Selasa, 30 September 2014

Menjadi Pendukung Dakwah, Bukan Penelikung

Berapa banyak perjuangan yang tampaknya sia-sia dan bahkan harus terusir dari negerinya sendiri, tapi Allah Ta'ala catat sebagai kemuliaan. Bila saudaramu berjuang menegakkan dien ini dan tampak tidak membawa hasil, bukan berarti engkau boleh campakkan kebenaran. Bila saudaramu tak memiliki kepatutan dalam mewujudkan apa diperjuangkannya, bukan berarti apa yang diperjuangkan serta-merta salah dan hina.

Boleh jadi atas kegagalannya mewujudkan apa yang mereka perjuangkan, kitalah yang justru amat berat tanggung-jawabnya di akhirat. Kita mengalami kesengsaraan di akhirat bersebab sikap nyinyir kita terhadap perjuangkan menegakkan yang haq, menjadikan manusia futur dan menghalangi manusia lainnya dari bersimpati serta berkiprah terhadap perjuangan. Yang awalnya ingin mendukung, berbalik menelikung. Adapun mereka telah ditetapkan apa-apa yang telah mereka usahakan sepenuh kesungguhan, liLahi Ta'ala, ilaLlah dan fiLlah.

Kewajiban kita berjuang mengantarkan hidayah. Tapi bukan wewenang kita memastikan seseorang memperoleh hidayah melalui dakwah kita. Sebagian di antara kesungguhan berdakwah, baru tampak hasilnya justru sesudah kita tiada. Lamban diterima, tapi disambut secara penuh. Janganlah terkecoh oleh cepatnya manusia menyambut kita. Boleh jadi ini bukan penanda keberhasilan dakwah, melainkan justru kelirunya kita. Mereka bergegas menyambut kita bukan karena menerima seruan kita, tetapi karena kita bawakan untuk mereka apa yang mencocoki hawa nafsu.

Sesungguhnya dakwah tidak bernilai, tak berharga sama sekali, kecuali liLlah, fiLlah dan ilaLlah. Bukan menyeru pada kelompok. Jika tak mampu menjadi penyokong dakwah, maka hendaklah kita tidak menjadi penyebab runtuh dan rusaknya dakwah.

Sedikit yang dapat saya sampaikan. Jika ada yang batil, ingatkanlah saudaramu ini dengan tawashau bil haq, bish-shabr dan bil marhamah. Jika ada yang tidak tepat, jangan tertawakan saudaramu seiman. Ini adalah adab sangat buruk yang menjadikan seseorang kehilangan muru'ahnya. Engkau tidak menjadi mulia karena mentertawakan orang bodoh yang berusaha meraup ilmu; ia penuh kekurangan tapi berjuang meraih kebaikan.

"Subhanallah" Sering Tertukar dengan 'Masya Allah"

Ditulis dari qultum K. H. Muhammad Arifin Ilham

Ungkapan dzikir atau kalimah thayyibah “Subhanallah” sering tertukar dengan ungkapan “Masya Allah”. Ucapkan “Masya Allah” kalau kita merasa kagum. Ucapkan “Subhanallah” jika melihat keburukan.

Selama ini kaum Muslim sering “salah kaprah” dalam mengucapkan Subhanallah (Mahasuci Allah), tertukar dengan ungkapan Masya Allah (Itu terjadi atas kehendak Allah). Kalau kita takjub, kagum, atau mendengar hal baik dan melihat hal indah, biasanya kita mengatakan Subhanallah. Padahal, seharusnya kita mengucapkan Masya Allah yang bermakna “Hal itu terjadi atas kehendak Allah”.

Ungkapan Subhanallah tepatnya digunakan untuk mengungkapkan “ketidaksetujuan atas sesuatu”. Misalnya, begitu mendengar ada keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan, kita katakan Subhanallah (Mahasuci Allah dari keburukan demikian).

Ucapan Masya Allah

Masya Allah artinya “Allah telah berkehendak akan hal itu”. Ungkapan kekaguman kepada Allah dan ciptaan-Nya yang indah lagi baik. Menyatakan “semua itu terjadi atas kehendak Allah”.

Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat hal yang baik dan indah. Ekspresi penghargaan sekaligus pengingat bahwa semua itu bisa terjadi hanya karena kehendak-Nya.

“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu, ‘Maasya Allah laa quwwata illa billah‘ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan?” (QS. Al-Kahfi: 39).

Ucapan Subhanallah

Saat mendengar atau melihat hal buruk/jelek, ucapkan Subhanallah sebagai penegasan: “Allah Mahasuci dari keburukan tersebut”.

Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Suatu hari aku berjunub dan aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama para sahabat, lalu aku menjauhi mereka dan pulang untuk mandi junub. Setelah itu aku datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: ‘Wahai Abu Hurairah, mengapakah engkau malah pergi ketika kami muncul?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku kotor (dalam keadaan junub) dan aku tidak nyaman untuk bertemu kalian dalam keadaan junub. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Subhanallah, sesungguhnya mukmin tidak najis.” (HR. Tirmizi)

“Sesungguhnya mukmin tidak najis” maksudnya, keadaan junub jangan menjadi halangan untuk bertemu sesama Muslim. Dalam Al-Quran, ungkapan Subhanallah digunakan dalam menyucikan Allah dari hal yang tak pantas (hal buruk), misalnya: “Mahasuci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan”, juga digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikkan semacam syirik.” (QS. 40-41).

Jadi, kesimpulannya, ungkapan Subhanallah dianjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, bukan yang baik-baik atau keindahan. Dengan ucapan itu, kita menegaskan bahwa Allah Subahanahu wa Ta’ala Maha Suci dari semua keburukan tersebut.

Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat yang indah, indah karena keindahan atas kuasa dan kehendak Allah Ta’ala. Lalu, apakah kita berdosa karena mengucapkan Subhanallah, padahal seharusnya Masya Allah dan sebaliknya? Insyaa Allah tidak. Allah Maha Mengerti maksud perkataan hamba-Nya. Hanya saja, setelah tahu, mari kita ungkapkan dengan tepat antara Subhanallah dan Masya Allah.

Wallahu a’lam bish-shawabi.

Hukum Shalat Taubat

Shalat taubat adalah shalat sunnah ketika melakukan satu dosa dan ingin bertobat sebagai pelengka doa.

Sunnahnya shalat ini disepakati oleh keempat madzhab (lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 27/164).

Dalilnya adalah hadits Ali bin Abi Thalb yang meriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq,, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما مِنْ عَبدٍ يُذْنِبُ ذنباً فيُحسنُ الطهُورَ، ثم يقومُ فيصلي ركعتين، ثم يستغفِرُ الله إلا غفر الله له”

“Tidak ada seorangpun yg telah melakukan satu dosa, lalu dia memperbagus wudhunya, kemudian dia shalat dua rakaat, lalu minta ampun kepada Allah (istighfar) kecuali pastilah Allah akan mengampuninya.”

(HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ahmad).

Bahkan shalat ini boleh dilaksanakan meski di waktu karahah seperti setelah shalat Asar sebelum MAgrib, Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (23/215) mengatakan,

وذوات الأسباب كلها تفوت إذا أخرت عن وقت النهي: مثل سجود التلاوة وتحية المسجد وصلاة الكسوف، ومثل الصلاة عقب الطهارة، كما في حديث بلال، وكذلك صلاة الاستخارة إذا كان الذي يستخير له يفوت إذا أخرت الصلاة، وكذلك صلاة التوبة، فإذا أذنب فالتوبة واجبة على الفور، وهو مندوب إلى أن يصلي ركعتين ثم يتوب كما في حديث أبي بكر الصديق

“Shalat-shalat yg punya sebab dimana akan terlewat bila diundur menunggu selesainya waktu terlarang maka boleh dilakukan, misalnya sujud tilawah, tahiyyatul masjid, shalat kusuf, juga seperti shalat setelah thaharah sebagaimana dalam hadits Bilal, juga shalat istikharah bila waktunya sempit dan akan terlambat kalau diundur setelah berakhirnya waktu terlarang. Demikian pula (boleh) melaksanakan shalat taubat, karena taubat itu wajib disegerakan dan disunnahkan untuk shalat dua rakaat kemudian bertobat sebagaimana dalam hadits Abu Bakar Ash-Shiddiq.”

Caranya seperti shalat sunnah biasa dan tidak ada bacaan khusus di dalamnya, hanya diniatkan sebagai shalat taubat dari dosa baik besar maupun kecil. Wallahu a’lam.

Ustadz Anshari Taslim, Lc.

Baity Jannaty

Mengasingkan diri yang diajarkan syariat dan sunnah Rasul adalah menjauhkan diri dari kejahatan dan pelakunya, orang-orang yang banyak waktu kosongnya, orang-orang yang lalai, dan orang-orang yang senang membuat huru-hara. Dengan begitu, jiwa Anda akan selalu terkendali, hati menjadi tenang dan sejuk, pikiran selalu jernih, dan Anda akan merasa leluasa dan bahagia berada di taman-taman ilmu pengetahuan.

Mengasingkan diri (uzlah) dari semua hal yang melalaikan manusia dari kebaikan dan ketaatan merupakan obat yang sudah diuji coba dan dibuktikan kemujarabannya oleh para ahli pengobatan hati. Banyak cara untuk menjauhkan diri dari kejahatan dan permainan yang sia-sia. Diantaranya adalah; mengisi waktu dengan menyuntikkan wawasan baru ke dalam akal pikiran, menjalankan semua hal yang sesuai dengan kaedah”takut kepada Allah”, dan juga menghadiri majelis-majelis pertaubatan dan dzikir. Betapapun, perkumpulan atau majelis yang terpuji dan patut dikunjungi adalah yang digunakan untuk menjalankan shalat berjamaah, menuntut dan mengajarkan ilmu, atau untuk saling membantu dalam kebaikan.

Maka dari itu, hindarilah majelis-majelis yang tidak jelas tujuannya dan tidak pula berguna! Jaga kesucian kulit Anda, tangisilah kesalahan Anda dan jagalah lidah! Semoga, dengan itu rumah Anda dapat membahagiakan hati Anda.

Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan merupakan seranganmematikan bagi jiwa dan ancaman yang membahayakan keamanan dan kedamaian diri Anda. Pasalnya, melakukan hal itu berarti Anda telah bergaul dengan setan-setan pembisik desas-desus, penebar kabar bohong, peramal bencana dan petaka. Dan itu, akan membuat Anda mati tujuh kali dalam sehari sebelum Anda benar-benar mati. Maka,

{Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka.} (QS. At-Taubah: 47)

Atas dasar itu, harapan saya adalah supaya Anda menjalani bagaimanapun kondisi Anda, tetap menyendiri di ‘kamar’ Anda dan hanya keluar untuk berkata atau berbuat baik saja. Pada saat seperti itu hati Anda akan benar-benar menjadi milik Anda, sehingga waktu dan umur Anda selamat dari kesia-siaan, lidah Anda terhindar dari menggunjing (ghibah), hati Anda bersih dari kerisauan, telinga Anda terjauhkan dari ucapan kotor, dan jiwa Anda bebas dari berburuk sangka. Barangsiapa mencoba sesuatu, niscaya akan mengetahuinya. Barangsiapa membiarkan dirinya hanyut dalam gumpalan kasak-kusuk dan terseret ke dalam komunitas orang-orang yang tidak berilmu, serta senang berbuat yang sia-sia, maka katakan kepadanya:

Selamat tinggal!

Syaikh Dr. ‘Aidh Abdullah Al Qarni

Macam-macam Air Mutlak yang Digunakan untuk Thaharah

Dalam pandangan syariah, air adalah benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus, yaitu menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual berthaharah.

Air merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga air itu berfungsi sebagai media yang syar’i untuk menghilangkan hadats.

Meski benda lain juga bisa dijadikan media berthaharah, namun air adalah media yang utama. Tanah memang juga bisa berfungsi untuk menghilangkan najis, tetapi yang media yang utama untuk membersihkan najis tetap air. Najis berat seperti daging babi disucikan dengan cara mencucinya dengan air 7 kali tanah hanya salah satunya saja. Tanah memang bisa digunakan untuk bertayammum, namun selama masih ada air tayammum masih belum dikerjakan.

Maka ketika kita berbicara tentang thaharah, bab tentang air menjadi bab yang tidak bisa disepelekan.

Namun demikian tidak semua air bisa digunakan untuk bersuci. Ada beberapa keadan air yang tidak memungkinkan untuk digunakan untuk bersuci.

Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, sesuai dengan hukumnya yang digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh, para ulama itu membaginya menjadi 4 macam, yaitu air mutlaq, air musta’mal air yang tercampur benda yang suci, dan air yang tercampur dengan benda najis.

Berikut ini adalah penjabarannya secara ringkas:

Air Mutlaq

Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis.

Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk digunakan untuk bersuci. Maksudnya untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih dikenal dengan istilah طاھر لنفسھ مطھر لغیره thahirun li nafsihi muthahhirun li ghairihi.

Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air the, air kelapa atau air-air lainnya.

Namun air yang suci belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan, seperti untuk berwudhu’ atau mandi. Maka kita tahu ada air yang suci tapi tidak mensucikan, namun setiap air yang mensucikan pastilah air yang suci hukumnya.

Diantara air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah: air hujan, salju, embun, air laut, air zamzam, air sumur atau mata air dan air sungai.

1. Air Hujan

Air hujan yang turun dari langit hukum suci dan juga mensucikan. Suci berarti bukan termasuk najis. Mensucikan berarti bisa digunakan untuk berwudhu mandi janabah atau membersihkan najis pada suatu benda.

Meski pun di zaman sekarang ini air hujan sudah banyak tercemar dan mengandung asam yang tinggi, namun hukumnya tidak berubah. Air hujan yang terkena polusi dan pencemaran ulah tangan manusia bukan termasuk najis.

Ketika air dari bumi menguap naik ke langit, maka sebenarnya uap atau titik-titik air itu bersih dan suci. Meskipun sumbernya dari air yang tercemar kotor atau najis.

Sebab ketika disinari matahari, yang naik ke atas adalah uapnya yang merupakan proses pemisahan antara air dengan zat-zat lain yang mencemarinya. Lalu air itu turun kembali ke bumi sebagai tetes air yang sudah mengalami proses penyulingan alami. Jadi air itu sudah menjadi suci kembali lewat proses itu.

Hanya saja udara kota yang tercemar dengan asap industri kendaraan bermotor dan pembakaran lainnya memenuhi langit kita. Ketika tetes air hujan itu turun terlarut kembalilah semua kandungan polusi itu di angkasa.

Namun meski demikian, dilihat dari sisi syariah dan hukum, air hujan itu tetap suci dan mensucikan. Sebab polusi yang naik ke udara itu pada hakikatnya bukan termasuk barang yang najis. Meski bersifat racun dan berbahaya untuk kesehatan, namun selama bukan termasuk najis sesuai kaidah syariah tercampurnya air hujan dengan polusi udara tidaklah membuat air hujan itu berubah hukumnya sebagai air yang suci dan mensucikan.

Apalagi polusi udara itu masih terbatas pada wilayah tertentu saja, seperti perkotaan yang penuh dengan polusi udara. Di banyak tempat di muka bumi ini, masih banyak langit yang biru dan bersih, sehingga air hujan yang turun di wilayah itu masih sehat.

Tentang sucinya air hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki. (QS Al Anfal: 11)

Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (QS Al Furqan: 48)

2. Salju

Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi butir atau kristal salju, tetapi sesungguhnya salju adalah air juga.

Hukum salju tentu saja sama dengan hukum air hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci baik wudhu’, mandi janabah dan lainnya.

Tentu saja harus diperhatikan suhunya agar tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjelaskan tentang kedudukan salju kesuciannya dan juga fungsinya sebagai media mensucikan. Di dalam doa iftitah pada setiap shalat, salah satu versinya menyebutkan bahwa kita meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar disucikan dari dosa dengan air, salju dan embun.

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan Al Fatihah beliau menjawab”Aku membaca, “Ya Allah Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkanantara Timur dan Barat. Ya Allah sucikan aku dari kesalahankesalahanku sebagaimana pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Embun

Embun juga bagian dari air yang turun dari langit, meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan dedaunan pada pagi hari.

Maka tetes embun itu bisa digunakan untuk mensucikan untuk bertahharah, baik untuk berwudhu, mandi janabah atau menghilangkan najis.

Dalilnya sama dengan dalil di atas yaitu hadits tentang doa iftitah riwayat Abu Hurairah radhiyallahuanhu.

4. Air Laut

Air laut adalah air yang suci dan mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu’, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’).

Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.

Meski pun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, embun, atau pun salju, yaitu boleh dan bisa digunakan untuk berthaharah.

Sebelumnya, para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengetahui hukum air laut untuk berthaharah, sehingga ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup untuk keperluan minum mereka berijtihad untuk berwudhu’ menggunakan air laut.

Sesampainya kembali ke daratan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hukum menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu’. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab bahwa air laut itu suci dan bahkan bangkainya pun suci juga.

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam’Ya Rasulullah kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?’. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, An Nasai)[1]

Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa hewan laut juga halal dimakan dan kalau mati menjadi bangkai bangkainya tetap suci.

5. Air Zamzam

Air Zamzam adalah air yang bersumber dari mata air yang tidak pernah kering. Mata air itu terletak beberapa meter di samping ka’bah sebagai semua sumber mata air pertama di kota Mekkah sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu. Bolehnya air zamzam untuk digunakan bersuci atau berwudhu ada sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Dari Ali bin Abi thalib Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta seember penuh air zamzam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu’. (HR. Ahmad).

Selain boleh digunakan untuk bersuci disunnahkan buat kita untuk minum air zamzam lantaran air itu memiliki kemulian tersendiri di sisi Allah.

Namun para ulama sedikit berbeda pendapat tentang menggunakan air zamzam ini untuk membersihkan najis menjadi 3 pendapat:

Pendapat Pertama

Mazhab Al Hanafiyah mazhab Asy-Syafi’iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats yaitu berwudhu atau mandi janabah.

Namun kurang disukai (karahah) kalau digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang sangat mulia sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn najis dengan air zamzam.

Pendapat Kedua

Mazhab Al Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah.

Dalam pandangan mereka air zamzam boleh digunakan untuk bersuci baik untuk wudhu mandi istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada badan pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air zamzam.

Pendapat Ketiga

Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci baik untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah) apalagi untuk membersihkan najis. Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu:

Aku tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid namun air zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu’

6. Air Sumur atau Mata Air

Air sumur mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk wudhu mandi atau mensucikan diri pakaian dan barang dari najis.

Dalil tentang sucinya air sumur atau mata air adalah hadits tentang sumur Budha’ah yang terletak di kota Madinah.

Dari Abi Said Al Khudhri Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa seorang bertanya, “Ya Rasulullah Apakah kami boleh berwudhu’ dari sumur Budho’ah? Padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu’. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy, An- Nasai Ahmad dan Al Imam Asy-Syafi’i)[2]

7. Air Sungai

Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahulu umat Islam terbiasa mandi wudhu’ atau membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan air sungai.

Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi terutama di kota-kota besar air sungai itu tercemar berat dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.

Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak limbah WC atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai berubah warna bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.

Sebab meskipun jumlahnya banyak tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa warna dan aroma yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai jelaslah air itu menjadi najis.

Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu’ mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa aroma dan warnanya berubah seperti bau najis. Namun umumnya hal itu tidak terjadi pada air laut sebab jumlah air laut jauh lebih banyak meskipun pencemaran air laut pun sudah lumayan parah dan terkadang menimbulkan bau busuk pada pantai-pantai yang jorok.

