Rabu, 05 November 2014

Di Keheningan Malam

Aku terkadang malu kepada keteranganku sendiri..
Mengaku mencinta tapi jauh dari takwa..
Sementara diri bangga dengan dosa-dosa..
Seakan akan hidup untuk selamanya..

Pada heningnya malam.
Aku mencoba bermuhasabah.
Bertanya pada jiwaku yang penuh dosa.

Andaikan ini akhirnya.
Aku tak mampu berbuat apa-apa.
Diriku tertunduk tak berdaya.
Tatkala nafas berhenti berhembus di dalam jiwa.
Dan kedua mata tertutup untuk selamanya.
Apa yang akan kubawa menghadap kepada-Nya?

Tak terhitung betapa banyak nikmat-Mu yang kusia-siakan.
Dunia benar-benar membuatku kehilangan.
Kehilangan akan cinta-Mu.
Dan membuatku bagaikan seorang pengembara yang tak tahu ke mana arah yang dituju.

Dan kini, sudah terlalu jauh aku tersesat dalam lautan dosa.
Yang membuat diri seakan hampa.
Lantas, masih pantaskah hati ini mengharap cinta-Mu?
Serta berada dalam dekapan ampunan-Mu?

Yaa Allah, bimbing aku untuk kembali ke jalan-Mu.

Imam Asy Syafi'i

Sebagai seorang pemuda muslim, kisah tentang pemuda-pemuda salaf pada zaman Rasulullah dan generasi shalih setelahnya merupakan panutan wajib yang harusnya menjadi tolak ukur kehidupan ideal seorang pemuda muslim.

Salah satunya adalah kisah tentang Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i atau Imam Syafi’i. Sejak kecil, beliau merupakan seorang yatim dan hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, namun hal itu tidak membuat kehidupan ilmiah dan tekad menuntut ilmu Imam Syafi’i menjadi pudar, sebaliknya Imam Syafi’i adalah seorang yang sangat giat dalam menuntu ilmu bahkan Imam Syafi’i harus menulis catatannya di potongan tulang dan dikumpulkan dalam karung. Hal tersebut mengambarkan betapa penuh keterbatasannya Imam Syafi’i di masa mudanya. Merenungi kisah Imam Syafi’i membuat sebuah pertanyaan muncul di benak saya, apa yang telah saya capai dalam kondisi yang serba berkecukupan seperti sekarang. Tidak perlu lagi menulis di potongan tulang untuk mencatat karena teknologi dan jumlah buku yang begitu mudah didapat serta “berserakannya” buku-buku berbobot di berbagai sudut kehidupan kampus membuat pertanyaan tersebut sangat menohok saya yang hidup di zaman yang serba mudah ini.

Jika dalam kondisi yang terbatas, Imam Syafi’i mampu menghafal kitab suci Al-Quran pada usia yang masih sangat belia, apa yang telah saya hafal di usia yang akan meninggalkan usia remaja ini?

Jika Imam Syafi’i mampu menjadi mufti dan mampu memberikan manfaat kepada umat di saat beliau belum baligh, apa yang telah saya lakukan untuk diri sendiri dan orang-orang sekitar dalam memberi manfaat?

Mungkin kita, pemuda muslim di zaman sekarang tidak akan mampu menyamai kekhusyuan, keikhlasan dan kebesaran Imam Syafi’i, namun setidaknya Imam Syafi’i pantas dan harusnya menjadi panutan serta contoh dalam menjadi muslim tangguh di zaman yang sering disebut zaman edan ini.

Untuk Apa Aku Diciptakan ?

Satu pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama. Pertanyaan yang akan membuat manusia tersadar dari berbagai perbuatan-perbuatan buruk yang selama ini dilakukan secara berkelanjutan. Dengan menjawab pertanyaan tersebut kita akan mengetahui tujuan diciptakannya manusia, tujuan diberikannya nafas dan kehidupan untuk manusia.

Manusia diciptakan untuk beberapa urusan yang maha penting karena itulah Sang Pencipta menciptakan manusia, bumi, langit dan seisinya serta mengutus beberapa orang rasul untuk menyeru setiap umat agar melaksanakan tujuan tersebut.

