Selasa, 31 Maret 2015

Bacaan Sebelum Tidur yang Membuat Syetan Tidak Berani Datang

Salah satu kegemaran syetan adalah mendatangi manusia saat tidur. Tujuannya tentu saja untuk menggoda atau mengganggu manusia. Yang paling sering, syetan mengikat buhul pada orang yang sedang tidur agar malas bangun. Jika orang itu sampai kesiangan, itu pertanda syetan telah mengencingi telinganya.

Bagaimana agar terhindarkan dari godaan dan gangguan syetan pada waktu kita tidur? Ada satu bacaan yang jika dibaca sebelum tidur, syetan tidak berani datang. Syetan sendiri mengaku kepada salah seorang sahabat perihal keutamaan bacaan tersebut. Bacaan itu tidak lain adalah ayat kursi.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Hurairah ia memergoki seseorang mengambil segenggam makanan dari harta zakat. Abu Hurairah yang saat itu ditugasi menjaga zakat pun menangkapnya. Namun, orang tersebut mengiba. Ia mengatakan dirinya dalah seorang miskin yang banyak tanggungan. Karena kasihan, Abu Hurairah melepaskannya.

Esok harinya, ia menceritakan kepada Rasulullah apa yang dialaminya semalam. Rasulullah kemudian bersabda, “Sesungguhnya ia dusta kepadamu. Ia akan datang lagi.”

Benar apa yang disabdakan Rasulullah. Orang tersebut mengambil segenggam makanan lagi di waktu malam. Abu Hurairah pun menangkapnya. Namun, orang tersebut mengiba. Ia kembali mengatakan dirinya dalah seorang miskin yang banyak tanggungan. Karena kasihan, Abu Hurairah kembali melepaskannya.

Paginya, ia menceritakan kepada Rasulullah apa yang dialaminya semalam. Rasulullah kemudian bersabda seperti hari sebelumnya, “Sesungguhnya ia dusta kepadamu. Ia akan datang lagi.”

Dan benar. Di malam ketiga itu sahabat tersebut memergoki orang yang sama sedang mengambil bahan makanan dari harta zakat. Abu Hurairah pun kemudian menangkapnya. Kali ini ia bertekad tidak akan melepaskannya.

“Sungguh aku akan melaporkan kamu kepada Rasulullah. Kamu telah berjanji tidak mengulangi, tetapi malam ini kamu mencuri lagi.”

“Maafkan aku,” kata orang tersebut dengan penuh iba, “aku akan mengatakan kepadamu beberapa kalimat yang karenanya Allah mendatangkan manfaat bagimu.”

“Kalimat apa itu?”

“Ketika kamu hendak tidur, bacalah ayat kursi sampai selesai. Niscaya Allah akan memberimu perlindungan dan syetan tidak berani datang kepadamu hingga pagi.”

Abu Hurairah kemudian melepaskannya. Esoknya ia ceritakan hal itu kepada Rasulullah.

“Sesungguhnya yang ia katakan kepadamu adalah benar meskipun ia seorang pendusta,” jawab Rasulullah, “Tahukah engkau siapa dia?”

“Tidak ya Rasulullah”

“Dia adalah syetan.”

Demikianlah, kalimat yang ketika dibaca sebelum tidur syetan tidak berani datang hingga pagi itu adalah ayat kursi. Yakni ayat ke-285-286 dari Surat Al Baqarah).

Senin, 30 Maret 2015

Mengenal Lebih Dekat Imam Darul Hijrah Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu

Bismillah wal Hamdulillah ..., tahukah Anda siapa tokoh yang akan kita bahas ini? Tokoh yang jika kita mengingatnya maka kita akan mengatakan inilah ulama Madinah yang kedatangannya seolah telah dijanjikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam salah satu haditsnya! Dialah Imamnya negeri hijrah (Madinah), mutiaranya ahli fiqih, bintangnya ahli hadits, simbol kewibawaan ulama, mata airnya ilmu bagi manusia pada masanya, berparas tampan, shalat dan puasanya biasa saja tetapi akhlaknya luhur, Allah Ta’ala telah memberinya dunia dengan kekayaan dan kemegahan, banyak imam besar yang duduk bersimpuh di hadapannya; dialah  Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu, pengarang kitab Al Muwaththa’.

Di Madinah, pada masanya tidak ada yang berani berfatwa sebelum Imam Malik bicara. Bahkan, sebagian sejarawan begitu meninggikannya, sampai-sampai Imam Adz Dzahabi  menyebutkan  jika dijejerkan dengan nama-nama besar di Madinah pada masa tabi’in seperti Sa’id bin Al Musayyib, tujuh ahli fiqih Madinah, Qasim, Salim, Ikrimah, Naafi’,  lalu Zaid bin Aslam, Az Zuhri, Abu Az Zinad, Yahya bin Sa’id, Shafwan bin Sulaim, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman,  lalu jika Imam Malik dipertemukan dengan mereka  maka Imam Malik lebih unggul dibanding mereka,  lalu di antara mereka juga ada  Ibnu Abi Dzi’b, Abdul Aziz bin Al Majisyun, Sulaiman bin Bilal, Fulaih bin Sulaiman, Ad Darawardi, dan yang sezaman dengan mereka, jika mereka semua dipertemukan maka secara mutlak Maliklah yang paling menonjol. (Lihat As Siyar, 7/156)

Padahal di antara nama-nama ini ada yang pernah menjadi gurunya. Bukan hal yang aib, jika ada murid yang di kemudian hari justru menjadi guru dari gurunya terdahulu.   Bahkan Abdurrahman bin Al Mahdi mengatakan bahwa  pada masa Imam Malik ulama Madinah ada empat orang yakni Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Hammad bin Zaid, dan Malik, dan yang paling cerdas dari semuanya adalah Malik.

Tangannya pun begitu dingin, lahir melalui madrasahnya para murid yang kemudian menjadi  imam besar dan bintangnya dunia seperti Imam Abdullah bin Al Mubarak, Imam Muhammad bin Al Hasan, Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan, dan tentunya yang paling  bersinar di antara mereka adalah Imam Asy Syafi’i, yang dikemudian hari nama dan pengaruhnya melambung melebihi Imam Malik sendiri. Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati mereka semua.  

Nama dan Nasab

Imam Adz Dzahabi berkata (As Siyar, 7/150): Dia adalah Syaikhul Islam, hujjahnya umat, Imam negeri hijrah (Madinah), Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Dzu Ashbah bin Auf bin Malik bin Zaid bin Syadad bin Zur’ah yang berasal dari Kabilah Himyar yang disebut denganHimyarul Ashghar, kemudian Al Ashbahi, Al Madini,  nenek moyangnya berasal dari Bani Tamim dari suku Quraisy, Beliau berkawan dengan Utsman bin ‘Ubaidillah, saudara dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, salah satu dari sepuluh sahabat nabi yang dijamin masuk surga.

Ibunya adalah ‘Aliyah binti Syarik Al Azdiyah. Paman-pamannya adalah Abu Suhail Nafi’, Uwais, Ar Rabi’, An Nadhr, anak-anaknya Abu ‘Amr.

Az Zuhri telah meriwayatkan hadits dari ayahnya; Anas, dan dari pamannya; Uwais dan Abu Suhail.     Abu Uwais Abdullah meriwayatkan dari pamannya, Ar Rabi’. Ayah mereka termasuk   seniornya tabi’in. Mengambil hadits dari ‘Utsman dan segolongan sahabat.

Disebut Imam Darul Hijrah, karena dia Imamnya kota Madinah, bahkan sepanjang hayatnya tidak pernah keluar kota Madinah kecuali ketika haji. 

Kelahirannya

Menurut pendapat yang shahih, Beliau dilahirkan tahun 93 H ditahun wafatnya Anas, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau hidup dalam keadaan terawat, makmur, dan penuh keindahan. (Ibid)

Aslinya berasal dari Yaman, keluarganya berimigrasi ke Madinah Munawarah. Para sejarawan tidak berbeda pendapat tentang asalnya ini. Tetapi, mereka berselisih kakek yang mana yang berimigrasi ke Madinah? Al Qadhi Abu Bakar bin ‘Ala Al Qusyairi menyebutkan: Abu Amir bin Amru, kakek dari Abu Malik, sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Qadhi Abu Bakar mengatakan: Dia ikut seluruh peperangan bersama nabi kecuali Badar. Tetapi Imam Ibnu Abdil Bar tidak menyebutkannya, jika memang ini shahih pastilah dia kan menyebutnya dalam kitabnya.  (Muqadimah Al Muwaththa, 1/17-18. Tahqiq: Syaikh Muhammad Mushthafa Al A’zhami)

Diriwayatkan dari Ma’an, Al Waqidi, dan Muhammad bin Adh Dhahak, bahwa ibunya mengandung Beliau selama tiga tahun! Al Waqidi mengatakan ibunya mengandungnya selama dua tahun. (As Siyar, 7/154)

Menurut para pengagumnya, kelahiran Beliau seolah sudah diprediksikan dalam hadits berikut:
يُوشِكُ أَنْ يَضْرِبَ النَّاسُ أَكْبَادَ الْإِبِلِ يَطْلُبُونَ الْعِلْمَ فَلَا يَجِدُونَ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْ عَالِمِ الْمَدِينَةِ

Hampir saja manusia memukul perut Unta demi mencari ilmu, dan mereka tidak mendapatkan seorang pun yang lebih berilmu dibanding ‘alim (orang berilmu)-nya Madinah. (HR. At Tirmidzi No. 2680,  Ahmad dalam Musnadnya No. 7980, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 4291, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 8935, Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 30, dll. Hadits ini dihasankan oleh Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, juga dishahihkan oleh Imam Al Hakim, dan disepakati Imam Adz Dzahabi. (Al Mustadrak No. 307),  Imam An Nawawi juga menshahihkannya. (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/90), namun para ulama lain mengoreksinya.)[1]

Para ulama salaf seperti Imam Abdurazzaq, Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan maksud ulama Madinah dalam hadits ini adalah Imam Malik bin Anas. Imam Ibnu ‘Uyainah juga mengatakan tentang ulama Madinah adalah Abdul Aziz bin Abdullah Al ‘Umari, keturunan Umar bin Al Khathab. Dia seorang zahid  (zuhud), dan bukan ulama. (Lihat keterangan ini dalam Sunan At Tirmidzi No. 2680, juga  Al Ahkam Asy Syar’iyah Al Kubra, 1/285, juga Musnad Ahmad No. 7980)

Imam Adz Dzahabi bercerita: bahwa diriwayatkan dari Ibnu ‘Uyainah, katanya: Aku (Sufyan bin ‘Uyainah) berkata: (Ulama Madinah) yang dimaksud adalah Sa’id bin Al Musayyib, sampai aku katakan bahwa saat itu ada Sulaiman bin Yasar dan Salim bin Abdillah, dan selain mereka. Lalu pada zamanku ini, ulama Madinah tersebut adalah Malik bin Anas, dan tidak ada lagi  yang lainnya yang setara dengannya.