___________

[1] At Tirmidzy mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih

[2] At-Tirmidzy mengatakan hadits ini hasan

 

Referensi:

Fiqih dan Kehidupan oleh Ahmad Sarwat, Lc. MA.
Mukhtashar Fiqih Islami oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijri

Tafakkur Hikmah Kehidupan dalam Keseharian

Hikmah apa yang sudah kita dapat hari ini?

Ada masanya, kita lupa memaknai bahwa hari-hari kita dapat dilalui dengan satu kekuatan besar : Allah. Ialah Allah yang maha segala, yang memampukan diri ini melakukan begitu banyak hal. Dan setiap hari adalah hari yang sejatinya selalu memuat banyak hikmah, jika saja kita mau meluangkan waktu untuk melakukan refleksi dan merenungkannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada kejadian yang menyenangkan, membuat kesal, membuat terharu, dan berbagai kejadian yang sangat dinamis mengubah emosi. Ada satu poin yang harus dilakukan pada titik ini oleh seorang muslim. Saat di mana kita berfikir : sebenarnya pada momen ini apa yang sedang Allah ajarkan padaku?

Segala hal yang terjadi adalah ketentuan-Nya. Dan jika kita mau membuka hati dan meluangkan waktu barang sejenak, ada saja hikmah yang dapat kita ambil dari setiap kejadian. Seorang Imam Syafi’i ketika tersandung ia langsung berpikir bahwa tersandung ini adalah teguran dari Allah, hingga akhirnya ia merefleksikan apa yang harus ia perbaiki atas amal-amalnya.

Barangkali lewat sakit Allah hendak menegur kita yang terlalu lelah dengan begitu banyak urusan dunia namun sedikit sekali mengindahkan memenuhi hak-hak-Nya. Barangkali lewat kelahiran seorang bayi dari sanak saudara, Allah meminta kita mengingat bahwa kelahiran kita dahulu adalah kehadiran yang sangat diharapkan oleh orang tua, oleh karena itu jangan sampai kita menjadi seorang anak yang membuat keduanya kecewa. Barangkali lewat tumpukan tugas yang semakin mendekati deadline, Allah hendak mengajarkan diri ini untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang telah diberikan-Nya. Lewat kemudahan yang diberikan kita sepatutnya menjaga rasa syukur, dan lewat kesulitan hendaknya kita belajar untuk kuat dan menggantungkan segala hal pada-Nya.

Hati ini mungkin masih sulit untuk memaknai setiap kejadian yang dilalui agar dapat menangkap hikmah yang terselip di dalamnya. Maka seperti ayat 6 dalam surat Al Fatihah, ihdinashshiraatal mustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Meminta pada Allah agar kerap membersamai langkah kita agar selamat dalam perjalanan panjang kehidupan. Karena kata huda yang termuat dalam kata ihdina bukan hanya bermakna petunjuk yang merupakan arti kata rosyad yang berarti hanya memberi arahan. Tapi huda bermakna memberi petunjuk, sekaligus membersamai kita untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Apapun yang Allah berikan hari ini adalah yang terbaik. Syukuri, kemudian ambil pelajaran daripadanya. Karena hikmah hari ini tentu telah disiapkan agar kita makin siap menjalani kehidupan di hari-hari berikutnya. Memahami, mentafakuri, serta mensyukuri hikmah yang telah Allah berikan akan membuat kita semakin mengenal-Nya. Dan mengenal-Nya akan membuat kecintaan pada-Nya kian bertambah. Kenali Ia lewat hikmah yang terselip di antara ilmu yang kita pelajari, di antara nikmat tubuh; secara fisik dan hati nurani, serta mintalah pentunjuk pada-Nya agar diberi kemudahan dalam proses mensyukuri hikmah yang juga proses mengenal-Nya ini.

Senyuman Membawa Kebahagiaan

Ketika kita terbangun dari tidur. Cobalah sejenak tersenyum agar hati ini merasakan kebahagiaan diawal kehidupan setelah melalui proses kematian sesaat (tidur). Kita akan merasakan hal yang berbeda pada saat bangun tanpa ekspresi apapun dengan bangun dengan tersenyum manis. Tersenyum pada diri sendiri diawal hari merupakan salah satu cara mencapai kebahagiaan sepanjang hari.

Apakah hari ini akan dilalui dengan kesedihan? Ataukah kebahagiaankah yang diharapkan? Jika kebahagiaan jawabannya maka dari sekarang, sejak dari bangun tidur kita biasakan untuk tersenyum sebab senyuman akan membawa kebahagiaan tersendiri bagi orang yang melakukannya.

Saat ditimpa suatu masalah pun, usahakan kita tetap tersenyum. Dengan senyuman itu masalah akan terasa ringan dan kecil. Setidaknya dari senyuman diri ini mampu jinak dan tenang dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan.

Satu kunci solusi telah diperoleh. Lewat senyuman, hati akan menjadi tenang dan pikiran pun akan mengikuti sehingga kita bisa fokus pada solusi dari masalah yang memimpa. Bukan fokus pada masalah yang ada yang mengakibatkan tak akan pernah terselesaikan jika hanya berfokus pada masalah. Jika berfokus pada masalah maka diri ini akan mengeluh bahkan berputus asa akibat masalah tersebut,

Bukankah kita semua ingin melewati hari-hari dengan kebahagiaan walaupun masalah hilir mudik mampir? Senyuman yang tergoreskan di wajah setiap manusia adalah salah satu jawaban dari berbagai masalah kehidupan. Disenyuman tersebut akan ditemukan keteduhan dan ketentraman jiwa bagi orang yang tersenyum.

Bahagia dahulukah baru kita tersenyum? Atau kita tersenyum dahulu baru bahagia?

Jika kita menunggu bahagia dahulu baru tersenyum maka terlalu sedikit porsi senyum yang kita berikan dikeseharian bahkan tidak ada senyuman yang menghiasi kehidupan. Sebab, setiap orang memiliki masalah dan persoalan masing-masing, sehingga dari berbagai persoalan tersebut banyak orang yang belum bisa merasakan kebahagiaan. Maka dari itu, jika kita menunggu bahagia dahulu baru tersenyum, bisa dipastikan senyuman itu berharga mahal dan langka.

Sebaliknya, jika tersenyum dahulu baru bahagia. Buktikanlah sendiri. Berhentilah sejenak dalam rutinitas. Tersenyumlah maka kita akan merasakan kebahagiaan. Kita bahagia karena tersenyum. Bukan tersenyum karena bahagia.

Bagi orang yang bahagia karena tersenyum, disaat dalam kesedihan pun dia mampu bahagia dengan senyuman yang terlukis diwajahnya. Tetapi, bagi orang yang tersenyum karena bahagia, disaat dalam kesedihan dia tak akan mampu tersenyum sebab kebahagiaan telah pergi dari dirinya.

Tersenyumlah pada diri sendiri. Tersenyumlah pada orang lain. Asal jangan tersenyum pada benda-benda mati. Dari senyuman itu terhantarkan kebahagiaan yang tak ternilai. Hanya orang-orang yang mampu tersenyum yang akan merasakan kebahagiaan tersebut.

Lewat senyuman manusia akan merasakan kedamaian. Lewat senyuman pula orang-orang akan merasa dihargai dan dihormati. Senyuman yang akan membawa kebahagiaan bagi setiap insan.

Bahkan sang idola pun berpesan yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Abu Dzar,

“Senyummu untuk suadaramu adalah sedekah”

Sedekah dalam bentuk kebahagiaan. Itulah senyuman. Ketika bertemu dengan saudara baik kandung ataupun saudara seiman, kita berikan senyuman agar mereka bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan yang akan menyatukan jiwa-jiwa yang telah lama terpisah. Kebahagiaan yang akan mentautkan tali persaudaraan yang erat.

Wajarlah jika sang idola memerintahkan kita untuk tersenyum. Kita tak mampu memberikan apapun, tetapi kita mampu memberikan senyuman kepada semua orang dengan cuma-cuma namun bernilai pahala yang besar.

Jika ada disekeliling kita, orang yang sedang bersedih. Hiburlah dia sesaat dengan senyuman. Lewat senyuman secara tidak langsung diri ini mentransfer zat-zat kebahagiaan kepada orang yang menatap senyuman tersebut. Biarkanlah zat-zat tersebut menempel dengan kuat di dalam jiwa orang yang sedang dirundung kesedihan.

Alangkah lebih baik pula jika kita mampu menghiburnya dengan memberikan solusi dari segala permasalahan yang dihadapi. Jikalau pun tak mampu memberikan solusi. Setidaknya, kita sudah membantu dirinya mengurangi beban dan menenangkan jiwanya lewat kebahagiaan yang disalurkan dengan senyuman.

Dengan senyum, setiap insan memperoleh pahala dan kebahagiaan. Begitu sulitkan mencari kebahagiaan? Padahal kebahagiaan itu ada di dalam diri masing-masing. Salah satu kebahagiaan yang sering dilupakan adalah tersenyum.
Buatlah diri ini merasa nyaman dan tentram dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Awali semua dengan senyuman. Betapa bahagianya diri kita jika melihat orang tersenyum. Begitu pula orang lain akan bahagia jika melihat diri kita tersenyum.

Tentu, senyuman yang ikhlas dari dalam hati. Senyuman yang menebarkan kebaikan untuk semua orang. Itulah senyuman bernilai sedekah. Bukan, senyuman yang menebarkan keburukan bagi orang lain. Senyuman pertanda meremehkan ataupun menghina orang. Bukan itu yang diajarkan oleh orang nomor satu di dunia dan di akhirat.

Bukankah kita ingin pada saat nafas ini tak berhembus dan jantung ini tak lagi berdetak dalam kondisi tersenyum? Mengapa diri ini merasa susah sekali untuk tersenyum pada diri sendiri apalagi orang lain? Tak maukah diri ini merasakan kebahagiaan yang ada di dalam diri?

Tersenyumlah sahabat, selagi kita masih mampu untuk tersenyum. Setiap detik kita mampu bahagia lewat senyuman. Tak perlu biaya mahal dan mencari jauh-jauh kebahagiaan. Senyuman diri sendirilah kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang tak tersadari bahkan terlupakan ditengah-tengah kesibukan dunia.

