagi setiap insan.

Bahkan sang idola pun berpesan yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Abu Dzar,

“Senyummu untuk suadaramu adalah sedekah”

Sedekah dalam bentuk kebahagiaan. Itulah senyuman. Ketika bertemu dengan saudara baik kandung ataupun saudara seiman, kita berikan senyuman agar mereka bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan yang akan menyatukan jiwa-jiwa yang telah lama terpisah. Kebahagiaan yang akan mentautkan tali persaudaraan yang erat.

Wajarlah jika sang idola memerintahkan kita untuk tersenyum. Kita tak mampu memberikan apapun, tetapi kita mampu memberikan senyuman kepada semua orang dengan cuma-cuma namun bernilai pahala yang besar.

Jika ada disekeliling kita, orang yang sedang bersedih. Hiburlah dia sesaat dengan senyuman. Lewat senyuman secara tidak langsung diri ini mentransfer zat-zat kebahagiaan kepada orang yang menatap senyuman tersebut. Biarkanlah zat-zat tersebut menempel dengan kuat di dalam jiwa orang yang sedang dirundung kesedihan.

Alangkah lebih baik pula jika kita mampu menghiburnya dengan memberikan solusi dari segala permasalahan yang dihadapi. Jikalau pun tak mampu memberikan solusi. Setidaknya, kita sudah membantu dirinya mengurangi beban dan menenangkan jiwanya lewat kebahagiaan yang disalurkan dengan senyuman.

Dengan senyum, setiap insan memperoleh pahala dan kebahagiaan. Begitu sulitkan mencari kebahagiaan? Padahal kebahagiaan itu ada di dalam diri masing-masing. Salah satu kebahagiaan yang sering dilupakan adalah tersenyum.
Buatlah diri ini merasa nyaman dan tentram dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Awali semua dengan senyuman. Betapa bahagianya diri kita jika melihat orang tersenyum. Begitu pula orang lain akan bahagia jika melihat diri kita tersenyum.

Tentu, senyuman yang ikhlas dari dalam hati. Senyuman yang menebarkan kebaikan untuk semua orang. Itulah senyuman bernilai sedekah. Bukan, senyuman yang menebarkan keburukan bagi orang lain. Senyuman pertanda meremehkan ataupun menghina orang. Bukan itu yang diajarkan oleh orang nomor satu di dunia dan di akhirat.

Bukankah kita ingin pada saat nafas ini tak berhembus dan jantung ini tak lagi berdetak dalam kondisi tersenyum? Mengapa diri ini merasa susah sekali untuk tersenyum pada diri sendiri apalagi orang lain? Tak maukah diri ini merasakan kebahagiaan yang ada di dalam diri?

Tersenyumlah sahabat, selagi kita masih mampu untuk tersenyum. Setiap detik kita mampu bahagia lewat senyuman. Tak perlu biaya mahal dan mencari jauh-jauh kebahagiaan. Senyuman diri sendirilah kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang tak tersadari bahkan terlupakan ditengah-tengah kesibukan dunia.

Senyuman membawa kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain. Tak menutup kemungkinan pula dari senyuman tidak hanya kebahagiaan di dunia yang diperoleh. Namun, kebahagiaan di akhirat pun akan dicapai lewat senyuman ikhlas di wajah hamba-hamba-Nya yang selalu patuh akan titah-Nya.

Undang-Undang Pernikahan Khalifah Turki Utsmani*

Anda berusia 25 tahun ke atas, namun belum menikah?
Berikut Undang-Undang Pernikahan pada masa kekhalifahan Utsmani tersebut berisi 16 pasal. Salah satunya berbunyi, “Usia pernikahan mulai umur 18-25 tahun. Bila sampai usia 25 tahun belum menikah, maka akan dipaksa menikah.” Semoga memberi ibrah bagi kita semua, khususnya para “utusan kaum Muslimin” yang berjuang membuat produk hukum yang pro-syari’at Islam. Bismillah.

Undang-Undang Pernikahan pada Khilafah Utsmani:

Usia pernikahan mulai umur 18-25 tahun. Bila sampai usia 25 tahun belum menikah, maka akan dipaksa menikah.

Apabila seorang laki-laki pada umur 25 tahun terhalang menikah karena sakit, maka dilihat penyakitnya. Jika masih bisa diobati, maka akan diobati dan dinikahkan. Jika penyakitnya tidak bisa diobati, maka dia tidak akan dinikahkan.