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan: “Pernyataan ini shahih (autentik) dari Sufyan bin ‘Uyainah.” 

Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi, Ibnu Ma’in, Dzu’aib bin ‘Imamah,  Ali bin Al Madini, Az Zubair bin Bakkar, Ishaq bin Abi Israil, bahwa mereka semua mendengar sendiri bahwa Sufyan bin ‘Uyainah menafsirkan yang dimaksud ulama Madinah dalam hadits ini adalah Imam Malik, paling tidak Ibnu ‘Uyainah mengatakan dengan kata: “Aku kira”, “Aku menyangka”, “yang dimaksud” dan “dulu mereka menilainya.”

Sedangkan Abul Mughirah Al Makhzumi mengatakan: bahwa maksud hadits itu adalah Sa’id bin Al Musayyib, lalu guru-gurunya Malik, dan Imam Malik sendiri, lalu murid-muridnya Imam Malik.

Aku (Imam Azd Dzahabi) berkata: “Ulama Madinah setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya adalah Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib, Az Zuhri, ‘Ubaidillah bin Umar, lalu Malik bin Anas.” (Selesai dari Imam Adz Dzahabi, lihat semua dalam Siyar A’lamin Nubala, 7/155)

Sifat-sifat dan Penampilannya

Beliau adalah ulama yang berparas menarik, kulitnya putih, wajahnya merona,  tampan, gagah, senang berpakaian putih,  dan berjenggot tebal.
Dari Adz Dzahabi, bahwa  Isa bin Umar berkata: 

مَا رَأَيْتُ قَطُّ بَيَاضاً، وَلاَ حُمْرَةً أَحْسَنَ مِنْ وَجْهِ مَالِكٍ، وَلاَ أَشَدَّ بَيَاضِ ثَوْبٍ مِنْ مَالِكٍ
“Tidak pernah aku melihat orang yang berkulit putih dan berwajah kemerah-merahan sebagus Malik. Dan tidak pernah aku melihat pakaian yang lebih putih dibanding pakaian Malik.” 

Lalu, Adz Dzahabi bercerita lagi:
وَنَقَلَ غَيْرُ وَاحِدٍ أَنَّهُ كَانَ طُوَالاً، جَسِيْماً، عَظِيْمَ الهَامَةِ، أَشقَرَ، أَبْيَضَ الرَّأسِ وَاللِّحْيَةِ، عَظِيْمَ اللِّحْيَةِ، أَصلَعَ، وَكَانَ لاَ يُحْفِي شَارِبَه، وَيَرَاهُ مُثْلَةً.
Lebih dari satu orang menukilkan, bahwa Beliau adalah seorang yang tinggi fisiknya, blonde, kepala dan jenggotnya putih, jenggotnya lebat, kepalanya botak, dia tidak memendekkan kumisnya, dan menurutnya memendekkan kumis mesti dihukum. (Siyar A’lam An Nubala, 7/163)

Ya, Imam Malik berpendapat mencukur kumis sampai habis bagi laki-laki adalah bid’ah, dan pelakunya harus dihukum. Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahmenyebutkan:
وَقَالَ أَشْهَدُ فِي حَلْقِ الشّارِبِ أَنّهُ بِدْعَةٌ وَأَرَى أَنْ يُوجَعَ ضَرْبًا مَنْ فَعَلَهُ قَالَ مَالِكٌ وَكَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطّابِ إذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ نَفَخَ فَجَعَلَ رِجْلَهُ بِرِدَائِهِ وَهُوَ يَفْتِلُ شَارِبَهُ            
Berkata Malik: ‘Aku bersaksi bahwa mencukur kumis (sampai habis) adalah bid’ah dan aku berpendapat bahwa orang yang melakukanya mesti dipukul,’ Dia melanjutkan, ‘Jika Umar bin al Khaththab sedang dilanda kesulitan suatu masalah, dia naik darah, mengikatkan selendangnya di kaki, dan melinting kumisnya.” (Zaadul Ma’ad, 1/173)

Imam Ibnul Qayyim, menukil dari Ath Thahawi, Beliau berkata, ‘Dalam hal ini (mencukur kumis)  kami tidak dapat satu teks pun dari Imam Asy Syafi’i, sementara dari murid-muridnya seperti Al Muzani dan Ar Rabi’, mereka memotong kumisnya, ini berarti mereka mengambil pelajaran dari Imam Asy Syafi’i.’ Ath Thahawi melanjutkan, ‘Sementara untuk Imam Abu Hanifah, Zufar, Imam Abu Yusuf, dan Imam Muhammad bin Qasim, dalam madzhab mereka mencukur rambut dan kumis (sampai habis) lebih utama dibanding memendekkannya.’ Disebutkan oleh Ibnu Khuwaiz Mindad al Makki dari Imam Asy Syafi’i bahwa dalam hal mencukur kumis, madzhabnya (yakni syafi’i) sama dengan madzhab Imam Abu Hanifah. Itulah pandangan Imam Abu Umar. Sementara Madzhab Imam Ahmad, Utsman berkata, ‘Aku melihat Imam Ahmad memotong kumisnya sangat pendek, dan aku mendengar beliau ditanya tentang memotong kumis, mbeliau menjawab, ‘Dipotong, sebagaimana sabda Rasulullah, Ahfuu asy Syawaarib (potonglah kumis). Hanbal berkata, ‘Ditanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad), anda berpendapat bahwa seorang laki-laki harus memotong kumisnya atau mencukurnya, atau bagaimana memotongnya?’ Dia menjawab, ‘Jika dia memotongnya, tidak mengapa dan jika dia mengambil gunting untuk mencukurnya, juga tidak mengapa.’ Sementara, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Al Mughni berkata, ‘Bebas saja, apakah ia mencukurnya atau sekedar memotongnya, tanpa mencukur.” (Ibid)

Guru-guru dan Murid-muridnya

Beliau mulai menuntut ilmu di usia sepuluh tahun, dan pada usia 21 tahun sudah memiliki majelis dan berfatwa, banyak ulama yang meriwayatkan hadits darinya saat itu. Pada usia masih muda, banyak penuntut ilmu dari berbagai penjuru mendatanginya pada akhir masa khalifah Abu Ja’far Al Manshur, juga setelah masa itu, semakin berjejal manusia mengunjunginya hingga masa Khalifah Harun Ar Rasyid, dan sampai Beliau wafat. (As Siyar, 7/154)

Beliau berguru kepada 900 orang, seperti yang diceritakan Imam An Nawawi berikut ini:
وقال الإمام أبو القاسم عبد الملك بن زيد بن ياسين الدولقى فى كتابه الرسالة المصنفة فى بيان سبل السنة المشرفة: أخذ مالك على تسعمائة شيخ، منهم ثلاثمائة من التابعين، وستمائة من تابيعهم ممن اختاره، وارتضى دينه، وفقهه، وقيامه بحق الرواية وشروطها، وخلصت الثقة به، وترك الرواية عن أهل دين وصلاح لا يعرفون الرواية. وأحوال مالك، رضى الله عنه، ومناقبه كثيرة مشهورة.
Imam Abul Qasim Abdu Malik bin Zaid bin Yasin Ad Daulaqi berkata dalam kitabnya Ar Risalah Al Mushannafah fi Bayani Subulis Sunnah Al Musyarrafah: “Malik mengambil ilmu dari 900 orang guru, 300 dari generasi tabi’in, dan 600 dari generasi tabi’ut tabi’in. Guru yang dipilihnya adalah yang dia ridhai agamanya, ilmu fiqihnya, konsistensinya terhadap syarat-syarat dalam meriwayatkan hadits, mereka bisa dipercaya dalam meriwayatkannya, dan Malik meninggalkan riwayat orang yang punya hutang, dan dia suka memperbaiki riwayat-riwayat yang tidak dikenal. Keadaan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu dan kebaikan-kebaikannya sangat banyak dan terkenal. (Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/93)  

Sebagian gurunya, seperti yang jelaskan Imam An Nawawi:
سمع نافعًا مولى ابن عمر، ومحمد بن المنكدر، وأبا الزبير، والزهرى، وعبد الله بن دينار، وأبا حازم، وخلائق آخرين من التابعين.
Beliau mengambil hadits dari Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, Muhammad bin Al Munkadir, Abu Az Zubair, Az Zuhri, Abdullah bin Dinar, Abu Hazim, dan tabi’in lainnya. (Ibid, 2/89)