Untuk apakah aku diciptakan? Manusia diciptakan salah satunya dengan tujuan agar manusia beribadah kepada Allah tanpa sedikit pun menyekutukan-Nya dengan sesuatu hal yang lain.

Tertuang dengan jelas di dalam Al-Quran surah Adz Dzariyat ayat 56.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”

Supaya manusia beribadah, salah satu tujuan diciptakannya manusia. Beribadah tidak hanya sebatas melaksanakan rukun Islam dan rukun Iman masih banyak lagi bentuk-bentuk ibadah yang selama ini mungkin kita tidak menyadarinya.

Shalat, mengaji, berzakat, naik haji merupakan beberapa contoh ibadah yang sudah jelas kita ketahui. Selain itu, melakukan hal-hal kebaikan, membaca buku, menolong sesama, menulis, hormat-menghormati dan masih banyak lagi bentuk ibadah lainnya. Bahkan, ketika seseorang bekerja atau menuntut ilmu (sekolah atau kuliah) pun tetap dikategorikan dalam hal beribadah jika diniatkan semua itu untuk beribadah.

Semua kebaikan yang dilakukan oleh manusia jika dia meniatkan sebagai ibadah dalam rangka mendekatkan diri dan mematuhi segala perintah-Nya maka hal yang dia lakukan tersebut akan bernilai ibadah. Ibadah yang akan membuat hati manusia lebih tenang sebab dari ibadahnya itu sebagai bentuk ingatnya manusia pada Sang Khalik.

Ingat kepada Sang Khalik tidak hanya pada saat shalat, saat beraktivitas apapun kita dianjurkan agar tetap ingat kepada-Nya. Namun, terkadang diri ini lebih banyak lupa daripada ingat kepada Zat Yang Maha Agung.

Minimal jika kita tidak mampu mengingat-Nya dalam segala aktivitas yang diperbuat. Ingatlah Dia tatkala adzan berkumandang agar segera melepaskan segala pekerjaan-pekerjaan yang beraromakan keduniaan menuju kehidupan akhirat dengan cara beribadah lewat shalat fardhu.

Jika kita menyadari bahwa salah satu tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah maka tak ada rasa untuk malas beribadah ataupun berani meninggalkan ibadah-ibadah yang telah disyariatkan baik di Al-Quran ataupun as-sunnah yang menjadi panutan setiap insan.

Manusia akan menyadari bahwa ada Zat yang harus disembah dengan berbagai ibadah yang dilakukannya. Jika dia tak mau beribadah. Apakah dia masih meragukan Zat tersebut? Ataukah selama ini pintu hatinya tertutup rapat dari mengenal dan mengakui akan keberadaan-Nya?

Beribadah bisa dilakukan di manapun, kapanpun dan dalam bentuk apapun. Tidak hanya terpaku pada satu ibadah.

Justru Islam hadir dengan berbagai ibadah yang memberikan kemudahan untuk umat Islam dalam mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Bukan menjadi beban yang harus dikerjakan secara terpaksa.

Ibadah sendiri merupakan kebutuhan bagi manusia. Layaknya makan dan minum yang menjadi kebutuhan pokok manusia. Manusia akan merasa kekurangan ataupun ada yang hilang jika tidak makan atau minum selama satu hari.

Begitu pula dengan ibadah, jika seseorang tidak beribadah dalam sehari terutama ibadah wajib yakni shalat fardhu maka dirinya akan merasa kekurangan atau gelisah sebab kebutuhannya belum tercapai.

Jika dengan makanan kita memenuhi kebutuhan fisik maka dengan ibadah kita akan memenuhi kebutuhan rohani. Tidak hanya fisik yang memerlukan makanan tetapi rohani pun memerlukan asupan agar menjadi tenang dan tenteram seperti fisik yang telah diberikan makan dan minum sehingga menjadi tenang dan sehat.

Untuk apa aku diciptakan? Satu kalimat itulah yang seharusnya diulang-ulang bagi diri manusia yang hingga saat ini masih berani berbuat keburukan pada dirinya ataupun orang lain di muka bumi. Jika diri ini masih berani melanggar perintah-Nya dan mengerjakan larangan-Nya maka diri ini belum mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Apakah manusia diciptakan di dunia ini untuk melanggar perintah dan menjalankan larangan-Nya?