Seorang laki-laki yang terpaksa harus tinggal di luar kota untuk waktu yang lama – karena pekerjaan atau urusan syar’i lainnya – tetapi ia belum mampu mengajak istrinya, jika ia mampu untuk menikah lagi, maka ia sangat diharuskan menikah lagi. Jika urusannya sudah selesai, wajib bagi laki-laki tersebut mengumpulkan kedua istrinya di kota yang sama.

Jika ada seorang laki-laki umur 25 tahun yang sudah mampu menikah tetapi belum melakukan itu tanpa udzur syar’i, maka kelebihan hartanya akan diambil secara paksa baik itu berasal dari laba usaha atau upah yang diterimanya. Kemudian kelebihan harta itu di simpan di Bank khusus yang mengurusi pertanian, yang nantinya akan di distribusikan kepada para pemuda yang sudah siap menikah tetapi belum memiliki kemampuan untuk itu.

Laki-laki yang sudah menikah dan melakukan perjalanan ke luar kota karena suatu urusan, maka berlaku baginya pasal 3 di atas. Dan jika dia tidak mampu menikah lagi, maka diambil 15% dari harta pendapatannya dan berlaku pasal 4 di atas.. Tapi setelah masa 2 tahun dari kedatangannya, ia harus mengajak istrinya untuk ikut bersamanya.

Setiap orang yang belum menikah pada umur 25 tahun dan juga tidak diterima menjadi pegawai pemerintah Khalifah Utsmani atau pegawai swasta dan juga tidak terikat oleh organisasi apapun, berlaku baginya pasal 4 di atas.

Laki-laki yang sudah menikah dan berusia 50 tahun akan tetapi hanya memiliki 1 istri, padahal secara materi ia mampu untuk menikah lagi, maka ia harus menikah lagi sebagai bentuk kontribusi menanggung kebutuhan masyarakat. Jika ia beralasan dengan alasan yang tidak masuk akal, maka ia harus membantu kehidupan dan pendidikan anak-anak fakir dan yatim. Jumlah yang disarankan antara satu sampai tiga orang sesuai kemampuan keuangan laki-laki tersebut.

Setiap lelaki yang menikah sebelum usia 25 tahun atau sebelum usia wajib militer, maka tugas militernya hanya 2 tahun. Adapun yang belum menikah pada usia wajib militer, maka tugas militernya 3 tahun.

Setiap orang yang menikah dalam jangka umur 18-25 tahun dan dia fakir tidak memiliki sesuatu apapun, maka di berikan kepadanya tanah pemerintah seluas 150 sampai 300 hektar (satu hektar setara 920 meter) yang paling dekat dengannya. Pemberian ini dimulai sejak pernikahannya.

Dan jika orang itu pemilik pabrik atau pedagang, maka di berikan kepadanya pinjaman sebanyak 50 sampai 100 Junaih Utsmani. Pinjaman ini dibayar secara angsuran selama 3 tahun tanpa bunga.

Laki-laki yang menikah sebelum umur 25 tahun, dan dia tidak memiliki saudara yang bisa menggantikannya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, maka masa wajib militer laki-laki yang sudah menikah tersebut di tunda. Begitupun dengan perempuan yang tidak memiliki saudara yang bisa menggantikannya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, maka masa wajib militer suaminya di tunda.

Setiap orang yang menikah sebelum umur 25 tahun, dan telah memiliki 3 anak, maka seluruh anak-anaknya diterima di sekolah-sekolah negeri secara gratis. Dan jika memiliki 5 anak atau lebih, maka 3 anaknya akan disekolahkan secara gratis. Adapun sisa 2 anaknya, jika mereka warga kampung tersebut, maka setiap dari mereka akan diberikan 10 Junaih. Dan jika mereka termasuk warga Negara tersebut, maka setiap dari mereka akan diberikan 5 Junaih dari kas Negara. Hal ini berlaku sampai dengan umur 13 tahun. Setiap perempuan yang memiliki 4 anak laki-laki atau lebih akan dibantu untuk keperluan mereka sebanyak 20 Junaih.

Pelajar yang sedang menuntut ilmu di Universitas ditunda kewajiban untuk menikah sampai dia menyelesaikan pendidikannya.

Setiap laki-laki berumur 25 tahun yang tidak memiliki pekerjaan dan belum menikah, akan tetapi hal itu membuat status sosialnya mulia, maka akan di peringatkan dan ditunda (kewajiban menikahnya) selama setahun. Hal itu dimaksudkan untuknya mencari pekerjaan. Jika tidak bisa, maka orang tersebut akan dijadikan pegawai pemerintah Khalifah Utsmani secara paksa.

Pasal 14 di atas tidak berlaku bagi orang yang berumur 50 tahun.