Bahkan, nama Beliau masuk dalam salah satu silsilatudz dzahab (rangkaian emas) dalam sanad hadits, yaitu dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar. Jika ada hadits dengan sanad seperti ini, maka inilah sanad terbaik menurut sebagian ulama. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
قال البخارى: أصح الأسانيد مالك، عن نافع، عن ابن عمر. وفى هذه المسألة خلاف، وسبق مرات، فعلى هذا المذهب قال الإمام أبو منصور التميمى: أصحها الشافعى، عن مالك، عن نافع، عن ابن عمر، عن النبى - صلى الله عليه وسلم -.
Berkata Al Bukhari: “Sanad yang paling shahih adalah Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar. Dalam masalah ini terjadi perselisihan pendapat. Penjelasan masalah ini telah  berulang-ulang, bahwa dalam madzhab ini, berkata Imam Abu Manshur At Tamimi: “(Paling shahih adalah) Para sahabat Syafi’i, dari Malik, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Ibid, 2/89)

Imam An Nasa’i mengatakan: “Sahabat-sahabat Naafi’ yang paling kokoh ilmunya adalah Malik, lalu Ayyub, lalu ‘Ubaidullah bin Umar, lalu Umar bin Naafi’, lalu Yahya bin Sa’id, lalu Ibnu  ‘Aun, lalu Shalih bin Kaisan, lalu Musa bin ‘Uqbah, lalu sahabat-sahabatnya pada generasinya. (Ibid, 2/124)  

Sedangkan murid-muridnya dan orang yang pernah mengambil riwayat darinya adalah Abdullah bin Naafi’ Ash Shaayigh, Muhammad bin Maslamah Al Makhzumi,  Al Asham, Abu Mush’ab, Yahya bin Yahya, Az Zuhri, Al Majisyun, Sa’ad bin Abdullah Al Mu’afiri, Asyhab, Ashbagh bin Al Faraj, Muhammad bin Al Qasim, Sahnun, Al Waqar, dan lainnya.  (Selengkapnya Lihat Thabaqat Al Fuqaha, karya Imam Abu Ishaq Asy Syirazi)

Sanjungan Para Ulama Untuknya

Imam An Nawawi  berkata:
وقال الشافعى: إذا جاء الأثر، فمالك النجم. وقال الشافعى أيضًا: لولا مالك وسفيان، يعنى ابن عيينة، لذهب علم الحجاز، وكان مالك إذا شك فى شىء من الحديث تركه كله. وقال أيضًا: مالك معلمى، وعنه أخذنا العلم.

Berkata Asy Syafi’i: “Jika datang sebuah atsar, maka Malik adalah bintangnya.” Beliau juga berkata: “Seandainya bukan karena Malik dan Sufyan (yakni Ibnu ‘Uyainah), maka lenyaplah ilmu di Hijaz, dahulu jika ada sesuatu  yang meragukan dari hadits maka dia tinggalkan semua.” Beliau berkata juga: “Malik adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu.”

Harmalah mengatakan: “Asy Syafi’i tidak pernah mendahulukan seseorang pun di atas  Malik dalam masalah hadits.”

Wahb bin Khalid mengatakan: “Tidak ada di antara Timur dan Barat  seorang laki-laki yang se-amanah Imam Malik terhadap hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”  (Lihat semua dalam Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/76)

Seorang Qari kota Madinah, yakni Ibnu Katsir (bukan Ibnu Katsir pengarang tafsir yang terkenal itu, pen), bercerita kepada Khalaf bin Umar: “Duduklah kamu wahai Khalaf, semalam aku bermimpi seolah ada yang berkata kepadaku, Ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau sedang duduk,  dan manusia berada di sekelilingnya, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, berikanlah perintah kepada kami!” Beliau menjawab: “Aku telah menyimpan harta berharga di bawah mimbar dengan jumlah yang banyak, lalu aku perintahkan Malik untuk membagikannya untuk kalian, maka pergilah kepadanya. Lalu manusia bubar dan mereka satu sama lain saling berkata: “Apa yang kamu lihat dari  perbuatan  Malik?” Sebagian menjawab: “Dia menjalankan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamkepadanya.”  Ketika ini disampaikan kepada Imam Malik, maka Imam Malik berpaling dan menangis, lalu Aku (Khalaf) meninggalkannya dalam keadaan seperti itu (menangis). (Ibid, 2/77, lihat juga As Siyar, 7/159)  

Abdurrahman bin Al Mahdi berkata: “Imamnya manusia pada masanya ada empat; Sufyan Ats Tsauri di Kufah, Malik di Hiiaz, Al Auza’i di Syam, dan Hammad bin Zaid di Bashrah.” (Ibid)

Imam Syafi’i berkata: “Jika disebut nama para ulama, maka Malik adalah bintangnya.” Imam Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Malik adalah ulamanya Hijaz, dan dia adalah hujjah pada zamannya.” (As Siyar, 7/155)

Imam Syafi’i juga berkata: “Tidak ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak benarnya dibanding kitab Al Muwaththa’.” Para ulama mengatakan bahwa ucapan Imam Asy Syafi’i ini ketika sebelum adanya kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebab para ulama telah sepakat keduanya adalah kitab paling shahih. (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/77)

Kehati-hatiannya dan Rasa Hormatnya Terhadap Ilmu dan Hadits
Khalaf bin Umar bercerita, bahwa dia pernah mendengar Imam Malik berkata: “Aku tidak berani berfatwa sebelum bertanya dulu kepada yang lebih berilmu dariku. Apakah engkau melihat aku pantas untuk menjawabnya? Aku bertanya kepada Rabi’ah, kepada Yahya bin Sa’id, mereka memerintahkan aku untuk menjawabnya.” Aku (Khalaf bin Umar) berkata: “Seandainya mereka melarang kamu?” Beliau menjawab: “Aku cegah diriku, tidak selayaknya seseorang mengorbankan dirinya sampai dia bertanya dulu kepada orang yang lebih paham darinya.” (Ibid, 7/159)

Ismail bin Uwais berkata: aku bertanya kepada pamanku, Malik, tentang sebuah masalah, Beliau berkata: “Katakanlah,” lalu dia berwudhu, lalu duduk di atas kasur, dan berkata Laa Haula walaa quwwata illa billah, dan dia tidaklah berfatwa sampai dia mengatakan itu.” (Ibid, 7/161) 

Ini menunjukkan kerendah hatian Imam Malik, sekaligus kehati-hatiannya dalam berfatwa.

Abu Salamah Al Khuza’i berkata:
كان مالك إذا أراد أن يخرج يُحَدِّث توضأ وضوءه للصلاة، ولبس أحسن ثيابه، ومشط لحيته، فقيل له فى ذلك، فقال: أوقر به حديث رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.
Jika Imam Malik hendak keluar dan menyampaikan hadits, maka dia berwudhu seperti wudhunya shalat, memakai pakaian terbaik, dan menyisir jenggotnya, lalu ada yang bertanya tentang apa yang dilakukannya itu. Beliau menjawab: “Beginilah aku memuliakan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/76)

Habib Al Waraq  bertanya kepada Imam Malik tentang tiga orang laki-laki yang mana Imam Malik tidak mau meriwayatkan hadits darinya, Imam Malik menjawab:
يا حبيب، أدركت هذا المسجد وفيه سبعون شيخًا ممن أدرك أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، وروى عن التابعين، ولم نحمل الحديث إلا عن أهله
Wahai Habib, aku jumpai di masjid ini 70 orang syaikh yang pernah berjumpa dengan para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan meriwayatkan hadits dari tabi’in, tetapi kami tidaklah mengambil hadits kecuali dari yang memang ahlinya. (Ibid, 2/91)

Bisyr bin Umar Az Zahrani bertanya kepada Imam Malik tentang seorang laki-laki, Beliau menjawab: “Apakah kau lihat orang itu dalam kitabku?” Aku jawab: “Tidak”. Beliau berkata: “Seandainya dia tsiqah (bisa dipercaya) pastilah kau akan melihatnya ada dalam kitabku.”

Ali bin Al Madini berkata: “Tidaklah aku ketahui bahwa jika ada orang yang ditinggalkan haditsnya  oleh Malik, melainkan orang itu pasti haditsnya bermasalah.” (Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 10/6-7) 

Di Antara Perkataan  dan Nasihat emasnya
Ibnu Wahb berkata, aku mendengar Malik berkata: “Aku tahu, bahwa kerusakan besar akan terjadi ketika manusia selalu membicarakan  apa-apa yang didengarnya.”

Mutharrif bin Abdullah berkata, berkata Malik kepadaku: “Apa yang dibicarakan manusia tentang aku?” Aku menjawab: “Bagi yang jujur mereka memuji, ada pun   yang memusuhi itu sudah pasti terjadi.” Beliau menjawab: “Begitulah manusia, dan selalu begitu. Kami berlindung kepada Allah dari  mengikuti omongan semua manusia.” (Ibid, 7/161)   

Dari Ma’an dan lainnya, bahwa Malik berkata: “Jangan kalian ambil ilmu dari empat manusia: 1. Orang bodoh yang mempertontonkan kebodohannya, walau manusia meriwayatkan darinya. 2. Pelaku bid’ah yang menyeru kepada hawa nafsunya. 3. Orang yang suka berbohong ketika berbicara dengan manusia, walau aku tidak menuduhnya berbohong dalam hadits. 4. Orang shalih, ahli ibadah dan punya keutamaan, tetapi tidak mau menghafal hadits.” (Ibid, 7/162)
Berkata Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu:
من ابتدع فى الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلمخان الرسالة ، لأن اللّه قال {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا} المائدة : 3

“Barangsiapa yang berbuar bid’ah dalam Islam, dan dia memandangnya itu hasanah (baik), maka dia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtelah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan dan aku sempurnakan nikmaku atas kamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.”  (Fatawa Al Azhar, 10/177)
Beliau juga berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه  

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar, maka lihatlah pendapatku, apa-apa yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai maka tinggalkanlah. (Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 27/120)

Sikap Keras Imam Malik terhadap golongan sesat
Ibnu Wahb bercerita, kami sedang bersama Malik, lalu datang seorang laki-laki kepadanya dan bertanya tentang firman Allah: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)

Laki-laki itu bertanya tentang “bagaimana” cara Allah bersemayam? Lalu Imam Malik terdiam, keringatnya bercucuran, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata:  (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5), ayat ini sebagaimana yang Allah sifatkan tentang dirinya, jangan tanyakan “bagaimana caranya”. Tentang bagaimananya itu tidak bisa dirasiokan, dan kamu adalah laki-laki yang buruk, pelaku bid’ah, dan keluarkan dia!”

