![]() |
Memberanikan Diri, Untuk Berselfie |
Wajah-wajah bersemangat tampak memancar. Wajar saja, hari itu kami akan
berkunjung dan belajar ke salah satu wadah belajar unik dan asik di Indonesia, dengan
tiga cabangnya. Satu diantaranya berlokasi di Jalan Mastrip, yang kali ini kami
kunjungi. Tepat pukul 8, rombongan kami dilepas landas oleh Kepala Sekolah
menuju lokasi.
Tidak ada halangan berarti selama di perjalanan. Saya yang duduk di kursi
depan, sesekali saling tanya-jawab dengan sopir. Sayangnya… saat di perjalanan,
riuh orang berlibur dan berangkat kerja tumpah jadi satu. Walhasil di beberapa
bagian jalan, kendaraan kami harus sabar dan siap mengantri bersama kendaraan
lain. Beruntung!, donat dan air mineral menyelamatkan rasa kantuk saya.
Dalam waktu kurang lebih satu jam, armada kami sudah merapat di halaman
parkir Think Indonesia School. Demikianlah namanya. Begitu turun, ketawa menggelitik
langsung menggelegar. Bukan karena melihat bentuk bangunan atau wujud fisiknya,
tapi justru kaget dan terkesima dengan pemandangan kapal boat besar warna putih
berpadu kuning nuansa khas sekolah Think. Sepertinya sengaja ditata demikan rapi
untuk memberikan tanda agar mudah mengenali tempatnya. Di sebelahnya tertempel tulisan
cantik besar “Think Indonesia Activity Center” terbuat dari besi kokoh yang membentuk tulisannya.
Keluar dari kendaraan roda empat yang kami naiki, dari kejauhan saya
dan rombongan langsung disambut punggawa Think berseragam kuning putih,
bersahut-sahutan mengucapkan selamat datang sambil mendekat dan mengulurkan
tangan untuk bersalaman. Wajah yang nampak riang gembira, terlihat senang dengan
kedatangan kami.
Seusai mengisi absen, kami diarahkan menuju ruangan sejuk nan dingin, berjejer
kursi rapi, berdiri tegak layar tv besar di depan kami. Disana sudah berkumpul beberapa orang dari tim
Think, dan kami pun sudah siap mengunduh ilmu dari mereka.
Kak Lita namanya, selaku head of Think Indonesia School
Surabaya yang pagi itu ditugaskan menjamu
kami dengan ilmu. Beliau memberi presentasi mengenai Think Indonesia dari nol
yang menurut saya sangat padat dan jelas dalam penyampaiannya. Dari beliau,
pengetahuan saya tentang model belajar semakin luas, terutama mengenai kurikulum
belajar yang diterapkan. Sesi pun dilanjutkan dengan tanya jawab dari kami, sebelum
ke agenda inti; jalan-jalan menjelajahi ruangan Think.
Disela beliau menjelaskan mengenai Think, saya sesekali memandang bagian
ruangan yang tak besar ini untuk sekedar melihat dan mencermati dengan seksama.
Lokasi Think yang berbalut warna kuning dan putih ini terlihat sederhana dan sangat
bersih. Semakin semangat saat membaca kutipan di dinding ruangan, “The best way
to predict the future is to create it.” Silahkan diterjemahkan sendiri ya. Kalau
bagus bisa dijadikan kutipan quote of the day setelah baca tulisan ini sampai
akhir. Hehe.
![]() |
Potret Atas, Ruangan Think Jadi Nampak Bebas |
Sekitar pukul sepuluh pagi, nampak beberapa warga belajar (sebutan untuk
siswa yang belajar di Think) mulai berdatangan dari kendaraan yang sudah terparkir
rapi di sebelah kendaraan sederhana kami. Beberapa ada yang sudah berkumpul dan
bercengkerama di atas kursi hitam dengan meja coklat aesthetic. Sesekali ada
yang bersenda gurau. Suasana seperti sekolah itu nyata. Rupanya mereka sedang berdiskusi
tentang materi dan konten apa yang akan dibuatnya nanti. “Hah, konten?,” ucap
kaget dalam hati saya.
