Kamis, 08 Februari 2024

Parah! Sekolah Kayak Nggak Sekolah

Memberanikan Diri, Untuk Berselfie


Rabu, 7 Februari 2024. Alhamdulillah, langit pagi itu tak dibungkus mendung, pun tak dibalut sinar matahari yang menyilaukan. “Pagi yang sempurna!,” teriak saya dalam hati. Rombongon SMP Kreatif yang terdiri dari tiga guru laki-laki dan lima guru perempuan, berkumpul di mikrolet langganan sekolah setelah ibadah duha bersama siswa dilaksanakan.

Wajah-wajah bersemangat tampak memancar. Wajar saja, hari itu kami akan berkunjung dan belajar ke salah satu wadah belajar unik dan asik di Indonesia, dengan tiga cabangnya. Satu diantaranya berlokasi di Jalan Mastrip, yang kali ini kami kunjungi. Tepat pukul 8, rombongan kami dilepas landas oleh Kepala Sekolah menuju lokasi.

Tidak ada halangan berarti selama di perjalanan. Saya yang duduk di kursi depan, sesekali saling tanya-jawab dengan sopir. Sayangnya… saat di perjalanan, riuh orang berlibur dan berangkat kerja tumpah jadi satu. Walhasil di beberapa bagian jalan, kendaraan kami harus sabar dan siap mengantri bersama kendaraan lain. Beruntung!, donat dan air mineral menyelamatkan rasa kantuk saya.

Dalam waktu kurang lebih satu jam, armada kami sudah merapat di halaman parkir Think Indonesia School. Demikianlah namanya. Begitu turun, ketawa menggelitik langsung menggelegar. Bukan karena melihat bentuk bangunan atau wujud fisiknya, tapi justru kaget dan terkesima dengan pemandangan kapal boat besar warna putih berpadu kuning nuansa khas sekolah Think. Sepertinya sengaja ditata demikan rapi untuk memberikan tanda agar mudah mengenali tempatnya. Di sebelahnya tertempel tulisan cantik besar “Think Indonesia Activity Center” terbuat dari besi kokoh yang membentuk tulisannya.

Keluar dari kendaraan roda empat yang kami naiki, dari kejauhan saya dan rombongan langsung disambut punggawa Think berseragam kuning putih, bersahut-sahutan mengucapkan selamat datang sambil mendekat dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Wajah yang nampak riang gembira, terlihat senang dengan kedatangan kami.

Seusai mengisi absen, kami diarahkan menuju ruangan sejuk nan dingin, berjejer kursi rapi, berdiri tegak layar tv besar di depan kami.  Disana sudah berkumpul beberapa orang dari tim Think, dan kami pun sudah siap mengunduh ilmu dari mereka.

Kak Lita namanya, selaku head of Think Indonesia School Surabaya yang pagi itu ditugaskan menjamu kami dengan ilmu. Beliau memberi presentasi mengenai Think Indonesia dari nol yang menurut saya sangat padat dan jelas dalam penyampaiannya. Dari beliau, pengetahuan saya tentang model belajar semakin luas, terutama mengenai kurikulum belajar yang diterapkan. Sesi pun dilanjutkan dengan tanya jawab dari kami, sebelum ke agenda inti; jalan-jalan menjelajahi ruangan Think.

Disela beliau menjelaskan mengenai Think, saya sesekali memandang bagian ruangan yang tak besar ini untuk sekedar melihat dan mencermati dengan seksama. Lokasi Think yang berbalut warna kuning dan putih ini terlihat sederhana dan sangat bersih. Semakin semangat saat membaca kutipan di dinding ruangan, “The best way to predict the future is to create it.” Silahkan diterjemahkan sendiri ya. Kalau bagus bisa dijadikan kutipan quote of the day setelah baca tulisan ini sampai akhir. Hehe.