Senyuman membawa kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain. Tak menutup kemungkinan pula dari senyuman tidak hanya kebahagiaan di dunia yang diperoleh. Namun, kebahagiaan di akhirat pun akan dicapai lewat senyuman ikhlas di wajah hamba-hamba-Nya yang selalu patuh akan titah-Nya.

Undang-Undang Pernikahan Khalifah Turki Utsmani*

Anda berusia 25 tahun ke atas, namun belum menikah?
Berikut Undang-Undang Pernikahan pada masa kekhalifahan Utsmani tersebut berisi 16 pasal. Salah satunya berbunyi, “Usia pernikahan mulai umur 18-25 tahun. Bila sampai usia 25 tahun belum menikah, maka akan dipaksa menikah.” Semoga memberi ibrah bagi kita semua, khususnya para “utusan kaum Muslimin” yang berjuang membuat produk hukum yang pro-syari’at Islam. Bismillah.

Undang-Undang Pernikahan pada Khilafah Utsmani:

Usia pernikahan mulai umur 18-25 tahun. Bila sampai usia 25 tahun belum menikah, maka akan dipaksa menikah.

Apabila seorang laki-laki pada umur 25 tahun terhalang menikah karena sakit, maka dilihat penyakitnya. Jika masih bisa diobati, maka akan diobati dan dinikahkan. Jika penyakitnya tidak bisa diobati, maka dia tidak akan dinikahkan.

Seorang laki-laki yang terpaksa harus tinggal di luar kota untuk waktu yang lama – karena pekerjaan atau urusan syar’i lainnya – tetapi ia belum mampu mengajak istrinya, jika ia mampu untuk menikah lagi, maka ia sangat diharuskan menikah lagi. Jika urusannya sudah selesai, wajib bagi laki-laki tersebut mengumpulkan kedua istrinya di kota yang sama.

Jika ada seorang laki-laki umur 25 tahun yang sudah mampu menikah tetapi belum melakukan itu tanpa udzur syar’i, maka kelebihan hartanya akan diambil secara paksa baik itu berasal dari laba usaha atau upah yang diterimanya. Kemudian kelebihan harta itu di simpan di Bank khusus yang mengurusi pertanian, yang nantinya akan di distribusikan kepada para pemuda yang sudah siap menikah tetapi belum memiliki kemampuan untuk itu.

Laki-laki yang sudah menikah dan melakukan perjalanan ke luar kota karena suatu urusan, maka berlaku baginya pasal 3 di atas. Dan jika dia tidak mampu menikah lagi, maka diambil 15% dari harta pendapatannya dan berlaku pasal 4 di atas.. Tapi setelah masa 2 tahun dari kedatangannya, ia harus mengajak istrinya untuk ikut bersamanya.

Setiap orang yang belum menikah pada umur 25 tahun dan juga tidak diterima menjadi pegawai pemerintah Khalifah Utsmani atau pegawai swasta dan juga tidak terikat oleh organisasi apapun, berlaku baginya pasal 4 di atas.

Laki-laki yang sudah menikah dan berusia 50 tahun akan tetapi hanya memiliki 1 istri, padahal secara materi ia mampu untuk menikah lagi, maka ia harus menikah lagi sebagai bentuk kontribusi menanggung kebutuhan masyarakat. Jika ia beralasan dengan alasan yang tidak masuk akal, maka ia harus membantu kehidupan dan pendidikan anak-anak fakir dan yatim. Jumlah yang disarankan antara satu sampai tiga orang sesuai kemampuan keuangan laki-laki tersebut.

Setiap lelaki yang menikah sebelum usia 25 tahun atau sebelum usia wajib militer, maka tugas militernya hanya 2 tahun. Adapun yang belum menikah pada usia wajib militer, maka tugas militernya 3 tahun.

Setiap orang yang menikah dalam jangka umur 18-25 tahun dan dia fakir tidak memiliki sesuatu apapun, maka di berikan kepadanya tanah pemerintah seluas 150 sampai 300 hektar (satu hektar setara 920 meter) yang paling dekat dengannya. Pemberian ini dimulai sejak pernikahannya.

Dan jika orang itu pemilik pabrik atau pedagang, maka di berikan kepadanya pinjaman sebanyak 50 sampai 100 Junaih Utsmani. Pinjaman ini dibayar secara angsuran selama 3 tahun tanpa bunga.

Laki-laki yang menikah sebelum umur 25 tahun, dan dia tidak memiliki saudara yang bisa menggantikannya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, maka masa wajib militer laki-laki yang sudah menikah tersebut di tunda. Begitupun dengan perempuan yang tidak memiliki saudara yang bisa menggantikannya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, maka masa wajib militer suaminya di tunda.

Setiap orang yang menikah sebelum umur 25 tahun, dan telah memiliki 3 anak, maka seluruh anak-anaknya diterima di sekolah-sekolah negeri secara gratis. Dan jika memiliki 5 anak atau lebih, maka 3 anaknya akan disekolahkan secara gratis. Adapun sisa 2 anaknya, jika mereka warga kampung tersebut, maka setiap dari mereka akan diberikan 10 Junaih. Dan jika mereka termasuk warga Negara tersebut, maka setiap dari mereka akan diberikan 5 Junaih dari kas Negara. Hal ini berlaku sampai dengan umur 13 tahun. Setiap perempuan yang memiliki 4 anak laki-laki atau lebih akan dibantu untuk keperluan mereka sebanyak 20 Junaih.

Pelajar yang sedang menuntut ilmu di Universitas ditunda kewajiban untuk menikah sampai dia menyelesaikan pendidikannya.

Setiap laki-laki berumur 25 tahun yang tidak memiliki pekerjaan dan belum menikah, akan tetapi hal itu membuat status sosialnya mulia, maka akan di peringatkan dan ditunda (kewajiban menikahnya) selama setahun. Hal itu dimaksudkan untuknya mencari pekerjaan. Jika tidak bisa, maka orang tersebut akan dijadikan pegawai pemerintah Khalifah Utsmani secara paksa.

Pasal 14 di atas tidak berlaku bagi orang yang berumur 50 tahun.

Undang-undang ini berlaku setelah 3 bulan dari waktu ratifikasi.

*Disadur dari laman resmi Dakwatuna.com

Jadikan Buah Lemon Minuman yang Manis

Orang cerdik akan berusaha merubah kerugian menjadi keuntungan. Sedangkan orang bodoh akan membuat suatu musibah menjadi bertumpuk dan berlipat ganda.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diusir dari Makkah, beliau memutuskan untuk menetap di Madinah dan kemudian berhasil membangunnya menjadi sebuah negara yang sangat akrab di telinga dan mata sejarah.

Ahmad ibn Hanbal pernah dipenjara dan dihukum dera, tetapi karenanya pula ia kemudian menjadi imam salah satu madzhab.

Ibnu Taimiyyah pernah di penjara, tetapi justru di penjara itulah ia banyak melahirkan karya.

As-Sarakhsi pernah dikurung di dasar sumur selama bertahun-tahun, tetapi di tempat itulah ia berhasil mengarang buku sebanyak dua puluh jilid.

Ketika Ibnul-Atsir dipecat dari jabatannya, ia berhasil menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Jami’ul Ushul dan an-Nihayah, salah satu buku paling terkenal dalam hadits.

Demikian halnya dengan Ibnul-Jawzy, ia pernah diasingkan dari Baghdad, dan karena itu ia menguasai qiraah sab’ah.

Malik ibn ar-Raib adalah penderita suatu penyakit yang mematikan, namun ia mampu melahirkan syair-syair yang sangat indah dan tak kalah dengan karya-karya para penyair besar zaman Abbasiyah.

Lalu, ketika semua anak Abi Dzuaib al-Hudzali mati meninggalkannya seorang diri, ia justru mampu menciptakan nyanyiannyanyian puitis yang mampu membekam mulut zaman, membuat setiap pendengarnya tersihir, memaksa sejarah untuk selalu bertepuk tangan saat mendengarnya kembali.

Begitulah, ketika tertimpa suatu musibah, Anda harus melihat sisi yang paling terang darinya. Ketika seseorang memberi Anda segelas air lemon, Anda perlu menambah sesendok gula ke dalamnya. Ketika mendapat hadiah seekor ular dari orang, ambil saja kulitnya yang mahal dan tinggalkan bagian tubuhnya yang lain. Ketika disengat kala jengking, ketahuilah bahwa sengatan itu sebenarnya memberikan kekebalan pada tubuh Anda dari bahaya bisa ular.

Kendalikan diri Anda dalam berbagai kesulitan yang Anda hadapi!

Dengan begitu, Anda akan dapat mempersembahkan bunga mawar dan melati yang harum kepada kami. Dan, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Sebelum terjadi revolusi besar di Perancis, konon negara itu pernah memenjara dua sastrawan terkenalnya. Salah seorang dari keduanya sangat optimistis dan yang seorang lagi pesimistis bahwa revolusi dan perubahan akan segera terjadi. Setiap hari keduanya sama-sama melongokkan kepala melalui sela-sela jeruji penjara. Hanya saja, sang sastrawan yang optimistisselalu memandang ke atas dan melihat bintang-bintang yang gemerlap di langit. Dan karena itu ia selalu tersenyum cerah. Adapun sastrawan yang pesimistis, ia selalu melihat ke arah bawah dan hanya melihat tanah hitam di depan penjara, dan kemudian menangis sedih.

Begitulah, sebaiknya Anda selalu melihat sisi lain dari kesedihan itu. Sebab, belum tentu semuanya menyedihkan, pasti ada kebaikan, secercah harapan, jalan keluar serta pahala.

Syaikh ‘Aidh Abdullah Al Qarni

Ikhlas

Sehubungan dengan tempat persinggahan ikhlas ini Allah telah befirman di dalam Al-Qur’an,

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) aga-ma dengan lurus.” (Al-Bayyinah: 5).

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kcpunyaan Allahlah aga-ma yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3).