Undang-undang ini berlaku setelah 3 bulan dari waktu ratifikasi.

*Disadur dari laman resmi Dakwatuna.com

Jadikan Buah Lemon Minuman yang Manis

Orang cerdik akan berusaha merubah kerugian menjadi keuntungan. Sedangkan orang bodoh akan membuat suatu musibah menjadi bertumpuk dan berlipat ganda.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diusir dari Makkah, beliau memutuskan untuk menetap di Madinah dan kemudian berhasil membangunnya menjadi sebuah negara yang sangat akrab di telinga dan mata sejarah.

Ahmad ibn Hanbal pernah dipenjara dan dihukum dera, tetapi karenanya pula ia kemudian menjadi imam salah satu madzhab.

Ibnu Taimiyyah pernah di penjara, tetapi justru di penjara itulah ia banyak melahirkan karya.

As-Sarakhsi pernah dikurung di dasar sumur selama bertahun-tahun, tetapi di tempat itulah ia berhasil mengarang buku sebanyak dua puluh jilid.

Ketika Ibnul-Atsir dipecat dari jabatannya, ia berhasil menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Jami’ul Ushul dan an-Nihayah, salah satu buku paling terkenal dalam hadits.

Demikian halnya dengan Ibnul-Jawzy, ia pernah diasingkan dari Baghdad, dan karena itu ia menguasai qiraah sab’ah.

Malik ibn ar-Raib adalah penderita suatu penyakit yang mematikan, namun ia mampu melahirkan syair-syair yang sangat indah dan tak kalah dengan karya-karya para penyair besar zaman Abbasiyah.

Lalu, ketika semua anak Abi Dzuaib al-Hudzali mati meninggalkannya seorang diri, ia justru mampu menciptakan nyanyiannyanyian puitis yang mampu membekam mulut zaman, membuat setiap pendengarnya tersihir, memaksa sejarah untuk selalu bertepuk tangan saat mendengarnya kembali.

Begitulah, ketika tertimpa suatu musibah, Anda harus melihat sisi yang paling terang darinya. Ketika seseorang memberi Anda segelas air lemon, Anda perlu menambah sesendok gula ke dalamnya. Ketika mendapat hadiah seekor ular dari orang, ambil saja kulitnya yang mahal dan tinggalkan bagian tubuhnya yang lain. Ketika disengat kala jengking, ketahuilah bahwa sengatan itu sebenarnya memberikan kekebalan pada tubuh Anda dari bahaya bisa ular.

Kendalikan diri Anda dalam berbagai kesulitan yang Anda hadapi!

Dengan begitu, Anda akan dapat mempersembahkan bunga mawar dan melati yang harum kepada kami. Dan, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Sebelum terjadi revolusi besar di Perancis, konon negara itu pernah memenjara dua sastrawan terkenalnya. Salah seorang dari keduanya sangat optimistis dan yang seorang lagi pesimistis bahwa revolusi dan perubahan akan segera terjadi. Setiap hari keduanya sama-sama melongokkan kepala melalui sela-sela jeruji penjara. Hanya saja, sang sastrawan yang optimistisselalu memandang ke atas dan melihat bintang-bintang yang gemerlap di langit. Dan karena itu ia selalu tersenyum cerah. Adapun sastrawan yang pesimistis, ia selalu melihat ke arah bawah dan hanya melihat tanah hitam di depan penjara, dan kemudian menangis sedih.

Begitulah, sebaiknya Anda selalu melihat sisi lain dari kesedihan itu. Sebab, belum tentu semuanya menyedihkan, pasti ada kebaikan, secercah harapan, jalan keluar serta pahala.

Syaikh ‘Aidh Abdullah Al Qarni

Ikhlas

Sehubungan dengan tempat persinggahan ikhlas ini Allah telah befirman di dalam Al-Qur’an,

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) aga-ma dengan lurus.” (Al-Bayyinah: 5).

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kcpunyaan Allahlah aga-ma yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3).

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2).

Al-Fudhail berkata, “Maksud yang lebih baik amalnya di dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar.”

Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?”

Dia menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas,maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah.”

Kemudian dia membaca ayat, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yangshalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi:110).

Allah juga telah befirman, “Dan, siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (An-Nisa’: 125).

Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan danamal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.

Allah juga befirman,

“Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).

Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Sa’d bin Abi Waqqash, “Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatu amal untuk mencari Wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajat dan ketinggian karenanya.”