Potret Atas, Ruangan Think Jadi Nampak Bebas


Sekitar pukul sepuluh pagi, nampak beberapa warga belajar (sebutan untuk siswa yang belajar di Think) mulai berdatangan dari kendaraan yang sudah terparkir rapi di sebelah kendaraan sederhana kami. Beberapa ada yang sudah berkumpul dan bercengkerama di atas kursi hitam dengan meja coklat aesthetic. Sesekali ada yang bersenda gurau. Suasana seperti sekolah itu nyata. Rupanya mereka sedang berdiskusi tentang materi dan konten apa yang akan dibuatnya nanti. “Hah, konten?,” ucap kaget dalam hati saya.

Setelah lama berbincang dengan salah satu tim Think yang saya temui, ternyata area dengan kursi hitam dan meja coklat aesthetic itu adalah cafe yang dikelola Think. Mereka menyebutnya outlet kecil wirausaha. Di tempat inilah warga belajar yang mengambil “Barista Curriculum” akan mempraktekkan secara langsung apa yang sudah dipelajari saat di kelas. Mereka diberikan kebebasan untuk mengaktualisasi diri dalam menghadapi customer dan menyajikan menu hidangan yang dipesan. Mulai dari membuka outlet, sampai bagaimana menjalankan SOP penjualan dan menutup outletnya. Menarik bukan?

Setiap dari kami berkeliling dan mencoba menjadi siswa belajar ‘dadakan’ di salah satu kelas. Saat berjalan itulah, diwarnai aksi jepret-jepret baik foto atau video dan sedikit diskusi dengan tim Think yang mendampingi Kami. “Momen ini tiada boleh disiakan,” sergah saya. Walhasil, hampir setiap sudut dan sisi ruangan saya abadikan banyak-banyak.

Saya yang saat itu kebagian untuk belajar di ruang podcast, kaget. Karena saat itu saya menyaksikan sendiri ada satu orang tua yang mendampingi anaknya belajar. Masih ingat di kepala saya materi saat itu, yaitu tutorial meng-upload konten ke youtube dari A-Z. Saya jadi berpikir, bahwa seperti inilah harusnya tugas guru dan orang tua yang sesungguhnya. Membuat saya semakin sadar bahwa mendidik anak itu bukan hanya tugas di ruangan yang namanya sekolah saja, tetapi semua harus terlibat dan mengambil peran. Bahkan orang tuanya pun harus mau demikian.

Yang lebih kaget lagi, di Think ini tidak ada mata pelajaran akademik secara spesifik. Jangan pernah sekali-kali mencari pelajaran kimia, fisika atau IPS di hari apa dan jam berapa?. Hehehe. Bahkan pelajaran matematika saja hanya diajarkan bagaimana menghitung uang dan kebutuhan perhitungan dasar (mohon maaf, jangan ada yang tersinggung ya?). Lagi-lagi alasan mereka tepat sekali dan saya setuju, bahwa “semua kurikulum di Think, dirancang untuk target/kebutuhan pasar.” Pikiran nakal saya pun berkata, “andai saya tahu ini sejak SD, tentu saya siswa pertama yang mendaftar di jenjang SMP. Karena orang tua tahu kalau saya tidak suka hitung-hitungan. Hahaha.”

Di Think setiap warga belajar bebas memilih aktivitas atau materi mana yang mau diambil. Jenjangnya sama seperti sekolah formal. SD ya enam tahun, SMP & SMA pun masing-masing juga 3 tahun. Hanya saja setiap jenjang ada capaian khusus yang harus ditempuh dan di akhir materi wajib memunculkan karya. Mereka menyebutnya portofolio atau bukti karya saat melakukan aktifitas keterampilan. Benefitnya bagi siswa, di raport tidak hanya mendapatkan nilai akademik penting saja, tapi juga ada nilai keterampilan yang sudah dipilih tersebut. Orang tua pun pasti bahagia, karena bisa melihat langsung hasil belajar anaknya. Tak heran jika saat saya duduk di cafe Think, nampak hasil karya yang tersaji rapi menambah apik sudut cafe dan pengunjung pun ikut menikmatinya.