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2).

Al-Fudhail berkata, “Maksud yang lebih baik amalnya di dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar.”

Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?”

Dia menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas,maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah.”

Kemudian dia membaca ayat, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yangshalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi:110).

Allah juga telah befirman, “Dan, siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (An-Nisa’: 125).

Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan danamal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.

Allah juga befirman,

“Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).

Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Sa’d bin Abi Waqqash, “Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatu amal untuk mencari Wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajat dan ketinggian karenanya.”

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tiga perkara, yang hati orang Mukmin tidak akan berkhianat jika ada padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada para waliyul-amri dan mengikuti jama’ah orang-orang Muslim,karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang karena riya’, berperang karena keberanian dan berperang karena kesatriaan, manakah di antaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau menjawab, “Orang yang berperang agar kalimat Allahlah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah.”

Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu qari’ Al-Qur’an, muja-hid dan orang yang menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar dikatakan, “Fulan adalah qari’, Fulan adalah pemberani, Fulan ada-lah orang yang bershadaqah”, yang amal-amal mereka tidak ikhlas kare-na Allah.

Di dalam hadits qudsy yang shahih disebutkan, “Allah befirman, ‘Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuandari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatuamal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menja-di milik yang dia sekutukannya dan Aku terbebas darinya’.”

Di dalam hadits lain disebutkan, “‘Allah befirman pada hari kiamat, Pergilah lalu ambillah pahalamudari orang yang amalmu kamu tujukan. Kamu tidak mempunyai pahala di sisi Kami’.”

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian.”

Banyak definisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun tujuannya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendi-rikan Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinyamembersihkan perbuatan dari perhatian makhluk. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menjaga amal dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Sedangkan shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja.

Orang yang ikhlas tidak riya’ dan orang yang shadiq tidak ujub. Ikhlas tidakbisa sempurna kecuali dengan shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar.

Ada pula yang berpendapat, siapa yang mempersaksikan adanya ikhlas dalam ikhlas, berarti ikhlasnya membutuhkan ikhlas lagi.

Kekurangan orang yang mukhlis dalam ikhlasnya, tergantung daripandang-an terhadap ikhlasnya. Jika dia tidak lagi melihat ikhlasnya, maka dialah orang yang benar-benar mukhlis. Ada pula yang berpendapat, ikhlas arti-nya menyelaraskan amal-amal hamba secara zhahir dan batin. Riya’ ialah jika zhahirnya lebih baik daripada batinnya. Shidq dalam ikhlas ialah jika batinnya lebih semarak daripada zhahirnya.

Al-Fudhail berkata, “Meninggalkan amal karena menusia adalah riya’. Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya.”

Al-Junaid berkata, “Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat, sehingga dia menulisnya,tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya.”

Yusuf bin Al-Husain berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya’ dari hatiku, tapiseakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain.”

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran.” Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan san-jungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun.

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ikhlas ini ada tiga derajat:

1. Tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal dan tidak puas terhadap amal.

Ada tiga macam penghalang dan perintang bagi orang yang beramal dalam amalnya: Pertama, pandangan dan perhatiannya. Kedua, keinginan akan imbalan dari amal itu. Ketiga, puas dan senang kepadan-ya. Yang bisa membersihkan hamba dari pandangan terhadap amalnya ialah mempersaksikan karunia dan taufik Allah kepadanya, bahwa amal itu datang dari Allah dan bukan dari dirinya, kehendak Allahlah yang membuat amalnya ada dan bukan kehendak dirinya, sebagai-mana firman-nya,

“Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendakiAllah, Rabb semesta alam.” (At-Takkwir: 29).

Di sini ada yang sangat bermanfaat baginya, yaitu kekuasaan Allah, bahwa dirinya hanyalah alat semata, perbuatannya hanyalah seperti gerakan pohon yang terkena hembusan angin, yang menggerakkannya selain dirinya, dia ibarat mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa, yang andaikan segala sesuatu diserahkan kepadanya, maka tidak ada perbuatannyayang bermaslahat sama sekali, karena jiwanya bodoh dan zhalim, tabiatnya malas, yang dipentingkannya adalah syahwat.

Kebaikan yang keluar dari jiwa itu hanya berasal dari Allah dan bukan yang berasal dari hamba, sebagaimana firman-Nya, “Sekiranya tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kalian bersih (dari perbuatanperbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nur: 21).

Semua kebaikan yang ada pada diri hamba semata karena karunia Allah, pemberian, kebaikan dan nikmat-Nya. Pandangan hamba terhadap amainya yang hakiki ialah pandangannya terhadap sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan penciptaan, yang semua semata karena pemberian Allah, karunia dan rahmat-Nya. Jadi, yang bisa membersihkan hamba dari perintang ini adalah mengetahui Rabb-nya dan juga mengetahui dirinya sendiri.

Sedangkan yang bisa membersihkan hamba dari tujuan mencari imbalan atas amainya ialah menyadari bahwa dia hanyalah hamba semata.

Seorang hamba (budak) tidak layak menuntut imbalan dan upah dari pengabdiannya terhadap tuannya. Sebab imbalan hanya layak dimintaorang yang merdeka atau budak orang lain. Sedangkan yang membersihkan hamba dari kepuasan terhadap amainya ada dua macam:

Memperhatikan aib, cela dan kekurangannya dalam amal, yang di dalamnya banyak terdapat bagian-bagian syetan dan nafsu. Jarang sekali ada amal melainkan syetan mempunyai bagian dalam amal itu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menengok saat mendirikan shalat. Maka beliau menjawab, “Itu adalah rampasan yang diambil syetan dari shalat hamba.” Jika ini berlaku untuk sekali tengokan yang hanya sesaat saja, lalu bagaimana dengan hati yang menengok kepada selain Allah? Tentu saja bagian syetan lebih banyak lagi. Ibnu Mas’ud berkata, “Seseorang di antara kalian tidak memberikan bagian kepada syetan dari shalatnya, sehingga syetan itu melihat ada hak atas shalat tersebut, melainkan karena dia menengok ke arah kanannya.”
Mengetahui hak Allah atas dirinya, yaitu hak ubudiyah beserta adabadab zhahir dan batin serta memenuhi syarat-syaratnya, menyadari bahwa hamba itu terlalu lemah untuk dapat memenuhi hak-hak itu. Orang yang memiliki ma’rifat ialah yang tidak ridha sedikit pun ter hadap amainya dan merasa malu jika Allah menerima amainya.
2. Malu terhadap amal sambil tetap berusaha, berusaha sekuat tenaga membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian, memelihara caha-ya taufik yang dipancarkan Allah.

Hamba yang merasa malu kepada Allah karena amainya, karena dia merasa amal itu belum layak dilakukan karena Allah, tapi amal itu tetap diupayakan. Allah befirman,

“Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al-Mukminin: 60).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda menjelaskan maksud ayat ini,“Dia adalah orang yang berpuasa, mendirikan shalat, mengeluarkan shadaqah, dan dia takut amal-amalnya ini tidak diterima.”

Sebagian ulama berkata, “Aku benar-benar mendirikan shalat dua rakaat, namun ketika mendirikannya aku tak ubahnya seorang pencuri atau pezina yang tidak dilihat orang, karena merasa malu kepada Allah.”

Orang Mukmin adalah orang yang memadukan kebajikan disertai ketakutan dan buruk sangka terhadap dirinya, sedangkan orang yang tertipu dan munafik adalah orang yang berbaik sangka terhadap dirinya dan juga berbuat jahat.

Maksud memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah, bahwa dengan cahaya itu engkau bisa tahu bahwa amalmu semata karena karu-nia Allah dan bukan karena dirimu sendiri.

Derajat ini mencakup lima perkara: Amal, berusaha dalam amal, rasa malu kepada Allah, memelihara kesaksian, melihat amal sebagai pemberian dan karunia Allah.

3. Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal, membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum kehendak Allah dan membebaskannya dari sentuhan rupa.

Perkataan, “Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal”, ditafsiri dengan lanjutannya, yaitu membiarkan amal itu berlalu berdasarkan ilmu dan engkau tunduk kepada hukum kehendak Allah.

Artinya, engkau menjadikan amalmu mengikuti ilmu, menyesuaikan diri dengannya, berhenti menurut pemberhentiannya, bergerak menu-rut gerakannya, melihat hukum agama dan membatasi dengan batasanbatasannya, memperhatikan pahala dan siksa di kemudian hari.

Meskipun begitu engkau juga harus berlalu dengan memperhatikan hatimu, mempersaksikan hukum alam, yang di dalamnya terkandung hukum sebab akibat, yang tak sedikit pun lepas dari kehendak Allah.

Sehingga seorang hamba bertindak berdasarkan dua perkara: Perta-ma, perintah dan larangan, yang berkaitan dengan apa yang harus diker jakannya dan apa yang harus ditinggalkannya. Kedua, qadha’ dan qadar, yang berkaitan dengan iman, kesaksian dan hakikat. Dengan begitu dia bisa melihat hakikat dan bertindak berdasarkan syariat. Dua perkara inilah ubudiyah seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya, “(yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takkwir: 28-29).

Membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu merupakan kesaksian dari firman Allah, “Bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus”, sedangkan pelakunya yang tunduk kepada hukum kehendak Allah merupakan kesaksian terhadap firman-Nya, “Kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah”.

Tentang perkataan, “Membebaskan amal dari sentuhan rupa”, artinya membebaskan amal dan ubudiyah dari selain Allah. Karena apa pun selain Allah hanyalah rupa yang hanya tampak di luarnya saja.

Apa Kata Syaikh Yusuf Qardhawi Soal ISIS

Presiden Persatuan Ulama Islam Sedunia, Syaikh Yusuf Qardhawi menilai bahwa khilafah yang dideklarasikan ISIS tidak bermakna apa-apa karena tidak cukup syarat.