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tiga perkara, yang hati orang Mukmin tidak akan berkhianat jika ada padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada para waliyul-amri dan mengikuti jama’ah orang-orang Muslim,karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang karena riya’, berperang karena keberanian dan berperang karena kesatriaan, manakah di antaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau menjawab, “Orang yang berperang agar kalimat Allahlah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah.”

Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu qari’ Al-Qur’an, muja-hid dan orang yang menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar dikatakan, “Fulan adalah qari’, Fulan adalah pemberani, Fulan ada-lah orang yang bershadaqah”, yang amal-amal mereka tidak ikhlas kare-na Allah.

Di dalam hadits qudsy yang shahih disebutkan, “Allah befirman, ‘Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuandari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatuamal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menja-di milik yang dia sekutukannya dan Aku terbebas darinya’.”

Di dalam hadits lain disebutkan, “‘Allah befirman pada hari kiamat, Pergilah lalu ambillah pahalamudari orang yang amalmu kamu tujukan. Kamu tidak mempunyai pahala di sisi Kami’.”

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian.”

Banyak definisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun tujuannya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendi-rikan Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinyamembersihkan perbuatan dari perhatian makhluk. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menjaga amal dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Sedangkan shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja.

Orang yang ikhlas tidak riya’ dan orang yang shadiq tidak ujub. Ikhlas tidakbisa sempurna kecuali dengan shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar.

Ada pula yang berpendapat, siapa yang mempersaksikan adanya ikhlas dalam ikhlas, berarti ikhlasnya membutuhkan ikhlas lagi.

Kekurangan orang yang mukhlis dalam ikhlasnya, tergantung daripandang-an terhadap ikhlasnya. Jika dia tidak lagi melihat ikhlasnya, maka dialah orang yang benar-benar mukhlis. Ada pula yang berpendapat, ikhlas arti-nya menyelaraskan amal-amal hamba secara zhahir dan batin. Riya’ ialah jika zhahirnya lebih baik daripada batinnya. Shidq dalam ikhlas ialah jika batinnya lebih semarak daripada zhahirnya.

Al-Fudhail berkata, “Meninggalkan amal karena menusia adalah riya’. Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya.”

Al-Junaid berkata, “Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat, sehingga dia menulisnya,tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya.”

Yusuf bin Al-Husain berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya’ dari hatiku, tapiseakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain.”

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran.” Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan san-jungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun.

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ikhlas ini ada tiga derajat:

1. Tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal dan tidak puas terhadap amal.

Ada tiga macam penghalang dan perintang bagi orang yang beramal dalam amalnya: Pertama, pandangan dan perhatiannya. Kedua, keinginan akan imbalan dari amal itu. Ketiga, puas dan senang kepadan-ya. Yang bisa membersihkan hamba dari pandangan terhadap amalnya ialah mempersaksikan karunia dan taufik Allah kepadanya, bahwa amal itu datang dari Allah dan bukan dari dirinya, kehendak Allahlah yang membuat amalnya ada dan bukan kehendak dirinya, sebagai-mana firman-nya,

“Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendakiAllah, Rabb semesta alam.” (At-Takkwir: 29).

Di sini ada yang sangat bermanfaat baginya, yaitu kekuasaan Allah, bahwa dirinya hanyalah alat semata, perbuatannya hanyalah seperti gerakan pohon yang terkena hembusan angin, yang menggerakkannya selain dirinya, dia ibarat mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa, yang andaikan segala sesuatu diserahkan kepadanya, maka tidak ada perbuatannyayang bermaslahat sama sekali, karena jiwanya bodoh dan zhalim, tabiatnya malas, yang dipentingkannya adalah syahwat.

Kebaikan yang keluar dari jiwa itu hanya berasal dari Allah dan bukan yang berasal dari hamba, sebagaimana firman-Nya, “Sekiranya tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kalian bersih (dari perbuatanperbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nur: 21).

Semua kebaikan yang ada pada diri hamba semata karena karunia Allah, pemberian, kebaikan dan nikmat-Nya. Pandangan hamba terhadap amainya yang hakiki ialah pandangannya terhadap sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan penciptaan, yang semua semata karena pemberian Allah, karunia dan rahmat-Nya. Jadi, yang bisa membersihkan hamba dari perintang ini adalah mengetahui Rabb-nya dan juga mengetahui dirinya sendiri.

Sedangkan yang bisa membersihkan hamba dari tujuan mencari imbalan atas amainya ialah menyadari bahwa dia hanyalah hamba semata.