Dalam riwayat lain Ja’far bin Abdullah,  Imam Malik menjawab: “Bagaimana cara bersemayam tidak bisa dinalar, bersemayam sendiri telah diketahui,  mengimaninya wajib, menanyakannya adalah bid’ah, dan aku menilai kau adalah pelaku bid’ah.” Maka Imam Malik memerintahkannya untuk keluar.

Dalam riwayat Salamah bin Syabib, Imam Malik berkata: “Aku khawatir kamu ini tersesat.” (As Siyar, 7/181)

Sa’id bin Abdul Jabbar berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Mereka wajib diperintah untuk bertaubat, jika tidak mau bertaubat, maka bunuhlah mereka.” Mereka adalah golongan qadariyah. (Ibid)

Imam Asy Syafi’i bercerita: “Jika pengikut hawa nafsu datang kepada Malik, maka dia berkata: “Ada pun aku di atas bukti yang kuat tentang agamaku, dan kamu di atas keragu-keraguan, maka pergilah kamu kepada orang-orang seperti kamu,” Beliau memarahi mereka. (Ibid, 7/180)

Sikap Imam Malik terhadap Syiah Rafidhah juga sangat keras, Beliau mengkafirkannya, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Katsir berikut ini, ketika membahas tafsir surat Al Fath ayat 29:
ومن هذه الآية انتزع الإمام مالك -رحمه الله، في رواية عنه-بتكفير الروافض الذين يبغضون الصحابة، قال: لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر لهذه الآية. ووافقه طائفة من العلماء على ذلك.

Dari ayat ini, Imam Malik Rahimahullah  memutuskan –dalam sebuah riwayat darinya- tentang kafirnya golongan rafidhah, yaitu orang-orang yang marah terhadap sahabat nabi. Beliau berkata: “Karena mereka murka terhadap sahabat nabi, dan barang siapa yang marah terhadap sahabat nabi maka dia kafir menurut ayat ini.” Segolongan ulama sepakat atas fatwanya ini. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 7/362)

Beliau juga berkata tentang Rafidhah –qabbahahumullah fid dunya wal akhirah:

اَلَّذِيْ يَشْتُمُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَهُمْ سَهْمٌ أَوْ قَالَ نَصِيْبٌ فِيْ الْإِسْلاَمِ
Orang yang mencaci maki para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka sama sekali tidak memiliki saham dalam Islam, atau sama sekali tidak memiliki bagian dalam Islam. (Imam Abu Bakar Al Khalal, As Sunnah, 1/493)

Kitab Al Muwaththa
Inilah kitab hadits pertama dalam bentuk susunan yang begitu rapi, disusun oleh Imam Malik selama empat puluh tahun lamanya. Beliau senantiasa mengkoreksinya setiap empat puluh hari sekali, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Abdul Wahid.

Penamaan kitab ini dengan Al Muwaththa’, karena Imam Malik telah mengkonsultasikan riwayat yang ada di dalamnya kepada 70  ulama fiqih di Madinah, dan mereka menyetujuinya (watha’a), sejak itulah dinamakan Al Muwaththa.’ Sebenarnya, selain Imam Malik juga ada ulama lain yang menyusun kitab dengan judul Al Muwaththa’, seperti Al Muwaththa karya Ibnu Abi Dzi’b, Al Muwaththa karya Ibnul Majisyun, dan lainnya.

Para sejarawan berbeda tentang sebab awalnya kenapa Imam Malik menyusun kitab Al Muwaththa’, ada yang berpendapat atas permintaan khalifah Al Mahdi bin Al Manshur, ada juga yang menyebut sebagai arahan dari khalifah Ja’far bin Al Manshur, ada yang juga menyebut ini merupakan inisiatif dirinya sendiri setelah melihat kitabnya Ibnul Majisyun. (Muqadimah Al Muwaththa’, 1/74-77. Tahqiq: Syaikh Muhammad Mushthafa Al A’zhami)

Para ulama memuji kitab ini, di antaranya:
قال الشافعي: «ما في الأرض بعد كتاب الله أكثر صواباً من موطأ مالك بن أنس».
ومن المعلوم، كان هذا قبل تأليف صحيح البخاري. وقال ابن مهدي: «ما كتاب بعد كتاب الله أنفع للناس من الموطأ».
Asy Syafi’i berkata: “Tidak ada di muka bumi ini, kitab yang lebih banyak benarnya dibanding Muwaththa’nya Malik bin Anas.” Telah diketahui bahwa ucapan ini ada sebelum disusunnya Shahih Al Bukhari.
Ibnul Mahdi mengatakan: “Tidak ada kitab, setelah Al Quran, yang lebih bermanfaat dibanding kitab Al Muwaththa’.” (Ibid, 1/121)

Siksaan Yang Pernah Menimpanya
Dalam pembahasan pasal Al Mihnah (ujian), Imam Adz Dzahabi meriwayatkan dari Muhamamd bin Jarir, katanya: “Imam Malik pernah disiksa dengan cambuk dengan rotan, hanya saja mereka berselisih apa sebabnya.” Berkata kepadaku Al Abbas bin Al Walid, berkata kepadaku Ibnu Dzakwan, dari Ath Thathari, katanya: bahwa Abu Ja’far melarang Malik menyampaikan hadits: “Talak orang yang dipaksa tidaklah sah.”

Lalu, orang yang bertanya tentang hadits itu menambah-nambahkannya, lalu menyebarkannya kepada kamusia, akhirnya Malik dicambuk dengan rotan. (As Siyar, 7/169)

Jadi, ada orang yang berkhianat dan tidak amanah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Malik, dengan menambah-nambahkan bunyi hadits tersebut. Khalifah menyangka itu perbuatan Imam Malik, lalu dia mencabuknya.

Sedangkan dalam versi lain, menyebutkan bahwa penguasa tidak setuju dengan kandungan yang ada dalam hadits tersebut, bahwa hadits tersebut menyatakan tidak sahnya cerai orang yang terpaksa, sedangkan khalifah tidak setuju, akhirnya Imam Malik dicambuk karena meriwayatkan hadits tersebut. Hal ini diceritakan oleh Imam Ahmad bin Hambal. (Ibid)

Sementara Ibnu Sa’id dan Al Waqidi memiliki versi lain, bahwa ada orang-orang yang dengki terhadap Imam Malik, akhirnya menghasut khalifah Ja’far dengan menyampaikan hadits tersebut, dan khalifah tidak menyukainya. Maka khalifah memanggil Imam Malik dan berdebat, lalu Imam Malik dihukum dengan cara ditelentangkan dan dicambuk. Justru peristiwa ini membuat nama Imam Malik semakin melambung. (Ibid, 1/170)
Imam Adz Dzahabi memuji Imam Malik dengan mengatakan:
هذا ثمرة المحنة المحمودة أنها ترفع العبد عند المؤمنين، وبكل حال فهي بما كسبت أيدينا، ويعفو الله عن كثير، ومن يرد الله به خيراً يصيب منه»

Ini adalah buah dari ujian yang terpuji, bahwa  ujian itu akan mengangkat derajat seorang hamba di hadapan orang-orang beriman, dan akibat dari apa-apa yang diusahakannya, dan Allah maafkan dari banyak hal.  Barang siapa yang dikehendaki kebaikan maka Allah akan mengujinya dengan musibah.  (Ibid)

Wafatnya
Al Qa’nabi mengatakan: “Mereka mengatakan Malik wafat pada usia 89 tahun, yaitu pada tahun 179H.” (Ibid, 7/200).

Hanya saja para sejarawan berbeda pendapat tentang tanggal pasti wafatnya, ada yang mengatakan pagi hari 14 Rabi’ul Awwal, 179H, seperti dikatakan Ismail bin Abi Uwais. Sementara Mush’ab dan Ma’an bin ‘Isa mengatakan bulan Shafar.  Abu Mush’ab Az Zuhri mengatakan 10 Rabi’ul Awwal. Muhammad bin Sahnun mengatakan 11 Rabi’ul Awwal. Ibnu Wahhab mengatakan 13 Rabi’ul Awwal

Sedangkan Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa yang benar adalah Rabi’ul Awwal, hari Ahad, setelah 22 hari dia sakit. (Ibid)

Beliau wafat karena sakit dan dalam keadaan husnul khatimah, dengan mengucapkan syahadat di akhir hayatnya lalu membaca Al Quran. Ismail bin Abi Uwais mengatakan: “Imam Malik wafat karena sakit, aku tanya sebagian keluargaku apa yang dibaca oleh Malik menjelang wafatnya. Mereka menjawab, Beliau bersyahadat, lalu membaca ayat:   Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).”  (QS. Ar Ruum: 4). (Ibid)

Demikian biografi singkat pribadi mulia, ulama besar, imamnya para imam, Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu.