Pernyataan ini disampaikan saat wawancara dengan Kantor Berita Anadolu di selah-selah pertemuan Ulama Islam Sedunia yang ke empat kalinya di Istanbul dimana beliau menyatakan bahwa “Model Khilafah yang sangat memungkin pada masa kini adalah dengan cara dimana negara-negara yang menerapkan Syariah besatu dalam bentuk Federasi atau Konfederasi, dan tidak dengan model lama.

Qardhawi menambahkan, “ada negara besar seperti China dimana penduduknya lebih dari 1,5 milyar. Sementara penduduk Muslim sedunia sudah mencapai 1,7 milyar, dan ini bisa disatukan dalam bentuk Uni Islamic State, cuma ini tidak
mudah dan memerlukan pemimpin-pemimpin yang benar yang dapat melihat realitas secara benar, dapat bekerja sama dengan rakyatnya, dan mereka lah nantinya yang dapat mendirikan Uni Islamic State ini kelak”, menurut Qardhawi.

Terkait kelompok-kelompok ekstrimis, Qardhawi menjelaskan bahwa “kelompok-kelompok tersebut muncul disebabkan bobroknya kondisi ummat dan bobroknya para penguasa yang mengakibatkan banyak generasi
muda Islam banyak yang cenderung mengikuti pola ekstrimis dan meyakini bahwa apa yang mereka lalukan adalah jihad di jalan Allah (dalam menumpas kebobrokan tersebut), bahkan ada yang sampai mengkafirkan dan bahkan menghabisi komunitas zimmi. Tentunya ini adalah problem besar, karena islam tidak membenarkan tindakan ekstrim”.

Terkait bagaimana menghadapi ekstrimisme dikalangan generasi muda muslim, Qardhawi berpendapat: “membutuhkan kerja keras, sampai fiqih moderat memasyarakat di dunia islam. Dalam banyak hadis Rasulullah selalu mengecam ekstrimisme dan mengajak kepada moderat, agar tidak terlalu ekstrim dan tidak terlalu “cuek” dalam agama ini”.

Do'a Beliau Selalu Mustajab

Kepemimpinan akan berakhir dalam waktu singkat. Tapi adilnya kepemimpinan akan membawa kebaikan yang tiada akhir hingga Yaumil Qiyamah

MARI kita renungi sejenak hadis Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Beliau bersabda:

“ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الإِمَامُ العَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يَفْطُرَ وَدَعْوَةُ المَظْلُوْمِ”

“Tiga do’a yang tidak tertolak: do’a pemimpin yang adil, orang berpuasa hingga berbuka dan do’a orang yang dizhalimi.” (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah).

Di setiap masa dan rezim, selalu ada peluang munculnya orang-orang yang do’anya sangat mustajabah, meskipun mereka tidak sedang berpuasa. Boleh jadi ibadahnya sedikit, boleh jadi tak banyak amalan sunnah yang dikerjakan, tapi mustajabah do’anya karena ia memimpin dengan adil.

Qais bin Sa’ad berkata, “Sehari bagi imam yang adil, lebih baik daripada ibadah seseorang di rumahnya selama enam puluh tahun.”

Maka alangkah ruginya, alangkah celakanya dan binasalah jika masa yang singkat sebagai pemimpin tak dimanfaatkan sepenuh kesungguhan dengan menegakkan keadilan dan kebenaran.Kepemimpinan akan berakhir dalam waktu singkat. Tapi adilnya kepemimpinan akan membawa kebaikan yang tiada akhir hingga Yaumil Qiyamah. Sebaliknya, kezhaliman akan membawa petaka yang tiada akhir. Di dunia beriring cerca, di akhirat musibah besar yang tak terkira. Pedih bersambung-sambung tiada ujungnya.

Jika seorang pemimpin melakukan kezhaliman yang sangat besar sehingga rakyat sengsara dan tak dapat menjalankan agama dengan baik, maka ketika itulah akan banyak orang yang mustabajah do’anya bersebab dizhalimi. Jika itu terjadi, gunakanlah untuk mendo’akan kebaikan, bagi dirimu, keluargamu, keturunanmu dan orang lain.

Saat sedang dizhalimi, sebagian orang hanya menghabiskan waktu untuk mencaci-maki, bahkan hingga melampaui batas. Sebagian memperbanyak do’a seraya memperbaiki diri. Tetapi pada akhirnya, kembalinya kepada yang dizhalimi, apakah ia hanya menggerutu dan memaki sehingga makin terpuruk, atau berbenah dan memperbanyak do’a. Semuanya membawa akibat yang berbeda-beda bagi diri mereka.

Adakalanya seseorang dizhalimi bukan karena adanya pemimpin yang zhalim, tetapi karena adanya orang-orang yang zhalim kepadanya. Yang jelas, di setiap rezim selalu ada pintu do’a yang makbul; boleh jadi bagi pemimpin yang adil, boleh jadi bagi rakyat yang dizhalimi. Tapi seburuk-buruk keadaan adalah zhalimnya rakyat. Siapakah itu? Seseorang yang tidak direnggut haknya, tidak dinistakan, tidak pula ditelantarkan. Tapi ia bertindak zhalim dan melampaui batas.

Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata, “Jika seorang pemimpin berkeinginan melakukan kecurangan atau telah melakukannya, maka Allah akan menimpakan kekurangan pada rakyatnya di pasar, di sawah, pada hewan ternak dan pada segala sesuatu. Dan jika seorang pemimpin ingin melakukan kebaikan & keadilan atau telah melakukannya niscaya Allah menurunkan barakah pada penduduknya.”

Apakah kita sedang berjalan menuju barakah atau justru menjauhinya? Mari sejenak kita periksa sikap kita dan sikap pemimpin terhadap kita. Ini baru berkait dengan ada tidaknya kezhaliman, adil tidaknya seorang pemimpin. Sungguh, ada urusan lain yang jauh lebih mendasar. Salah satunya terkait sikap pemimpin terhadap syari’at Islam ini.

Sesungguhnya setiap pemimpin memiliki hak untuk kita do’akan dengan kebaikan. Dan setiap do’a bermanfaat bagi yang mendo’akan, terlebih ketika ia mendo’akan secara diam-diam tanpa sepengetahuan yang dido’akan. Jika kita do’akan kebaikan bagi seorang pemimpin, mungkin Allah Ta’ala akan jadikan ia baik, mungkin kebaikan itu bagi kita sendiri.

Mari sejenak kita renungi hadis riwayat Muslim berikut ini. Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ. كُلَّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْنَ. وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya adalah do’a yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdo’a untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata: ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan.’” (HR. Muslim).

Maka, tak ada ruginya mendo’akan yang baik, kecuali bagi orang yang nyata-nyata menginjak-injak agama ini dan memusuhinya secara sadar. Do’a yang baik tetap bermanfaat, sekurangnya bagi yang mendo’akan.

Terkait kepemimpinan, mari kita ingat pula sejenak sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Tiada seorang hamba yang Allah memberi kekuasaan kepadanya mengurusi rakyat, di hari ia mati itu ia menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga atasnya.” (HR. Muslim).

Hadis riwayat Muslim ini semoga dapat menjadi renungan kita. Semoga Allah Ta’ala limpahkan kebaikan kepada kita semua. Semoga tetap iman.

Aku tulis ini sebagai nasehat bagi diriku sendiri, pemimpin dan calon pemimpin. Bukan untuk menilai. Tapi sebagai pengingat bersama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Pemimpin yang Sesungguhnya

Seseorang mampu menjadi pemimpin tanpa harus menempati jabatan struktural sebagai ketua dan atau penanggung jawab suatu perkara, kemudian mempunyai banyak bawahan, staf, ataupun jundi. Dia hanya perlu untuk mau menanggung beban yang kebanyakan orang tidak mau memikulnya.

Pemimpin sejati, seseorang yang mau mengambil peran lebih banyak dari yang lain. Dia tidak harus menjadi apapun. Tapi di satu sisi dia juga siap untuk menjadi apapun, siap melakukan apapun. Karena semua amal yang dia emban sebagai amanah diyakininya akan menjadi sarana untuk mendapatkan surga. Dia tidak berkeinginan untuk melakukan banyak hal, tapi dia bertekad melakukan yang terbaik yang dia mampu. Semangatnya adalah semangat amal, semangat menanggung beban. Bukan sekadar semangat mendapatkan posisi dalam jabatan struktural.

Terkait kapasitas dan kualifikasi diri, biarlah Allah yang mencukupkanya. Sebagaimana mengurus orang banyak (baca: dakwah), Ust Hilmi Aminudin meneguhkankan kita, “Dakwah ini proyek Allah, dan Allah sendiri yang akan membiayai terselesaikannya proyek tersebut.”

Memang beramal (baca: dakwah) membutuhkan ilmu. Tapi kita juga tidak harus menunggu menjadi mufti untuk diperbolehkan berdakwah. Kita hanya harus menjadi generasi Rabbani sebagaimana tercantum dalam QS Ali–Imran: 79, “Hendaklah kaum menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan karena kamu tetap mempelajarinya”.

Maka semangat yang tumbuh di awal adalah semangat menanggung beban, semangat kesediaan untuk memikul beban lebih banyak dari yang lain. Biidznillah, dengannya nanti kemudian kita akan memenuhi segala kualifikasi diri seiring dengan tuntutan dan kewajiban-kewajiban yang harus kita penuhi untuk menyelesaikan beban (baca: amanah) tersebut.

Karena bukankah,
Begitu banyak orang mampu tapi tidak mau
Begitu banyak orang berpunya tapi tidak mengulurkan tangannya
Begitu banyak orang mengetahui tapi tidak peka punya naluri

Sekali lagi, kita hanya harus bersedia menanggung beban lebih banyak daripada yang lain. Teringat tekad (Alm) Ust Rahmat Abdullah,
“Seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Bila semua pihak menghindar, biarlah saya yang menanggungnya, semua atau sebagiannya…”

Ketika orang–orang sibuk memenuhi kebutuhannya sendiri, seorang pemimpin sibuk memenuhi kebutuhan orang lain. Dan ketika orang–orang beristirahat, seorang pemimpin masih terus bekerja untuk dirinya sendiri.  Karena justru, paradigma yang sebenarnya melekat pada status ketua adalah:
1. Tidak ada yang lain. Kamu adalah opsi terakhir
2. Tidak ada yang mau. Secara kualitas diri, kamu tidak jauh lebih baik dari yang lain
3. Korban keadaan. Karena yang lain tidak mau repot maka kamu yang diajukan

Maka sungguh,
Tidak harus menjadi ketua untuk melakukan amal– amal luar biasa. Kita hanya harus menjadi pemimpin. Meskipun justru lebih sering kita harus memimpin diri kita sendiri untuk kemudian memimpin orang lain.