Seorang hamba (budak) tidak layak menuntut imbalan dan upah dari pengabdiannya terhadap tuannya. Sebab imbalan hanya layak dimintaorang yang merdeka atau budak orang lain. Sedangkan yang membersihkan hamba dari kepuasan terhadap amainya ada dua macam:

Memperhatikan aib, cela dan kekurangannya dalam amal, yang di dalamnya banyak terdapat bagian-bagian syetan dan nafsu. Jarang sekali ada amal melainkan syetan mempunyai bagian dalam amal itu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menengok saat mendirikan shalat. Maka beliau menjawab, “Itu adalah rampasan yang diambil syetan dari shalat hamba.” Jika ini berlaku untuk sekali tengokan yang hanya sesaat saja, lalu bagaimana dengan hati yang menengok kepada selain Allah? Tentu saja bagian syetan lebih banyak lagi. Ibnu Mas’ud berkata, “Seseorang di antara kalian tidak memberikan bagian kepada syetan dari shalatnya, sehingga syetan itu melihat ada hak atas shalat tersebut, melainkan karena dia menengok ke arah kanannya.”
Mengetahui hak Allah atas dirinya, yaitu hak ubudiyah beserta adabadab zhahir dan batin serta memenuhi syarat-syaratnya, menyadari bahwa hamba itu terlalu lemah untuk dapat memenuhi hak-hak itu. Orang yang memiliki ma’rifat ialah yang tidak ridha sedikit pun ter hadap amainya dan merasa malu jika Allah menerima amainya.
2. Malu terhadap amal sambil tetap berusaha, berusaha sekuat tenaga membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian, memelihara caha-ya taufik yang dipancarkan Allah.

Hamba yang merasa malu kepada Allah karena amainya, karena dia merasa amal itu belum layak dilakukan karena Allah, tapi amal itu tetap diupayakan. Allah befirman,

“Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al-Mukminin: 60).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda menjelaskan maksud ayat ini,“Dia adalah orang yang berpuasa, mendirikan shalat, mengeluarkan shadaqah, dan dia takut amal-amalnya ini tidak diterima.”

Sebagian ulama berkata, “Aku benar-benar mendirikan shalat dua rakaat, namun ketika mendirikannya aku tak ubahnya seorang pencuri atau pezina yang tidak dilihat orang, karena merasa malu kepada Allah.”

Orang Mukmin adalah orang yang memadukan kebajikan disertai ketakutan dan buruk sangka terhadap dirinya, sedangkan orang yang tertipu dan munafik adalah orang yang berbaik sangka terhadap dirinya dan juga berbuat jahat.

Maksud memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah, bahwa dengan cahaya itu engkau bisa tahu bahwa amalmu semata karena karu-nia Allah dan bukan karena dirimu sendiri.

Derajat ini mencakup lima perkara: Amal, berusaha dalam amal, rasa malu kepada Allah, memelihara kesaksian, melihat amal sebagai pemberian dan karunia Allah.

3. Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal, membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum kehendak Allah dan membebaskannya dari sentuhan rupa.

Perkataan, “Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal”, ditafsiri dengan lanjutannya, yaitu membiarkan amal itu berlalu berdasarkan ilmu dan engkau tunduk kepada hukum kehendak Allah.

Artinya, engkau menjadikan amalmu mengikuti ilmu, menyesuaikan diri dengannya, berhenti menurut pemberhentiannya, bergerak menu-rut gerakannya, melihat hukum agama dan membatasi dengan batasanbatasannya, memperhatikan pahala dan siksa di kemudian hari.

Meskipun begitu engkau juga harus berlalu dengan memperhatikan hatimu, mempersaksikan hukum alam, yang di dalamnya terkandung hukum sebab akibat, yang tak sedikit pun lepas dari kehendak Allah.

Sehingga seorang hamba bertindak berdasarkan dua perkara: Perta-ma, perintah dan larangan, yang berkaitan dengan apa yang harus diker jakannya dan apa yang harus ditinggalkannya. Kedua, qadha’ dan qadar, yang berkaitan dengan iman, kesaksian dan hakikat. Dengan begitu dia bisa melihat hakikat dan bertindak berdasarkan syariat. Dua perkara inilah ubudiyah seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya, “(yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takkwir: 28-29).

Membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu merupakan kesaksian dari firman Allah, “Bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus”, sedangkan pelakunya yang tunduk kepada hukum kehendak Allah merupakan kesaksian terhadap firman-Nya, “Kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah”.

Tentang perkataan, “Membebaskan amal dari sentuhan rupa”, artinya membebaskan amal dan ubudiyah dari selain Allah. Karena apa pun selain Allah hanyalah rupa yang hanya tampak di luarnya saja.