Wallahu A’lam 

Ustadz Farid Nu’man Hasan

[1] Di antaranya, Imam Abul Hasan Ali bin Al Qaththan Al Fasi, Beliau mengatakan, “Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Abu Az Zubeir, semuanya adalah mudallis (orang yang melakukan keterangan tidak jelas pada sanad dan/atau matan).” (Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 1865)
Hadits ini diriwayatkan secara ‘an’anah (yakni ‘an fulan – dari fulan), menunjukkan keterputusan sanadnya. Hadits yang diriwayatkan secara ‘an’anah bisa saja shahih jika para perawinya bukan mudallis, tapi nyatanya hadits ini diriwayatkan tiga orang para mudallis (perbuatannya disebut tadlis).

Imam Ad Daruquthni menyebut Ibnu Juraij sebagai seburuk-buruknya pelaku tadlis. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Thabaqat Al Mudallisin, No. 83)

Imam Ibnu Hajar menyebut bahwa Abu Az Zubeir terkenal sebagai pelaku tadlis, dan Imam An Nasai juga lainnya menyatakan demikian. (Ibid, No. 101)

Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, dan dia  mengomentari penshahihan Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi, katanya:

قلت : وهو كما قالا ؛ لولا عنعنة ابن جريج وأبي الزبير ؛ فإنهما مدلسان ، لا سيما الأول منهما ؛ فإنه سيىء التدليس كما هو مشروح في ترجمته
Aku (Syaikh Al Albani) berkata: “Hadits ini seperti yang dikatakan oleh mereka berdua (shahih) seandainya tidak dilakukan secara ‘an’anah oleh Ibnu Juraij dan Abu Az Zubeir, karena keduanya adalah mudallis, apalagi yang pertama (Ibnu Juraij), dia adalah orang yang buruk tadlisnya, sebagaimana dijelaskan dalam biografinya.” (As Silsilah Adh Dhaifah No. 4833)

Syaikh Ali Hasyisy memberikan penjelasan yang cukup bagus, katanya:

قلت: هذا الحديث غريب غرابة مطلقة؛ فلم يرو هذا الحديث إلا أبو هريرة، ولم يروه عن أبي هريرة إلا أبو صالح، ولم يروه عن أبي صالح إلا أبو الزبير، ولم يروه عن أبي الزبير إلا ابن جريج تفرد به ابن عيينة. ولم يخرج البخاري ولا مسلم من هذا الطريق حديثا واحدا، بل وأصحاب السنن لم يخرج أحد منهم من هذا الطريق إلا الترمذي والنسائي هذا الحديث فقط

Aku berkata: Hadits ini gharib(menyendiri) dengan keghariban yang mutlak. Hadits ini tidak pernah diriwayatkan kecuali oleh Abu Hurairah saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah kecuali Abu Shalih saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Shalih kecuali Abu Az Zubeir saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Az Zubeir kecuali Ibnu Juraij saja, dan Ibnu ‘Uyainah meriwayatkan secara menyendiri darinya.

Hadits ini tidak pernah diriwayatkan oleh Al Bukhari, tidak pula oleh Muslim, dari jalan hadits seperti ini walau pun satu saja, bahkan para penyusun kitab Sunan tidak ada yang meriwayatkan jalur seperti ini kecuali At Tirmidzi dan An Nasa’i pada hadits ini saja. (Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 93)

Syaikh Ali Hasyisy menyebutkan dua ‘ilat (cacat) pada hadits ini yakni Ibnu Juraij dan Abu Az Zubeir. Lalu Beliau menyimpulkan:
وبهذا يكون الحديث غير صحيح، والسند واه لما فيه من تدليس شديد ومركب
               
Dengan ini, hadits ini menjadi tidak shahih, dan sanadnya lemah, karena di dalamnya terdapat tadlisyang berat dan bertumpuk-tumpuk. (Ibid, Hal. 94). Dengan dua cacat ini pula yang membuat Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 13/358). Demikianlah status hadits ini menurut keterangan para ulama. Wallahu A’lam.

Diazab dalam Kubur? Ini Sebabnya (3)

Suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada kami, “Apakah di antara kalian ada yang bermimpi tadi malam?” Kami menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Aku tadi malam bermimpi ada dua orang mendatangiku. Mereka memegang tanganku dan membawaku ke tanah yang suci. Di sana ada laki-laki yang sedang duduk dan laki-laki yang berdiri di sampingnya dengan besi pengait di tangannya. Besi itu dimasukkan ke sudut mulut lelaki yang duduk, lalu ditarik sampai mencapai tengkuk, kemudian sudut mulut yang lain ditarik seperti itu, sehingga kedua sudut mulutnya terpaut. Setelah itu, keadaannya pulih sedia kala, dan ia diperlakukan lagi seperti itu.

Aku bertanya, “Apa ini?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalanlah!” Lalu kami berjalan sampai bertemu dengan seorang lelaki yang sedang berbaring dan seorang lagi yang berdiri dekat kepalanya sambil memegang batu, lalu dengan batu itu ia menghancurkan kepala lelaki yang berbaring. Setelah ia memukulnya, batu tersebut menggelinding, lalu ia pergi untuk mengambilnya lagi. Ketika ia kembali, kepala lelaki yang hancur tadi sudah menyatu kembali dan pulih seperti sedia kala, lalu ia memukulnya lagi.

Aku bertanya, “Siapa ini?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalanlah!” Kami berjalan dan menemukan sebuah lubang mirip tungku dari tembikar untuk membakar roti, yang atasnya sempit, bawahnya luas dan dibawahnya api menyala. Jika api itu mendekat, orang-orang di dalamnya segera naik sampai mereka nyaris keluar. Jika api padam, mereka kembali turun ke bawah. Di dalam lubang itu terdapat laki-laki dan perempuan telanjang.

Aku bertanya, “Siapa mereka ini?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalahnlah!” Kami lalu berjalan dan sampai ke sebuah sungai darah yang di dalamnya ada seorang laki-laki berdiri, dan di tengah sungai (menurut versi Yazid dan Wahab ibn Jarir dari Jarir ibn Hazim: di pinggir sungai) ada seorang lelaki yang di hadapannya ada batu. Jika orang itu ingin keluar dari sungai, lelaki di pinggir atau di tengah sungai melempari mulutnya dengan batu sehingga ia kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia akan keluar dari sungai, ia dilempar dengan batu sehingga kembali lagi.

Aku bertanya, “Siapa ini?” Kedua orang yang membwaku menjawab, “Jalanlah!” Lalu kami berjalan sampai kami berhenti di sebuah taan hijau yang di dalamnya ada sebuah pohon besar dan di dekat akarnya ada seorang kakek dan beberapa anak kecil. Di dekat pohon ada seornag lelaki yang di hadapannya ada api yang menyala. Lalu kedua orang yang membwaku menaikkanku ke pohon dan memasukkan aku ke suatu tempat yang sangat indah . Di dalamnya ada orang-orang tua, pemuda-pemuda, wanita-wanita dan anak-anak. Kemudian keduanya mengeluarkan aku dari tempat itu, lalu menaikkanku ke pohon dan memasukkan aku ke dalam tempat yang lebih bagus dan lebih indah, yang di dalamnya terdapat orang-orang tua dan pemuda-pemuda.

Aku berkata, “Kalian telah membawaku berkeliling pada mala mini, maka beritahukanlah padaku mengenai peristiwa-peristiwa yang ku lihat tadi!” Keduanya menjawab, “Baik. Orang yang mulutnya dirobek adalah seorang pendusta yang menceritakan kabar dusta sehingga dusta itu tersebar ke mana-mana, dan ia terus diperlakukan begitu sampai hari kiamat. Orang yang kepalanya diremukkan adalah lelaki yang diajarkan padanya al-Quran tetapi ia mengabaikannya di malam hari dan tidak mengamalkannya di siang hari. Ia diperlakukan seperti itu sampai hari kiamat. Orang yang di dalam lubang adalah para pezina. Orang yang di sungai adalah pemakan riba. Orang tua yang berada di akar pohon adalah Ibrahim, sedang anak-anak di sekelilingnya adalah anak-anak manusia. Yang menyalakan api adalah (malaikat) Malik penjaga neraka. Tempat pertama yang kau masuki adalah tempat umunya kaum mukmin, sedangkan tempat ini adalah para syuhada. Aku ini Jibril dan ini Mikail. Angkatlah kepalamu!” Aku mengangkat kepalaku, lalu tiba-tiba di atasku ada sesuatu seperti awan. Mereka berkata, “Itu tempat tinggalmu.” Aku berkata, “Biarkan aku memasuki rumahku.” Mereka berkata, “Umurmu masih ada. Jika umurmu telah habis, kau boleh masuk ke rumahmu.”

@Sumber: Ensiklopedia Kiamat/Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykarوقع

Syi’ah Rafidhoh Hina Kedudukan Allah (2)

Syi'ah Rafidhoh beranggapan bahwa Alloh yang mereka sembah bukanlah Alloh kaum Ahlussunah wal Jama’ah (Sunni). Keterangan ini dapat terlihat dari sebuah kitab milik Rafidhoh:

Berkata Ni’matullah dalam kitab Al Anwarul Ni’maniyah 1/278 bahwa kami tidak sepakat dengan mereka (Ahlus Sunah) mengenai Allah dan nabi-Nya, dan imam (Khilafatul Islamiyah) mereka (Sunni) mengatakan bahwa Allah itu adalah yang nabi-Nya adalah Muhammad SAW dan khalifah-Nya setelah Nabi-Nya adalah Abu Bakar. Dan kami tidak mengatakan Rabb ini dan Nabi ini (seperti yang Ahlus Sunnah katakan). Sesungguhnya Rabb yang khalifah-Nya Abu Bakar, Dia bukan Rabb kami dan demikian pula Nabi-Nya bukan Nabi kami.

Dari sini kita ketahui bahwa mereka memiliki sesembahan selain Allah. Dan memiliki Nabi selain Nabi Muhammad SAW. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka memiliki agama selain agama Islam.