Akan tetapi,
Jika suatu ketika Allah memberikan amanah kepada kita untuk menempati amanah struktural sebagai ketua dalam arti yang sebenarnya, Ambil dan nikmatilah. Ini adalah jalan untuk kita mendapatkan peluang amal yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Dengannya kemudian semoga kita melahirkan pemimpin–pemimpin baru yang akan meneruskan estafet perjuangan dakwah ini.

Karena Engkau Adalah Ayah

Karena engkau adalah ayah
Tanggung jawab di pundakmu begitu luar biasa
Maka tidaklah cukup jika engkau menebusnya
Sekedar lelah mencari harta

Engkau tentukan masa depan keluarga
Jauh sebelum titik awal berumah tangga
Di tanah mana menyemai benih yang kau punya
Agar kelak memetik hasil berkualitas istimewa

Karena engkau adalah ayah
Pilihanmu bukanlah perkara sederhana
Maka tidaklah cukup jika engkau menebusnya
Sekedar untuk puaskan nafsu semata

Engkau tentukan visi keluarga
Ke arah mana perahu akan mengembara
Dalam Al-quran tertulis firman-Nya
Bahwa tugasmu sebagai nahkoda
Menjaga diri dan keluarga dari panasnya api neraka

Karena engkau adalah ayah
Kebijakanmu adalah arah kemudi yang utama
Maka tidaklah cukup jika engkau menebusnya
Sekedar mengalir begitu saja tanpa cita-cita

Engkau jadikan urusan agama
Sebagai perkara utama keluarga
Karena apapun yang diraih di dunia
Hanyalah bekal kehidupan sesungguhnya

Karena engkau adalah ayah
Kualitas agamamu adalah teladan keluarga
Maka tidaklah cukup jika engkau menebusnya
Sekedar shalat 5 waktu saja

Doamu adalah senjata utama
Bahkan tertuang saat kau memilihkan nama
Bagi putra dan putrimu tercinta
Bahkan syariat pun berkata itulah hak anak atas ayahnya

Karena engkau adalah ayah
Nama yang kau pilih adalah doa
Maka tidaklah cukup jika engkau memilihnya
Sekedar terdengar indah saja

Engkau berikan anakmu pendidikan
Engkau ajarkan anakmu kebaikan
Engkau jaga anakmu dalam adab-adab islam
Engkau perintahkan anakmu melaksanakan kewajiban
Engkau hidupkan sunah rasul menjadi kebiasaan
Karena engkau tau mereka sebaik-baik simpanan
Dan ilmu darimu adalah sebaik-baik warisan

Karena engkau adalah ayah
Peranmu begitu besar dalam pengasuhan
Maka tidaklah cukup jika engkau menebusnya
Sekedar kelayakan memberi makan dan pakaian

Engkau tebus mereka yang tergadaikan
Dengan akikah setelah kelahiran
Engkau tunaikan kewajiban mengkhitan
Sebagaimana islam memberi tuntutan

Dan kelak mereka engkau antarkan
Menuju gerbang pernikahan
Kepada siapa yang engkau percaya
Melanjutkan estafet kepemimpinan

Karena engkau adalah ayah
Sepadat apapun tuntutan pekerjaan
Tunaikanlah seluruh kewajiban
Agar dirimu selamat di hari pertanggung jawaban

Keutamaan Ibadah 10 Hari Pertama Dzulhijjah

Bulan Dzulhijjah adalah bulan yang mulia, salah satu dari bulan haram (suci) dimana amal ibadah di bulan ini pahalanya dilipatgandakan. Dan bulan ini juga merupakan bulan pelaksanaan ibadah haji. Jutaan umat Islam berkumpul di tanah suci untuk menunaikan panggilan Allah melaksanakan rukun Islam yang kelima. Kemuliaan bulan Dzulhijjah, khususnya pada sepuluh hari pertama telah diabadikan dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

وَالْفَجْرِ {1} وَلَيَالٍ عَشْرٍ {2} وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ {3} وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
“Demi fajar,  Dan malam yang sepuluh, Dan yang genap dan yang ganjil,  Dan malam bila berlalu” (QS Al-Fajr 1-4)

Allah SWT. bersumpah dengan 5 makhluk-Nya, bersumpah dengan waktu fajar, malam yang sepuluh, yang genap, yang ganjil dan malam ketika berlalu. Dan para ulama tafsir seperti, Ibnu Abbas ra, Ibnu Zubair ra, Mujahid ra, As-Sudy ra, Al-Kalby ra  menafsirkan maksud malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Allah bersumpah dengan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah karena keutamaan beribadah pada hari tersebut, sebagaimana hadits Rasul saw:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ.‏
Dari Ibnu Abbas ra berkata, Rasulullah saw. bersabda, ”Tiada hari dimana amal shalih lebih dicintai Allah melebihi hari-hari ini –yaitu sepuluh hari pertama Zhulhijjjah.“ Sahabat bertanya, ”Ya Rasulallah saw, tidak juga jika dibandingkan dengan jihad di jalan Allah?“ Rasul saw. menjawab, ”Tidak juga dengan jihad, kecuali seorang yang berjihad dengan jiwa dan hartanya serta tidak kembali (gugur sebagai syahid).” (HR Bukhari)

5 AMAL SHALIH DI SEPULUH  HARI PERTAMA DZULHIJJAH

1.Takbir,  Tahlil dan Tahmid
عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "ما من أيام أفضل عند الله ولا أحب إليه العمل فيهن من أيام العشر، فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد".
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw. bersabda, ”Tiada hari-hari dimana amal shalih paling utama disisi Allah dan paling dicintai-Nya melebihi sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Perbanyaklah pada hari itu dengan Tahlil, Takbir dan Tahmid.”  (HR Ahmad dan Al-Baihaqi) Berkata imam al-Bukhari, ”Ibnu Umar ra. dan Abu Hurairah ra pada hari sepuluh pertama Dzulhijjah pergi ke pasar bertakbir dan manusia mengikuti takbir keduanya.”

2.Puasa sunnah, khususnya puasa sunnah ‘Arafah
عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قالَ  : سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ: "يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Dari Abu Qatadah ra berkata, Rasulullah saw. ditanya tentang puasa hari ‘Arafah? Rasul saw menjawab, ”Menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR Muslim)

3.Memperbanyak amal ibadah, karena  pahalanya dilipatgandakan, seperti shalat, dzikir, takbir, tahlil, tahmid, shalawat, puasa  infak, dan lain lain.
وعن جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أفضل أيام الدنيا العشر يعني عشر ذي الحجة قيل ولا مثلهن في سبيل الله قال ولا مثلهن في سبيل الله إلا رجل عفر وجهه بالتراب
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Sebaik-baiknya hari dunia adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” Ditanya, “Apakah jihad  di jalan Allah tidak sebaik itu?” Rasul saw. menjawab, ”Tidak akan sama  jika dibandingkan dengan jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang menaburkan wajahnya dengan debu (gugur sebagai syahid).” (HR Al-Bazzar dengan sanad yang hasan dan Abu Ya’la dengan sanad yang shahih)

4.Shalat ‘Idul Adha, mendengarkan khutbah dan berqurban pada Hari Nahr (10 Dzulhijjah). Allah Ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS al-Kautsr 2)
Di antara makna perintah shalat disini adalah shalat Idul Adha. Berkata Ar-Rabi’, “Jika engkau selesai shalat di hari Idul Adha, maka berkurbanlah.” Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: { كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَخْرُجُ يَوْمَ اَلْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى اَلْمُصَلَّى, وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ اَلصَّلَاةُ, ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ اَلنَّاسِ -وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ- فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Said berkata, “Rasulullah saw. keluar di hari Idul Fitri dan Idul Adha ke tempat sholat. Yang pertama dilakukan adalah shalat, kemudian menghadap manusia –sedang mereka tetap pada shafnya- Rasul saw berkhutbah memberi nasehat dan menyuruh mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi.
وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ اَلْعَوَاتِقَ, وَالْحُيَّضَ فِي الْعِيدَيْنِ; يَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَيَعْتَزِلُ اَلْحُيَّضُ اَلْمُصَلَّى مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummi ‘Athiyah berkata, ”Kami diperintahkan agar wanita yang bersih dan yang sedang haidh keluar pada Dua Hari Raya, hadir menyaksikan kebaikan dan khutbah umat Islam dan orang yang berhaidh harus menjauhi tempat sholat.” (Muttafaqun ‘alaihi)

5.Takbir dan berkurban di Hari Tasyriq
وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS Al-Baqarah) Para ulama sepakat bahwa beberapa hari berbilang adalah hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.

Imam Al-Bukhari memasukan hari Tasyriq pada hari sepuluh pertama Dzulhijjah, dan memiliki keutamaan yang sama sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani memberikan komentar dalam kitabnya Fathul Bari: pertama, bahwa kemuliaan hari Tasyriq mengiringi kemuliaan Ayyamul ‘Asyr; kedua, keduanya terkait dengan amal ibadah haji; ketiga,  bahwa sebagian hari Tasyriq adalah sebagian hari ‘Ayyamul ‘Asyr yaitu hari raya Idul Adha.