Setelah cukup lelah mengelilingi setiap inci dari Think, betapa bahagianya kami ketika diantarkan menuju ruangan mirip dapur sebuah restoran. Di sana, kami tidak hanya disuguhkan tata cara belajar membuat dalgona, tapi juga disuguhkan minumannya yang segar. Sepertinya sih nikmat dan enak, terbukti dari habisnya minuman pada gelas yang sudah dibagi. Kok sepertinya? Iya, saya tidak ikut menikmatinya. Fyi, saya bukan pecinta kopi (tapi pecinta wanita, wkwkwk). Tidak-tidak, alasan lainnya karena sedang dalam perjalanan saja. Saya khawatir hidangan di dalam perut menyembur keluar. Agar aman, yasudahlah cukup melihat dan membayangkan saja kesegarannya. Hahaha.

Dalgona Segar, Bikin Mata Berbinar


Pukul dua belas, kami bersiap-siap pulang. Tak lupa kami foto bersama di ruangan istimewa, untuk melengkapi kumpulan jepretan kami di Think. Hari ini, dalam tiga setengah jam di Think, ada banyak pelajaran berharga serta ilmu-ilmu baru yang bisa kami bawa pulang. Langkah-langkah kaki kami pun ditujukan pada mobil sederhana yang akan mengantarkan kami pulang. Saatnya makan siang lalu memejamkan mata sejenak, Belanda masih jauh. Hehehe.

Sejauh ini, Think mampu tumbuh menjadi wadah belajar yang menyenangkan dan ramah bagi siapapun. Lingkungan nyaman, bersih dan rapi. Meskipun sebetulnya ada satu sih yang masih jadi pertanyaan saya. Kira-kira Think apakah membranding sekolahnya dengan juara juga? Artinya setiap siswa belajar dituntut berprestasi sehingga turut mengharumkan nama Think. Iya sih… meskipun itu bukan kebutuhan utama setiap sekolah, tapi bukankah sejauh ini banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya selalu di awal memandang sekolah dengan : prestasi terakhir sekolah apa? Atau terakhir siswa di sini juara apa?. Ups!.

SMP Kreatif dan Think Indonesia School memang berbeda, khususnya di jalur pendidikannya. Jika SMP Kreatif berbasis sekolah formal, maka Think sebaliknya yaitu non formal. Namun jika melihat perbedaannya secara menyeluruh, pastilah akan nampak banyak. Padahal bukan itu tujuan asal saya dan rombongan berkunjung. Namun yang terpenting adalah mengunduh ilmu. Ya kita semua berharap khususnya saya pribadi, mudah-mudahan Think dan SMP Kreatif melanggengkan silaturrahimnya dengan mengagendakan berkunjung gantian. Apalagi di SMP Kreatif ada ekskul yang hampir mirip dengan Think, tinggal model pembelajaran dan kurikulumnya saja yang diterapkan. Atau kalau perlu bertukar pengajar atau mentor (sebutan untuk guru yang mengajar di Think). Hehe.

Rasa ingin tahu saya yang besar hari itu, terbayar sudah meskipun sempat tidak pasti keberangkatannya. Wkwkwk. Saya diibaratkan dua sisi pada uang receh. Diundi bolak-balik, di lempar ke atas lalu ditangkap kedua tangan. Meski demikian cukup menyenangkan walaupun sesekali harus jadi target umpan ikan yang jadi bahan bercandaan. Saya dan rombongan belajar bersama. Banyak hal yang saya dapatkan, dan saya harap yang membaca pun juga mendapat hal baru dari tulisan ini. Meski tetap akan lebih baik jika berkunjung langsung ke Think ya.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa memacu semangat belajar bagi siapapun, khususnya yang bergerak di pendidikan, apapun posisinya. Salam semangat belajar, salam mengunduh ilmu. Tetap berilmu padi dan menyala abangku!.