Tatkala diri ini tersadar dengan kesalahan-kesalahan yang telah lama diperbuat dan keburukan-keburukan yang belum terhapuskan. Maka, perlahan-lahan diri ini akan menjauhi hal-hal yang salah dan buruk tersebut. Menuju pada hal-hal yang baik dan bermanfaat yang akan berbuah kebaikan dan pahala bagi diri sendiri maupun orang lain.

Lewat ibadah kita menjawab pertanyaan yang selama ini belum terpecahkan. Lewat ibadah pula kita tersadarkan bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Zat Yang Maha Agung yang akan bermuara pada kesadaran diri bahwa manusia itu kecil, hina, tak punya apa-apa, dzalim ketika berada di hadapan-Nya.

Azzamkanlah dengan kuat di dalam diri kita. Aku diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang akan menuntun manusia kepada cahaya Ilahi yang selama ini sangat dinanti-nanti. Cahaya yang akan mengantarkan setiap makhluk ke suatu tempat yang indah dan tak pernah terbayangkan sedikitpun saat berada di dunia. Sebab, tempat itu tak ada yang pernah melihat, mendengar, mencium ataupun merasakannya.

Tempat tersebut telah disiapkan bagi orang-orang yang beriman dan selalu melaksanakan amal ibadah serta kebaikan. Tempat bagi orang-orang yang mampu menjawab satu pertanyaan inti ketika berada di dunia yakni, untuk apakah aku diciptakan?

Bangkrut yang Sebenarnya

Rasulullah Saw pernah berdiskusi dengan para sahabatnya tentang definisi orang yang merugi. "Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?" tanya Rasul Saw. Para sahabat berpendapat, orang bangkrut adalah mereka yang tidak mempunyai dirham maupun dinar. Ada juga yang berpendapat mereka yang rugi dalam perdagangan. Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah mereka yang datang pada Hari Kiamat dengan banyak pahala shalat, puasa, zakat, dan haji.

Tapi di sisi lain, ia juga mencaci orang, menyakiti orang, memakan harta orang (secara bathil), menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Ia kemudian diadili dengan cara membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang pernah dizaliminya. Ketika telah habis pahalanya, sementara masih ada yang menuntutnya maka dosa orang yang menuntutnya diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun dilemparkan ke dalam neraka." (HR Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).

Hadis ini mengubah cara pandang para sahabat tentang kerugian yang sebenarnya bukanlah persoalan harta, melainkan amal ibadah. Amal ibadah tak bernilai apa-apa, kecuali diikuti dengan amal sosial.

Pahala menggunung tak ada artinya tanpa diikuti dengan akhlak yang baik. Baiknya pemahaman agama seseorang dibuktikan dengan baiknya akhlak dan perilaku. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Kebanyakan yang menjadikan manusia masuk surga adalah takwa kepada Allah Swt dan akhlak yang mulia." (HR Ahmad).

Sebagaimana kisah berangkat haji seorang tabi’in, Ali bin Muwaffaq. Dari 60 ribu jamaah haji yang datang ke Tanah Suci, hanya haji Ali bin Muwaffaq seorang yang mabrur. Padahal, sebenarnya ia tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Ali menemukan satu keluarga yang kelaparan dalam perjalanan hajinya dari Damaskus. Ia pun membatalkan perjalanan hajinya dan memberikan bekalnya kepada orang yang kelaparan itu.

Kisah masyhur yang ditulis Abdullah bin Mubarak ini mengisyaratkan, tak ada artinya ibadah sehebat apa pun tanpa peduli dengan kondisi sosial. Betapa banyak mereka yang pulang pergi ke Tanah Suci, namun tetangganya sendiri berada dalam kesusahan. Apa artinya seorang Muslim berangkat haji dari lingkungan yang melarat dan kelaparan?

Ibadah haji sebagai rukun Islam terakhir menjadi ibadah tertinggi di sisi Allah. Tak ada balasan yang lebih pantas bagi seorang yang mendapatkan haji mabrur, kecuali surga. Namun pada kenyataannya, kepedulian sosial jauh lebih mahal harganya dari ibadah individual. Menyakiti orang lain bisa menghapuskan nilai ibadah yang telah susah payah diperjuangkan.