Pada hari Tasyriq juga masih disunnahkan untuk berkurban. Rasulullah saw. bersabda,
وكل أيام التشريق ذبح
“Seluruh hari Tasyriq adalah hari penyembelihan (kurban).” (HR Ahmad)

Anda Harus Tahu Ini : Hollywood

Sahabat Blogger,

Jika anda sebagai penyuka film maka anda pasti akan tahu apa dan bagaimana hollywood. Dan bagaimana mungkin film-film produksi hollywood tidak merajai dunia tanpa semua inovasi dan kreatifitas yang begitu memikat. Bagaimana pun juga kita tahu bahwa hollywood mampu membuat para penyuka film berdecak kagum dengan imajinasi-imajinasi tingkat tinggi plus akting yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Maka tak heran jika film-film hollywood mampu menyihir para penonton yang notabene para kawula muda di seluruh dunia. Termasuk kawula muda umat muslim. Ratusan film telah dihasilkan hollywood dengan berbagai macam genre yagn sangat menarik semacam action, spionase-thriller, drama, horror, science dan animasi. Kelebihan film-film produksi holliwood bisa dilihat dari ide-idenya yang imajinatif, konstruktif, kreatif dan inovatif dibanding film-film produksi manapun. Terbukti dengan suksesnya puluhan film-film dengan judul yang sangat familiar di telinga. Sebutlah serial harry potter, serial the twilight saga, titanic, oblivion, the lord of the ring dan sebagainya.

Tapi sadarkah kita bahwa dibalik semua itu ada sebuah misi tersembunyi yang ditawarkan oleh hollywwod terhadap para penyuka film? Sadarkah kita bahwa dibalik akting para aktornya ada hal yang tak pernah sesuai dengan adat istiadat kita sebagai kaum muslimin? Dan tahukan anda bahwa misi liberalisme akan terselip disetiap al;ur-alurnya yang sangat menakjubkan dan terkonsep dengan apik.

Liberalisme lah yang telah mengaburkan semua alur menjadi penjajahan yang sangat halus. Penjajahan pikiran atau dalam istilah kita dsebut ghazwul fikr. Tanpa sadar kita mulai tergiring dengan gaya hidup hedonis ala barat, kita digiring untuk meniru apa yang tersuguhkan dari film-film tersebut.

Asal tahu saja, hampir semua film hollywood memuat adegan yang tidak sesuai dengan norma islam dan norma ketimuran. Kalau anda penyuka fim hollywood anda akan tidak asing lagi dengan tampilan-tampilan yang sensual, adegan ciuman-petting antar lawan jenis bahkan sesame jenis, pelukan bahkan lebih dari itu.Maka sangat tidak etis jika hilang kepekaan kita terhadap hal-hal diatas.

Mungkin ada alasan-alasan tertentu kenapa kita menyukai fim hollywood dan terkesan rasional. Saya sempat menanyai beberepa teman yang hoby berat menonton fim-film produksi hollywood, diantara alasan mereka adalah;

-mengembangkan imajinasi. Biasanya alasan ini keluar dari para penulis-penulis fiksi yang haus akan ide-ide briliant untuk bahan tulisan mereka. Dan diyakini, dengan menonton film imajinatif hollywood akan membantu mereka untuk menulis lebih liar. Imajinasi akan tersuntik sekaligus termotivasi untuk merekontruksi karya fiksi yang memikat.

-mengembangkan kemampuan bahasa inggris.

Fakta lainnya, film-film yang laris di bioskop akan disusul dengan launching novel-novel terjemahan dengan judul yang sama. Karena biasanya film-film itu juga adaptasi dari novel-novel yang laris pula. Tak jauh berbeda dengan film, konten yang ditawarkan sama. Disamping kita diajak berenang di samudera imajinasi kita juga ditawarkan gaya hidup hedonisnya.

Para penerbit-penerbit kawakan semacam gramedia pustaka dan elex media komputindo menerbitkan novel-novel terjemahan itu tanpa suntingan. Hasilnya banyak nbagian-bagian novel yang menggambarkan adegan-adegan yang tidak sesuai dengan norma-norma agama.

Dibalik semua itu, ada hikmah yang harus kita ambil dari fenomena boomingnya hollywwod. Sudah saatnya para sineas,-sutradara , production house, actor- muslim memproduksi film-film islami yang mendidik, menghibur dan mencerahkan. Begitu juga dengan para penulis muslim. Sudah saatnya kita unutk menandingi ketenaran novel-novel sihir JK. Rowling, Stephanie Meyers, tolkin dan penulis-penulis barat lainnya dengan konten fiksi islami yang tak kalah imajinatif dan inovatif.

Jadi apa pun alasannya, film-film produksi holliwood tidak cocok unutk kita tonton. Apalagi dengan alasan mengembangkan kemampuan menulis, imajinasi dan bahsa inggris. Toh ada cara lain selain dari itu. Pepatah lama juga mengatakan” banyak jalan menuju roma.” Jadi kenapa harus bergantung dengan film hollywwod?

Husni mubarok

Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!

4 Nasehat Nabi Untuk Para Suami

Empat nasehat ini dikutip Syaikh Fuad Shalih dalam bukunya Liman Yuriidu Az Ziwaaj wa Tazawuj. Sebagai ulama dan penulis buku pernikahan, beliau merasa perlu mencantumkan hadits ini agar para suami berbenah diri; tidak hanya menuntut istri mempersembahkan yang terbaik bagi dirinya, tetapi juga ia mempersembahkan yang terbaik untuk istrinya.

Empat nasehat ini secara khusus mengajarkan suami untuk berpenampilan menarik di rumah. Syaikh Fuad Shalih mengatakan:

Hal ini diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Cucilah bajumu, rapikan rambutmu, gosoklah gigimu, dan berhiaslah untuk istrimu.”

Cucilah Bajumu

Nasehat pertama ini memiliki dua dimensi. Dimensi pertama ada pada proses. Dimensi kedua terletak pada hasilnya.

Sebagai sebuah proses, “cucilah bajumu” berarti berbagi dengan istri dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan domestik, khususnya bagi keluarga yang tidak memiliki khadimat. Mencuci baju tidak dibebankan kepada istri saja, melainkan suami juga melakukannya. Baik mencuci dengan tangan maupun dengan mesin cuci. Konsep berbagi peran inilah yang diteladankan oleh Rasulullah. Kendati beliau adalah Nabi, pemimpin negara, qiyadah dakwah dan panglima perang, beliau menyempatkan diri untuk membantu istri-istrinya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga.

Ditinjau dari dimensi hasil, “cucilah bajumu” membuat suami tampil dengan pakaian rapi di depan istrinya. Tidak kusut. Tidak menyebalkan.

Mungkin sebagian suami tidak merasa perlu tampil rapi di hadapan suaminya, terkebih ketika malam tiba. Namun, jika ia menuntut istrinya tampil prima di depannya, mengapa ia tidak menuntut dirinya melakukan hal yang sama? Bukankah Islam menjunjung keadilan? Kita para suami kadang belum juga mengerti bahwa wanita itu tidak selalu mencurahkan perasaannya kepada suami. Ia kadang menyimpannya di hati dan berusaha menyabarkan diri. Saat kita para suami dengan mudah mengatakan “Pakaialah baju yang indah”, para istri hanya menahan sabar melihat kita menghampirinya dengan baju berbau. Mari kita berusaha berubah. Menjadi suami yang lebih rapi di depan istri.

Rapikan rambutmu

Ketika berangkat kerja, ketika pergi ke kantor, ketika hendak syuro, ketika mau mengisi pengajian, kita para lelaki yang katanya tidak suka dandan, minimal merapikan rambut. Lalu saat hanya berdua dengan istri, mengapa kita tidak melakukan hal serupa? Bukankah jika begitu kita lebih mengutamakan orang lain daripada istri kita sendiri? Padahal rekan-rekan kerjanya tidak memasakkannya. Teman-temannya juga tak bisa merawatnya ketika ia sakit. Yang setia menemani, yang setia merawat adalah istri. Dan tidak ada orang lain yang bisa menghangatkannya di kala kedinginan kecuali istrinya sendiri. Lalu mengapa kita sebagai suami justru tak bisa tampil rapi saat bersamanya?

Gosoklah gigimu

Bau mulut adalah satu hal yang mengganggu komunikasi dan menjadi pembatas kedekatan. Ketika seorang suami tak suka istrinya mengeluarkan bau saat ia berbicara, demikian pula istri sebenarnya tak suka jika suaminya menghampirinya dengan bau yang tak sedap.

Adalah junjungan kita yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setiap akan masuk rumah, beliau bersiwak terlebih dahulu. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Bunda Aisyah menjadi saksi kebiasaan Rasulullah ini. Ketika ditanya, “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Rasulullah jika dia memasuki rumahnya?” Beliau menjawab: ”Bersiwak”.

Maka sungguh nasehat ini harus dikerjakan oleh para suami. Hendaklah ia rajin bersiwak atau menggosok giginya. Jika berduaan dengan istri, pastikan sudah gosok gigi. Pastikan tak ada bau yang mengganggu. Hingga curhat pun menjadi mengasyikkan. Hingga berduaan pun jadi penuh kemesraan.

Dan lebih dari itu, menggosok gigi atau bersiwak mendatangkan dua kebaikan. Kebersihan dan kesehatan mulut, serta mendatangkan keridhaan Tuhan. “Bersiwak itu membersihkan mulut dan membuat Tuhan ridha” (HR. Al Baihaqi dan An Nasa’i)

Berhiaslah untuk istrimu

Para sahabat Nabi adalah suami-suami yang terdepan dalam mengamalkan nasehat ini. Ibnu Abbas mengatakan, “Aku suka berhias untuk istriku sebagaimana aku suka istriku berhias untukku”

Mengapa demikian, karena Ibnu Abbas yakin, “Sesungguhnya berhiasnya suami di hadapan istrinya akan membantu istri menundukkan pandangannya dari melihat laki-laki selain suaminya. Berhiasnya suami di hadapan istrinya juga makin mendekatkan hati keduanya.”

Jika para sahabat yang sibuk berdakwah dan berjihad tidak lalai berhias untuk istrinya, bagaimana dengan kita? Semoga bisa meneladani mereka.