Setelah lama berbincang dengan salah satu tim Think yang saya temui,
ternyata area dengan kursi hitam dan meja coklat aesthetic itu adalah cafe yang
dikelola Think. Mereka
menyebutnya outlet kecil wirausaha. Di tempat inilah warga belajar yang
mengambil “Barista Curriculum” akan mempraktekkan secara langsung apa yang
sudah dipelajari saat di kelas. Mereka diberikan kebebasan untuk
mengaktualisasi diri dalam menghadapi customer dan menyajikan menu hidangan
yang dipesan. Mulai dari membuka outlet, sampai bagaimana menjalankan SOP penjualan
dan menutup outletnya. Menarik bukan?
Setiap dari kami berkeliling dan mencoba menjadi siswa belajar ‘dadakan’
di salah satu kelas. Saat berjalan itulah, diwarnai aksi jepret-jepret baik
foto atau video dan sedikit diskusi dengan tim Think yang mendampingi Kami. “Momen
ini tiada boleh disiakan,” sergah saya. Walhasil, hampir setiap sudut dan sisi
ruangan saya abadikan banyak-banyak.
Saya yang saat itu kebagian untuk belajar di ruang podcast, kaget. Karena
saat itu saya menyaksikan sendiri ada satu orang tua yang mendampingi anaknya
belajar. Masih ingat di kepala saya materi saat itu, yaitu tutorial meng-upload
konten ke youtube dari A-Z. Saya jadi berpikir, bahwa seperti inilah harusnya tugas
guru dan orang tua yang sesungguhnya. Membuat saya semakin sadar bahwa mendidik
anak itu bukan hanya tugas di ruangan yang namanya sekolah saja, tetapi semua
harus terlibat dan mengambil peran. Bahkan orang tuanya pun harus mau demikian.
Yang lebih kaget lagi, di Think ini tidak ada mata pelajaran akademik
secara spesifik. Jangan pernah sekali-kali mencari pelajaran kimia, fisika atau
IPS di hari apa dan jam berapa?. Hehehe. Bahkan pelajaran matematika saja hanya
diajarkan bagaimana menghitung uang dan kebutuhan perhitungan dasar
(mohon maaf, jangan ada yang tersinggung ya?). Lagi-lagi alasan mereka tepat
sekali dan saya setuju, bahwa “semua kurikulum di Think, dirancang untuk target/kebutuhan
pasar.” Pikiran nakal saya pun berkata, “andai saya tahu ini sejak SD, tentu
saya siswa pertama yang mendaftar di jenjang SMP. Karena orang tua tahu kalau
saya tidak suka hitung-hitungan. Hahaha.”
Di Think setiap warga belajar bebas memilih aktivitas atau materi mana
yang mau diambil. Jenjangnya sama seperti sekolah formal. SD ya enam tahun, SMP
& SMA pun masing-masing juga 3 tahun. Hanya saja setiap jenjang ada capaian
khusus yang harus ditempuh dan di akhir materi wajib memunculkan karya. Mereka
menyebutnya portofolio atau bukti karya saat melakukan
aktifitas keterampilan. Benefitnya bagi siswa, di raport tidak hanya
mendapatkan nilai akademik penting saja, tapi juga ada nilai keterampilan yang
sudah dipilih tersebut. Orang tua pun pasti bahagia, karena bisa melihat langsung
hasil belajar anaknya. Tak heran jika saat saya duduk di cafe Think, nampak hasil karya yang tersaji rapi menambah apik sudut cafe
dan pengunjung pun ikut menikmatinya.