Kepedulian seorang Ali bin Muwaffaq telah menuntunnya mendapatkan haji mabrur. Kendati tak pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci, ia diberikan hadiah haji mabrur dari Sang Khaliq. Hal ini memperlihatkan, akhlak yang baik merupakan bukti kesempurnaan ibadah seseorang.

Allah Swt tak (hanya) menginginkan hasil, melainkan melihat prosesnya juga. Proses perjalanan haji seorang Ali bin Muwaffaq telah memperlihatkan akhlak yang agung. Itulah alasannya, ia mendapatkan balasan yang baik dari perjalanan hajinya. Rasulullah Saw dikenal sebagai orang yang paling baik akhlaknya. Lisannya tak pernah menghardik, apalagi menyakiti orang lain. Sikap dan tindak tanduk Beliau senantiasa disukai, baik kawan maupun lawan. Tak pernah Rasulullah Saw melukai siapa pun.

Baiknya hubungan vertikal kepada Allah Swt harus dipadu dengan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Keindahan Islam terlihat dari keagungan akhlak para penganutnya. Mereka yang dilembutkan hatinya (mualaf) terbuka untuk menerima Islam sebagai agamanya, kebanyakan karena melihat keindahan akhlak yang dituntunkan Islam.

Nabi Tidak Menemuinya Karena Rokok

Diceritakan oleh Al Habib Umar bin Muhammad bin Hafidzh  bahwa sekitar 40 tahun yang lalu, ada seorang Syaikh yang istiqamah berada di Masjid Nabawi, istiqamah berziarah ke Nabi Muhammad sallallahu alaihi wassalam.

Suatu ketika beliau tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah Sallallahu alaihi wassalam sedang mondar-mandir dari pusara beliau ke Raudhah, sehingga membuat bingung Syaikh tersebut dan bertanya kepada
Rasulullah: “Kenapa engkau mondar-mandir ya Rasulullah dari pusaramu ke Raudhah?”

Sang nabi yang mulia Muhammad sallallahu alaihi wassalam menjawab: “Aku ingin menjumpai salah satu cucuku yang sedang shalawat kepadaku di Raudhah namun aku tidak dapat menjumpainya karena di dalam
kantungnya ada rokok.”

Tidak lama kemudian terbangunlah Syaikh tersebut. Dilihatnya salah seorang yang sedang duduk persis seperti yang ada di dalam mimpinya.

Syaikh tersebut mendatangi sayyid tersebut dan menceritakan perihal mimpinya berjumpa dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa salam dan  bahwasanya Rasulullah tidak dapat menjumpainya karena di dalam kantungnya ada rokok.

Mendengar itu sayyid tersebut menangis dan membuang rokoknya. Sejak itu sayyid tersebut taubat dari merokok.. Wallahua’lam..

Semoga yang masih merokok diberi hidayah berhenti merokoknya dan yang tidak merokok diberi keistiqamahan tidak merokok..
Amin.

Menjaga Wudhu

Dikisahkan pada saat sahabat berkumpul dengan Rasulullah. Beliau bersabda,
“Ada salah seorang dari sahabat kita yang bunyi terompah (sandal) terdengar di dalam surga”
“Wahai Rasulullah, bunyi terompah siapakah itu?”
“Bilal bin Rabbah”

Kemudian Rasulullah bertanya kepada Bilal yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
“Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau amalkan dalam Islam, karena aku sungguh telah mendengar gemerincing sandalmu di tengah-tengahku dalam surga.”

Bilal berkata, “Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling kuharapkan di sisiku, hanya aku tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku shalat bersama wudhu itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku.” (HR Bukhari).

Subhanallah, seorang Bilal bin Rabbah suara gemerincing sandalnya sudah terdengar di dalam surga hanya karena mengamalkan dan menjaga wudhu. Apakah kita bisa mencontohnya?

Zaman sekarang kita hanya mengenal wudhu pada saat hendak melaksanakan sholat, sebab sholat tanpa wudhu maka tak akan sah sholatnya. Diluar sholat kita tak mengenal wudhu. Padahal, dengan berwudhu kita menjaga kesucian badan, hati dan pikiran terutama menjaga dari berhadast kecil.