Rafidhoh juga menganggap bahwa Allah tidak adil. Seperti pada keterangan berikut ini:

Telah berkata Muhammad At-Tijani sebagaimana dalam kaset Waqofat ma’a Du’atAt-Taqrib dia menentang Allah dan meniadakan keadilan Allah.

Padahal sebagai Muslim yang beriman, sudah sepatutnya meyakini bahwa Allah sebagai pemilik keadilan. Sebagaimana firman-Nya:

“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 90).

Rafidhoh juga mengatakan bahwa Allah ada di semua tempat. Maha Suci Allah yang tidak mungkin berada di tempat-tempat yang kotor. Padahal dalil-dalil jelas menunjukkan bahwa Alloh berada di atas langit. Allah berfirman:

“Yaitu Allah Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas singgasana-Nya.” (QS. Thoha: 5).

“Kemudian Allah bersemayam di atas Arsy,” (QS. al-A’raf: 54).

Begitu pula dalam hadits Muawiyyah bin Al-Hakam As-Sulami ketika Rasulullah SAW bertanya kepada seorang budak perempuan Muawiyyah:

Beliau SAW mengatakan kepada budak perempuan, “Di manakah Alloh?” Maka budak tersebut mengatakan: “Allah berada di atas langit.” Rasulullah bersabda: “Bebaskanlah perempuan ini, sesungguhnya ia adalah seorang mu’minah,” (HR. Muslim).

Secara fitrah, semua orang yakin bahwa Allah berada di atas. Bila kita tanyakan kepada anak kecil tentang keberadaan Allah maka mereka akan menunjukkan tangan ke atas sebagai isyarat bahwa Allah berada di atas langit.

@Sumber: Bahaya Syiah Rofidhoh bagi Dunia Islam/Karya: Ust. Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori

Diazab dalam Kubur? Ini Sebabnya (2)

2. Mencuri rampasan perang

MENCURI ghanimah rampasan perang termasuk dosa besar yang dapat mengakibatkan pelakunya disiksa di dalam kubur. Abu Hurairah berkata, “Seorang lelaki memberi hadiah seorang budak bernama id’am kepada Rasulullah SAW. Ketika Mid’am ikut bepergian bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba ia terkena anak panah nyasar. Ia tewas. Orang-orang berkata, ‘Semoga ia masuk surga!’ Mendengar ini Rasulullah SAW bersabda, ‘Sekali-kali tidak! Demi Yang Mengusai diriku, sungguh lilin yang ia ambil pada perang Khaibar termasuk ghanimah yang belum dibagi. Lilin ini akan menyalakan api neraka buatnya.’ Ketika orang-orang mendengar hal itu, tiba-tiba seorang lelaki membawa satu atau dua tali kulit terumpah untuk diserahkan kepada Nabi SAW. Beliau SAW lalu berkata, ‘Satu atau dia tali kulit terumpah dari neraka’.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Abdullah ibn ‘Amru berkata, “Dulu ada lelaki bernama Karkarah yang bertugas menjaga barang bawaan milik Nabi yang diletakkan di punggung hewan. Ketika ia meninggal, Rasulullah SAW bersabda, ‘Ia di neraka.’ Para sahabat pergi untuk melihatnya, lalu mereka menemukan pakaian yang diambilnya,” (HR. Bukhari).

3. Dusta, Zina, Riba, dan Meninggalkan Al-Qur’an

Allah menunjukkan beberapa dosa yang membuat pelakunya diazab. Dalam shahih al-Bukhari diriwayatkan bahwa Samurah ibn Jundub berkata:
Biasanya setelah shalat Nabi SAW menghadapkan wajahnya kearah kami, dan bertanya, “Siapa di antara kalian yang mimpi tadi malam?” Jika ada yang bermimpi, orang itu akan menceritakannya, lalu Nabi SAW mengatakan Masya Allah.

Suatu hari beliau bertanya kepada kami, “Apakah di antara kalian ada yang bermimpi tadi malam?” Kami menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Aku tadi malam bermimpi ada dua orang mendatangiku. Mereka memegang tanganku dan membawaku ke tanah yang suci. Di sana ada laki-laki yang sedang duduk dan laki-laki yang berdiri di sampingnya dengan besi pengait di tangannya. Besi itu dimasukkan ke sudut mulut lelaki yang duduk, lalu ditarik sampai mencapai tengkuk, kemudian sudut mulut yang lain ditarik seperti itu, sehingga kedua sudut mulutnya terpaut. Setelah itu, keadaannya pulih sedia kala, dan ia diperlakukan lagi seperti itu.

Aku bertanya, “Apa ini?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalanlah!” Lalu kami berjalan sampai bertemu dengan seorang lelaki yang sedang berbaring dan seorang lagi yang berdiri dekat kepalanya sambil memegang batu, lalu dengan batu itu ia menghancurkan kepala lelaki yang berbaring. Setelah ia memukulnya, batu tersebut menggelinding, lalu ia pergi untuk mengambilnya lagi. Ketika ia kembali, kepala lelaki yang hancur tadi sudah menyatu kembali dan pulih seperti sedia kala, lalu ia memukulnya lagi.

Aku bertanya, “Siapa ini?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalanlah!” Kami berjalan dan menemukan sebuah lubang mirip tungku dari tembikar untuk membakar roti, yang atasnya sempit, bawahnya luas dan dibawahnya api menyala. Jika api itu mendekat, orang-orang di dalamnya segera naik sampai mereka nyaris keluar. Jika api padam, mereka kembali turun ke bawah. Di dalam lubang itu terdapat laki-laki dan perempuan telanjang.

Aku bertanya, “Siapa mereka ini?” Kedua orang yang membawaku menjawab, “Jalahnlah!” Kami lalu berjalan dan sampai ke sebuah sungai darah yang di dalamnya ada seorang laki-laki berdiri, dan di tengah sungai (menurut versi Yazid dan Wahab ibn Jarir dari Jarir ibn Hazim: di pinggir sungai) ada seorang lelaki yang di hadapannya ada batu. Jika orang itu ingin keluar dari sungai, lelaki di pinggir atau di tengah sungai melempari mulutnya dengan batu sehingga ia kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia akan keluar dari sungai, ia dilempar dengan batu sehingga kembali lagi.

@Sumber: Ensiklopedia Kiamat/Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykar

Ayat Paling Sering Diselewengkan

Gelombang sentimen negatif terhadap Islam dan muslim akhir-akhir ini menggiring opini publik seolah agama sejalan dengan kekerasan. Upaya ini juga menghasilkan tuduhan tak masuk akal terhadap Al Quran.

Ayat apa saja yang paling banyak salahartikan dalam Al Quran? Apakah tuduhan kekerasan sudah melalui penelitian akademis yang cermat, ataukah ayat-ayat ini diselewengkan untuk mengesankan kebalikan dari maksud sebenarnya?

Agama sejak dulu selalu menjadi kambing hitam  kekerasan. Para ekstrimis dan maniak pembantaian sepanjang sejarah sering menggunakan agama sebagai tameng dalam konflik duniawi. Konflik politik, kediktatoran dan peperangan yang menyeret negara-negara muslim beberapa dekade terakhir ini telah melahirkan kelompok-kelompok ekstrim modern yang berupaya menggunakan kekerasan atas nama Islam. Kekacauan, ketidakstabilan dan perang berkepanjangan menciptakan vakum politik dimana kelompok-kelompok yang haus kekuasaan berlomba-lomba mendapatkannya. Kelompok-kelompok ini akan menggunakan bendera apapun untuk mencapai tujuan, apakah itu identitas etnik, budaya, kebangsaan, ideologi tertentu ataupun agama.

Seseorang akan dengan mudah bersikap skeptis dan menyalahkan agama yang telah ada sekitar 1400-an tahun serta dipraktekkan oleh hampir dua milyar penganut di seluruh dunia. Beberapa ayat dari Al Quran telah digunakan oleh kelompok radikal dan anti-Islam, yang menyatakan bahwa beberapa ayat dalam Al Quran mendukung aktivitas kekerasan

Sangatlah mudah menyelewengkan sebuah teks. Cukup dengan mengambil sebagian kalimat dan meninggalkan konteks kalimatnya. Apa yang membuat lima ayat Al Quran paling sering diselewangkan menjadi menarik adalah kekerasan yang mereka sangkakan melekat pada ayat itu, tiba-tiba hilang setelah melihat pada tekstual dan konteks sejarahnya. Yang dibutuhkan hanya melengkapi kalimat itu, atau dengan membaca kalimat sebelum atau sesudahnya, dan ini cukup menjadi bukti bahwa ayat itu tidak mengajarkan kekerasan. Sebagai tambahan, perspektif ini lebih mendalam saat seseorang melihat kepada surat-surat lain dalam Al Quran dan penjelasan Nabi Muhammad SAW, yang dengan tegas mengutuk kekerasan dan menyerukan kedamaian. Lebih dari itu, 1400 tahun analisa keilmuan terhadap Al Quran mampu menghalau salah-tafsir dari kelompok radikal kontemporer dan kelompok fanatik anti-muslim.

Kesalahan 1 – Al Baqoroh:191

Kalimat “Bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka” sejauh ini adalah frase yang paling banyak disalahartikan kelompok anti-islam dan ekstrimis radikal. Akam tetapi seruan perang ini tepat setelah ayat yang menyatakan “Perangilah di jalan Alloh orang-orang yang memerangi kamu…” dan juga sebelum bagian ayat yang menyatakan “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zholim”.