Setelah cukup lelah mengelilingi setiap inci dari Think, betapa bahagianya
kami ketika diantarkan menuju ruangan mirip dapur sebuah restoran. Di sana, kami
tidak hanya disuguhkan tata cara belajar membuat dalgona, tapi juga disuguhkan
minumannya yang segar. Sepertinya sih nikmat dan enak, terbukti dari habisnya minuman
pada gelas yang sudah dibagi. Kok sepertinya? Iya, saya tidak ikut menikmatinya.
Fyi, saya bukan pecinta kopi (tapi pecinta wanita, wkwkwk). Tidak-tidak, alasan
lainnya karena sedang dalam perjalanan saja. Saya khawatir hidangan di dalam
perut menyembur keluar. Agar aman, yasudahlah cukup melihat dan membayangkan
saja kesegarannya. Hahaha.
![]() |
Dalgona Segar, Bikin Mata Berbinar |
Pukul dua belas, kami bersiap-siap pulang. Tak lupa kami foto bersama
di ruangan istimewa, untuk melengkapi kumpulan jepretan kami di Think. Hari
ini, dalam tiga setengah jam di Think, ada banyak pelajaran berharga serta
ilmu-ilmu baru yang bisa kami bawa pulang. Langkah-langkah kaki kami pun
ditujukan pada mobil sederhana yang akan mengantarkan kami pulang. Saatnya makan
siang lalu memejamkan mata sejenak, Belanda masih jauh. Hehehe.
Sejauh ini, Think mampu tumbuh menjadi wadah belajar yang menyenangkan
dan ramah bagi siapapun. Lingkungan nyaman, bersih dan rapi. Meskipun
sebetulnya ada satu sih yang masih jadi pertanyaan saya. Kira-kira Think apakah
membranding sekolahnya dengan juara juga? Artinya setiap siswa belajar dituntut
berprestasi sehingga turut mengharumkan nama Think. Iya sih… meskipun itu bukan
kebutuhan utama setiap sekolah, tapi bukankah sejauh ini banyak orang tua yang
menyekolahkan anaknya selalu di awal memandang sekolah dengan : prestasi
terakhir sekolah apa? Atau terakhir siswa di sini juara apa?. Ups!.
SMP Kreatif dan Think Indonesia School memang berbeda, khususnya di jalur pendidikannya.
Jika SMP Kreatif berbasis sekolah formal, maka Think sebaliknya yaitu non
formal. Namun jika melihat perbedaannya secara menyeluruh, pastilah akan nampak
banyak. Padahal bukan itu tujuan asal saya dan rombongan berkunjung. Namun yang
terpenting adalah mengunduh ilmu. Ya kita semua berharap khususnya saya pribadi,
mudah-mudahan Think dan SMP Kreatif melanggengkan silaturrahimnya dengan
mengagendakan berkunjung gantian. Apalagi di SMP Kreatif ada ekskul yang hampir
mirip dengan Think, tinggal model pembelajaran dan kurikulumnya saja yang
diterapkan. Atau kalau perlu bertukar pengajar atau mentor (sebutan untuk guru
yang mengajar di Think). Hehe.
Rasa ingin tahu saya yang besar hari itu, terbayar sudah meskipun sempat tidak pasti keberangkatannya. Wkwkwk. Saya diibaratkan dua sisi pada uang receh. Diundi bolak-balik, di lempar ke atas lalu ditangkap kedua tangan. Meski demikian cukup menyenangkan walaupun sesekali harus jadi target umpan ikan yang jadi bahan bercandaan. Saya dan rombongan belajar bersama. Banyak hal yang saya dapatkan, dan saya harap yang membaca pun juga mendapat hal baru dari tulisan ini. Meski tetap akan lebih baik jika berkunjung langsung ke Think ya.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa memacu semangat belajar bagi siapapun, khususnya yang bergerak di pendidikan, apapun posisinya. Salam semangat belajar, salam mengunduh ilmu. Tetap berilmu padi dan menyala abangku!.