Dengan berwudhu, tetesan-tetesan air wudhu itulah yang akan mengugurkan dosa-dosa manusia yang tak terhingga jumlahnya. Apakah kita merasa tidak mempunyai dosa sehingga hanya mau berwudhu lima kali sehari itupun ketika melaksanakan sholat? Jika sholat ditinggalkan maka wudhu pun ikut ditinggalkan. Astaghfirullah…

Lewat berwudhu secara tidak langsung kita membersihkan mikroba-mikroba yang ada di jemari, hidung, wajah, tangan, telinga dan kaki. Bukankah mikroba itu sumber dari penyakit? Jika kita berwudhu berarti kita telah menghilangkan mikroba-mikroba yang akan membuat manusia menjadi sakit.

Orang yang menjaga wudhu dalam kesehariannya maka dia akan selalu berada dalam kesucian. Ketika dia berhadast kecil, baik buang air besar ataupun buang air kecil terlebih jika mengeluarkan angin maka dia perbaharui kembali wudhunya agar tetap dalam kondisi suci.

Ketika seseorang berada dalam kesucian maka lindungan dan rahmat-Nya selalu menyertainya. Bahkan malaikat pun tak segan-segan untuk selalu menjaga dan membersamai dalam setiap langkah dan gerak dalam aktivitas sehari-harinya. Tak maukah kita selalu dijaga dan dibersamai malaikat?

Lihatlah orang yang selalu menjaga wudhunya. Kita akan menemui wajah yang berseri-seri, ada keteduhan tersendiri yang tak semua orang bisa merasakannya. Orang yang melihatnya saja sudah bahagia dan merasa terteduhkan. Bagaimana dengan orang yang merasakan sendiri?

Di hari kiamat kelak, wudhu umat muslim akan menjadi pertanda bahwa dia adalah umat Rasulullah, wajahnya akan bercahaya dan semua anggota tubuh yang dia jaga wudhunya ikut bercahaya. Sehingga, pada saat itu sangat mudah dikenali bahwa dia adalah umat Rasulullah.

Apakah kita ingin menjadi umat Rasulullah hingga hari kiamat? Ataukah kita hanya ingin menjadi umatnya di dunia saja? Jika kita menjadi umatnya hingga hari kiamat kelak dia pun akan menuntun dan memberikan syafaat bagi umatnya agar ikut berbahagia di dalam sebuah tempat yang hanya orang-orang beriman dan beramal sholeh yang akan menjadi penghuninya.

Ketenangan hati pun akan dirasakan bagi orang yang mampu menjaga wudhu karena saat dia dalam kondisi suci limpahan rahmat-Nya tercurahkan secara luas. Apalah artinya segala perkara dunia jika rahmat-Nya telah tercurahkan?

Berwudhulah jika kita merasakan kegelisahan. Buktikan sendiri, dengan berwudhu sedikit demi sedikit kegelisahan tersebut akan berkurang. Bahkan Rasulullah mengajarkan kepada kita jikalau kita hendak marah maka redamlah kemarahan itu dengan berwudhu.

Apabila seseorang sudah dalam kondisi berwudhu (menjaga wudhu) apakah dia akan mudah marah? Salah satu kelebihan yang akan kita peroleh ketika mampu menjaga wudhu yakni kita mampu memendam amarah ketika situasi tidak memungkinkan terjadi pada diri.

Pada saat itu pula kita akan merasa selalu diawasi oleh Allah sehingga kita akan merasa malu untuk berbuat keburukan ataupun maksiat yang melanggar larangan-Nya.

Terlalu sulitkan untuk menjaga wudhu? Membangun sebuah kebiasaan adalah salah satu kuncinya. Jika kita sudah terbiasa ketika batal wudhu kemudian berwudhu maka tak akan ada rasa beban sedikit pun untuk menjaga wudhu.

Di dalam kitab suci umat Islam di jelaskan bahwa Allah itu menyukai orang-orang yang bersuci. Bagaimanakah rasanya jika kita termasuk di dalam golongan orang-orang yang disukai-Nya? Tentu, apapun yang dikehendaki akan Dia berikan dan kabulkan. Layaknya, seorang manusia yang menyukai atau mencintai seseorang, dia akan rela melakukan dan memberikan apapun untuk orang yang dia sukai. Begitu pula Allah, akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya jika dia termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapatkan kasih sayang dan cinta-Nya.

Apakah kita tidak mau memperoleh cinta dan kasih sayang-Nya?
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan orang-orang yang bersuci.”
(QS. Al-Baqarah ayat 222).

Mari kita biasakan diri ini untuk selalu berada di dalam kesucian dengan tetap selalu menjaga wudhu agar diri ini selalu bersih dan suci tidak hanya fisik, pikiran dan hati pun akan mengikuti jika kondisi diri dalam keadaan suci.

Naungan dan limpahan rahmat-Nya pun tercurahkan bagi orang-orang yang mampu menjaga dirinya agar selalu berada dalam kondisi suci (menjaga wudhu). Tak menutup kemungkinan kita pun akan mendapatkan hadiah seperti yang dihadiahkan kepada para sahabat terdahulu yang dengan rutin menjaga wudhu yakni tempat istimewa yang kekal dan abadi dengan kebahagiaan tak terhenti.

Menanggapi Siaran TV One 14 Oktober 2014

Dalam acara ILC di TV One hari Selasa 14 Oktober 2014, Ketua Umum GP Anshor Nusron Wahid dan Sekjen PBNU Marsudi Syuhud bersama pendeta Katolik Benny sepakat bahwa Ahok boleh dan sah sebagai pemimpin di Jakarta yang mayoritas muslim sesuai konstitusi.

Sedang Ketua umum Fron Pembela Islam (FPI) Habib Muhsin bin Ahmad Alattas yang hadir dalam acara tersebut dengan didampingi Ketua Hisbah DPP FPI KH. Awit Masyhuri dan Sekum FPI KH. Ja’far Shiddiq tetap pada prinsip Islam, bahwa si kafir Ahok haram jadi pemimpin di Jakarta sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Al-Ijma.

Jadi, silahkan warga NU dan Anshor dipimpin Ahok, sedang komponen umat Islam lainnya termasuk warga FPI tidak akan pernah mau dipimpin Ahok.

Tidak cukup sampai di situ, Nusron Wahid yang konon stres karena dipecat Golkar dan batal dilantik menjadi anggota DPR menyebut kalimat kekufuran. “Ayat Konstitusi di atas ayat Al-Qur’an,” katanya

Secara spontan Ketua Majelis Syura DPP FPI KH. Misbahul Anam yang hadir dalam acara tersebut menyatakan, “Kepada semua anggota GP Anshor di seluruh Indonesia sesuai “Fatwa” Ketumnya, maka mulai besok jangan baca ayat Al-Qur’an tapi baca saja Ayat Konstitusi, dan kalau sekarat atau mati maka jangan dibacakan Yasin, tapi bacakan saja ayat Konstitusi.”

Nusron mengatakan bahwa hukum konstitusi lebih tinggi dari hukum agama, maka menurut FPI, mulai besok harap semua anggota GP Ansor agar baca UUD saja, tidak perlu baca Al Qur’an. Kalo mati gak perlu dibacakan Yasin, tapi dibacakan UUD 45 saja.

Menurut FPI, kalimat Nusron yang menyatakan bahwa hukum konstitusi lebih tinggi dari hukum agama adalah bentuk kekufuran yang nyata. Sudah tidak pantas lagi ini orang digolongkan sebagai golongan Muslimin. Karena dia telah murtad secara terbuka didepan umum. Wal’iyadzubillah

Mereka kaum-kaum kafir dan munafiq mengatakan apabila kita ummat Islam tidak mau menerima hukum konstitusi, mereka mempersilahkan kita kluar dari Indonesia.

Untuk kaum kafir dan munafiq, FPI yang merupakan komponen umat Islam Indonesia yang sah menyerukan,”Dengarlah wahai kaum yang anti dengan hukum Allah, apabila kalian tidak setuju dengan hukum Allah dan merasa ada hukum lain yang lbh tinggi dari hukum Allah, maka kami mempersilahkan kalian keluar dari bumi Allah.”