Apakah konteks sejarah dari ayat 2:190-193 dan kepada siapa ditujukan? Ibnu Abbas, sahabat terkenal dan ahli tafsir Al Quran, mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum Quraish[1]. Mereka telah menganiaya dan menyiksa umat Islam selama tiga belas tahun di Mekkah. Mereka telah mengusir umat Islam dari rumah mereka, merampas harta benda dan memerangi umat Islam setelah hijrah ke Madinah. Oleh sebab itu muncul kekhawatiran akan serangan lainnya di saat mereka melaksanakan ibadah haji dimana ketika itu berperang adalah sesuatu yang dilarang. Inilah sebab ayat ini diturunkan untuk menenangkan hati mereka bahwa mereka akan mampu membela diri dari serangan Quraish selama haji. Perang yang dikhawatirkan tidak pernah terjadi, karena ada perjanjian damai dan ibadah haji pun telah diperbolehkan.[2]

Kalimat “Jangan berbuat aniaya” telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas, “Jangan menyerang wanita, anak-anak, orang tua atau siapapun yang tidak memerangi kamu”, oleh sebab itu, mencelakai siapapun yang tidak berperang dianggap melanggar ketentuan Robb yang Mahakuasa[3]. Ahli tafsir lain, Ibnu Ashur (w.1393H) berkata, “ Jika mereka berhenti memerangimu, maka jangan perangi mereka karena sungguh Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang, sepatutnyalah seorang muslim menunjukkan kasih sayang”[4]. Dalam hal ini, ayat ini senada dengan QS. Annisa:89  yang mewajibkan memerangi musuh tetapi langsung diikuti pernyataan, “Tetapi jika mereka membiarkanmu dan tidak memerangimu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Alloh tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.”

Kembali ke ayat 2:190-193, kata fitnah yang dimaksud adalah menganiaya dan menghukum seseorang karena keyakinannya dan memaksanya untuk kafir dan syirik. Ulama Quran terkemuka, Imam Kisaa’I (w.189), menjelaskan bahwa fitnah yang dimaksud adalah “siksaan, karena Quraish bisa menyiksa mereka yang memeluk Islam”[5]. Ibnu Jarir At Thobari (w.310H) menjelaskan bahwa kalimat “Fitnah lebih buruk dari pembunuhan” berarti bahwa “menganiaya seorang mu’min karena keimanannya sampai ia kembali menjadi penyembah berhala adalah lebih menyakitkan baginya daripada dibunuh diatas keimanannya”.[6]

Oleh karena itu, ayat ini dengan gamblang menjelaskan larangan memerangi mereka yang tidak berperang. Secara khusus kalimat yang disalahartikan menjelaskan berperang dalam rangka membela diri dari para pelaku penganiayaan dan penyiksaan atas dasar anti-agama.

Kesalahan 2 – At Taubah:5

Ayat berikutnya hampir serupa – “maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka”, lagi-lagi keterkaitan dengan konteks sejarah membantah kesalahan ini. Ayat ini berbicara perihal mereka yang memegang perjanjian damai dengan orang-orang yang tidak pernah mendukung tentara musuh melawan umat Islam- Kalau begitu kepada siapa At Taubah:5 ini ditujukan? Al Baydhawi (w.685H) dan Al Alusi (w.127H) menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada musyrikin Arab yang melanggar perjanjian damai dengan berperang melawan umat Islam (nakitheen)[7], oleh karena itu Abu Bakar Al Jassas (w.370H) mencatat bahwa ayat-ayat ini khusus bagi bangsa Arab musyrik dan tidak bisa diterapkan kepada yang lain[8]. Pendapat ini dikuatkan oleh Al Qur’an sendiri. Pada ayat 13 dalam surat yang sama Alloh berfirman, yang artinya,” Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras untuk mengusir Rasul dan mereka yang pertama kali mamulai memerangi kamu?” dan ayat 36, “dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya” konteks tekstual sangatlah jelas bahwa ayat 9:5 bukanlah perintah tanpa pandang bulu akan tetapi berkaitan suku-suku Arab musyrik, yang tengah perang dengan umat Islam[9]. Oleh karena itu, menafsirkan Al Quran yang tidak merujuk kepada konteks ayatnya adalah sangat bertentangan dengan Al Quran itu sendiri.

Lebih dari itu, yang menakjubkan adalah ayat selanjutnya (At Taubah:6) menyatakan bahwa apabila tentara musuh tiba-tiba minta perlindungan, maka seseorang diwajibkan secara syariat untuk melindungi, menjelaskan pesan Islam kepadanya, dan apabila ia menolak menerima, kawal ia ke tempat yang aman. Perintah untuk melindungi dan mengamankan tentara musuh (yang meminta perlindungan) ke tempat aman jelas tidak bisa diartikan sebagai kekerasan.

Kesalahan 3 – Al Anfaal:60

Ayat favorit lain yang sering disalahartikan adalah, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang” akan tetapi lagi-lagi ayat berikutnya menjelaskan, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya”-

Lebih dari itu, siapakah yang dimaksud dalam kutipan ayat ini? Konteks historis dengan jelas menempatkan ayat-ayat ini, lagi-lagi merujuk kepada perang berlarut-larut antara pasukan muslim dengan tentara musuh dari suku Quraish Mekkah dan dan sekutu-sekutu mereka[10]. Surat ini diturunkan berkaitan dengan perang Badar antara pasukan muslim yang mencari perlindungan di Madinah dan suku Quraish yang telah menyiksa dan mengusir keluar dari Mekkah. Surat ini juga menggambarkan ancaman dan penganiayaan muslim periode awal.

“Dan ingatlah (hai para muhajirin), ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Medinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolonganNya dan diberi-Nya kamu rezki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al Anfaal:26)

Perlu dicatat terkadang para pelaku Islamophobia mengutif ayat Al Anfaal:12, “maka penggallah kepala-kepala mereka”, adalah sama sekali salah kaprah. Faktanya ayat ini menjelaskan apa yang dikatakan Tuhan kepada para malaikat saat perang badar. Bagian pertama ayat, (Ingatlah), ketika Rabbmu mewahyukan kepada para malaikat,:”Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Untuk menyelewengkannya menjadi sebuah perintah umum untuk para muslim menyerang non-muslim adalah bohong besar.

Diterjemahkan dengan penyesuaian dari tulisan Dr. M. Nazir Khan dalam situr www.spiritualperception.org yang berjudul Top Five Misquotations of The Quran

Bersambung ke bagian-2

[1] Lihat Asbabun Nuzûl oleh Al-Wahidi (d.468H)

[2] Ibnu Abbas menjelaskan bahwa saat umat Islam berangkat ke Mekkah di tahun 6 H untuk berhaji, mereka tidak diperbolehkan oleh kaum Quraish. Sebelum kembali ke Madinah, mereka membuat perjanjian damai yang mengijinkan umat Islam kembali untuk berhaji di tahun berikutnya. Meski begitu mereka tetap enggan kembali lagi, karena kuatir dibantai saat berhaji karena kaum Quraish sudah berencana menyerang mereka pada waktu itu. Ayat-ayat ini diturunkan untuk meyakinkan mereka dapat membela diri dari ancaman itu di wilayah Mekkah. Pada akhirnya, pertempuran itu tidak pernah terjadi sama sekali dan umat Islam dapat berhaji dengan damai (al-Wahidi, al-Samarqandi, al-Tabari).

[3] Lihat Tafsir Ibnu Jarir At Thabari (w. 310H) dan Tsa’labi (w. 427H). Juga, ulama awal terkenal Abul A’liyah, Said bin Zubair dan Ibnu Zaid semuanya menjelaskan bahwa yang dimaksud agresi (serangan) adalah “Menyerang siapapun yang tidak memerangi kamu”. Khalifah bani Umayyah terkenal sekaligus ulama Umar bin Abdul Aziz ditanya perihal ayat ini dan ia menyatakan bahwa dilarang memerangi orang yang tidak terlibat dalam peperangan. Pendapat ini telah diambil oleh para ulama Islam perihal larangan mencelakai siapapun yang tidak berperang.

[4] Tahrir wat Tanwir 2:192. Beberapa sumber penafsiran awal menjelaskan bahwa kalimat “ Jika mereka berhenti memerangimu, maka sungguh Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang” bermakna apabila mereka berhenti memerangi kamu dan menghentikan peperangan melawan kamu, termasuk tafsir Muqatil b. Sulaiman (w.150H), tafsir Al Samarqandi (w.375H) dan Tafsir Tsa’labi (w.427H)

[5] Diriwayatkan oleh Tsa’labi dan Thabarani (w.360H). sebagian orang boleh jadi heran apakah seorang ulama seperti Imam Al Kisa’I diselisihi oleh pernyataan beberapa ahli tafsir belakangan yang mengatakan bahwa fitnah berarti kekufuran dan keryirikan. Akan tetapi, Ibnu Jarir At Thabari (w310H) dan yang lain menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan “memaksa muslim untuk berbuat kufur/ syirik” adalah juga sebagai bentuk penganiayaan terhadap muslim. Ulama Quran awal yang terkenal Makki bin Abi Thalib (w.437H) mencatat “Fitnah secara Bahasa adalah ujian, oleh karena itu sebuah ujian yang menyebabkan seseorang kehilangan imannya adalah lebih buruk dari pada dibunuh.” Ibnu Jarir At Thabari menyatakan hal yang sama (lihat catatan kaki selanjutnya). Terlebih lagi, kita punya dalil tak terbantahkan dari sahabat Abdullah bin Umar dalam Shahih Bukhari. Ibnu Umar telah ditanya terkait kecondongannya berdamai selama perang di era Khalifah Ali, khususnya saat Quran menyatakan “Perangi mereka sampai tidak adalagi fitnah.” Ibnu Umar menjawab bahwa saat penganiayaan muslim karena keimanannya telah berhenti dan penyiksaan serta pembunuhan telah reda, maka tidak adalagi fitnah.”  (وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة قال ابن عمر قد فعلنا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ كان الإسلام قليلا فكان الرجل يفتن في دينه إما يقتلونه وإما يوثقونه حتى كثر الإسلام فلم تكن فتنة)

[6] Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an (2:190-193)ofImamal-Tabari menyatakan:

وقد بـينت فـيـما مضى أن أصل الفتنة الابتلاء والاختبـار فتأويـل الكلام: وابتلاء الـمؤمن فـي دينه حتـى يرجع عنه فـيصير مشركا بـالله من بعد إسلامه أشدّ علـيه وأضرّ من أن يقتل مقـيـماً علـى دينه متـمسكاً علـيه مـحقّاً فـيه

[7] Anwar At Tanzil wa Asrarut Ta’wil (9:5) Imam Al Baydhawi dan Ruhul Ma’ani (9:5) Imam Alusi. Penafsiran semacam ini diberikan otoritas karena sesuai dengan teks Al Quran itu sendiri. Saat membaca komentar-komentar figure klasik yang bervariasi, adalah penting untuk mencatat konteks sejarah dari komentar-komentar mereka. Banyak ahli tafsir hidup di era persaingan kekuasaan untuk mengendalikan satu dengan lainnya. Sering kali, orang-orang pada masa itu menyaksikan penaklukan kerajaan dan ekspansi politik sebagai satu-satunya cara untuk menyampaikan pesan kebenaran kepada komunitas lain yang hidup di bawah entitas-entitas politik permusuhan, dan karena itu beberapa dari mereka berupaya untuk mendafsirkan ulang beberapa surat dalam rangka untuk mendapatkan cakupan yang lebih luas. Bagaimanapun, penafsiran seperti ini disangkal oleh konteks tekstual dan sejarah Al Quran. Terlebih lagi, figure-figur itu sendiri berkata bahwa tujuan puncak adalah membangun keamanan di tanah-tanah umat Islam (lihat Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd) atau menyampaikan pesan keimanan kepada orang lain. Jadi ekspansi politik hukum Islam sebagai alat penyebaran menjadi tidak relevan di era digital dan komunikasi massa serta global.

[8] Abu Bakr al-Jassas menyatakan, “صار قوله تعالى: {فَاقْتُلُوا المُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} خاصّاً في مشركي العرب دون غيرهم.”

[9] Perhatikan juga bahwa ayat 9:8 dan 9:10 memberi karakteristik yang dimaksud oleh ayat-ayat ini lebih jauh dengan menyatakan bahwa mereka yang dimaksud adalah orang yang “Memperhatikan perjanjian atau hubungan kekeluargaan saat berhubungan dengan orang beriman””. Pentingnya memahami kondisi umum kesukuan bangsa Arab tak bisa dianggap remeh. Hari ini, seseorang bisa tenang turun ke jalanan tanpa khawatir barang bawaannya dirampok, pun seandainya ada maka dengan mudah memanggil polisi jika keamanannya terancam. Berbeda saat abad ke-7 di Arabia, tidak ada polisi, tidak ada hukum, yang ada hanya perlindungan masing-masing suku. Dan suku-suku ini dahulu saling berperang terus-menerus. Al Quran sendiri menyinggung masalah ini, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok.?” (QS. Al Ankabuut:67). Mengembara di tengah gurun bisa dipastikan baik dibunuh maupun dirampok,- atau lebih buruk lagi dijual sebagai budak faktanya, persis seperti yang terjadi pada beberapa orang sahabat Nabi-shallallahu’alaihiwasallam- termasuk Suhaib Al Rumi, Salman Al Farisi dan Zaid bin Haritsah. Adalah tidak mungkin membaca surat 9 (At Taubah) tanpa memahami latar belakang konteks ini untuk membentuk perintah dan aturan yang telah ada sejak dahulu dalam perang (suku di) Arabia

[10] Zad al-Masir (8:60) Ibnul Jawzi (d.597H) dan Nazhmud Dhurar (8:60) Al-Biqa’i (d.885H).

Syi’ah Rafidhoh Hina Kedudukan Allah (1)

Pengingkaran kaum Rafidhoh benar-benar telah melewati batas. Bagaimana tidak, Rafidhoh sampai berani merendahkan kedudukan Allah SWT, Rabb semesta alam.

“Dan diriwayatkan dalam kitab kasyiful yakin fi fadhoil amiril mukminin oleh al Hasan bin Yusuf al Muthohir al Huly berkata: Allah berfirman: “Aku bersumpah dengan kemuliaan-Ku, Aku masukkan ke dalam surga bagi siapa saja yang menaatinya (yaitu Ali) dan Aku bersumpah dengan kemuliaanku akan Aku masukkan ke dalam neraka siapa saja yang memaksiatinya walaupun dia menaati-Ku.”

Telah berkata Hasan Fuhaid (pimpinan Rafidhoh) dalam kaset ‘Waqofat’: “Aku bersumpah (Allah) akan Aku masukkan ke dalam surga pecinta Ali bin Abi Thalib walaupun menaati-Ku. Dan Aku bersumpah akan Aku masukkan ke dalam neraka pembenci Ali bin Abi Thalib walaupun dia Menaati-Ku.”

Dari kedua keterangan di atas, terlihat bahwa Rafidhoh merendahkan Allah selaku pencipta alam semesta ini di bawah kedudukan Ali bin Abi Thalib. Padahal Allah perintahkan seluruh malaikat, Nabi, Rasul, manusia, bahkan jin untuk beribadah kepada Allah, termasuk tugas Ali bin Abi Thalib. Mereka bukan untuk tunduk kepada Ali bin Abi Thlib. Allah berfirman:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Kita juga tak boleh taat kepada seseorang yang perintahnya itu memaksiati Allah. Sebagaimana sabda Nabi:

Dari Ibnu Umar dari Nabi bersabda: “Bagi setiap Muslim hendaknya tunduk dan taat terhadap apa yang ia sukai atau yang ia benci kecuali jika diperintahkan untuk maksiat maka tidak ada ketundukan dan ketaatan.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Oleh karena itu Ibnu Abbas mengingkari perintah Ali bin Abi Thalib ketika ia membakar pengikut Abdullah bin Saba. Karena beliau tahu bahwa tidak boleh membakar seseorang atau menyiksanya dengan api kecuali pemilik api yaitu Allah Azza Wa Jalla.

@Sumber: Bahaya Syiah Rofidhoh bagi Dunia Islam/Karya: Ust. Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori

Ingin Rezeki Dilapangkan, Begini

Bersilaturrahmi menjadi kunci keberkahan hidup seorang Muslim di dunia ini, bersilaturrahmi artinya memperbanyak persaudaraan dan memperluas ladang pahala yang tak terhingga.

Diriwayatkan dari anas r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Barang siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dilamakan bekas telapak kakinya (dipanjangkan umurnya), hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi.’’ (Muttafaq ‘alaih, Misyikat).

Maksud dilamakan bekas telapak kakinya adalah dipanjangkan umurnya. Karena semakin banyak umur seseorang , maka semakin banyaklah telapak kakinya yang berbekas di atas bumi, dan jika ia meninggal dunia, maka jejak kakinya akan terhapus dari bumi.

Terhadap hal ini ,banyak yang bertanya bahwa umur setiap orang itu sudah ditentukan. Lalu bagaimana yang dimaksud hadist ini? Di beberapa tempat Al-Qur’an disebutkan dengan jelas bahwa setiap orang orang mempunyai waktu yang sudah ditentukan, tidak bisa dimajukan dan tidak bisa diundur, karena itu sebagian ulama mengartikannya sebagai “Keberkahan” sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa rezekinya akan dilapangkan.

Waktunya sangat berkah sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh orang lain dalam beberapa hari dapat dilakukan oleh orang lain dalam waktu berbulan-bulan dapat diselesaikan olehnya dalam hitungan hari.

Sebagian ulama mengartikan , maksud dipanjangkan umurnya adalah dikenang kebaikannya dan dipuji, yakni orang-orang menyebut kebaikannya hingga beberapa lama. Sebagian ulama menulis, maksudnya adalah anak-anaknya bertambah, sehingga silsilahnya akan terus berlangsung hingga beberapa lama sehingga ia meninggal dunia. Itulah beberapa makna yang dapat disimpulkan.

Jika Nabi SAW. Yang sabdanya pasti benar telah memberitahukan hal tersebut, maka apa saja yang beliau sabdakan tentu benar adanya. Allah SWT. Adalah Dzat Yang Mahasuci, berkuasa mutlak, dan telah menciptakan semua wasilah. Bagi dia, apa susahnya menciptakan wasilah. Dia mampu menciptakan wasilah bagi setiap benda yang Dia kehendaki, sehingga adakala orang-orang yang pandai akan merasa takjub, Karena itu, kita tidak boleh kita tidak boleh meragukan sedikitpun tentang hal yang kita bicarakan ini.(Mazhahirul-Haqq).

Takdir adalah suatu kepastian. Meskipun demikian, Allah SWT. Menjadikan dunia dunia ini sebagai darul-asbab dan dia telah menciptakan wasilah, baik yang dzahir ataupun yang batin untuk setiap sesuatu.

Orang yang sakit perut akan datang kepada dokter atau yang lainnya dalam satu menit, karna mungkin akan mendapat faedah dari obat yang diberikan, dengan harapan agar panjang umur. Padahal, umur itu sudah ditentukan. Maka tidak ada alasan untuk tidak berusaha lebih keras memanjangkan umur dengan bersilaturrahmi daripada berobat.

Silaturahmi sebagai sebab panjangnya umur itu lebih pasti dibandingkan sebab lainnya. Inilahsabda seorang tabib yang ramuannya tidak pernah salah, sedangkan didalam ramuan tabib dan resep dokter itu terdapat banyak kemungkinan untuk salah.

Sabda Rasulullah SAW, yang baru saja disebutkan diatas ditulis didalam beberapa hadist dengan pokok pembahasan yang berbeda beda. Karena itu tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Ali r.a meriwayatkan dalam sebuah hadits,”Barang siapa yang mengambil tanggung jawab atas satu perkaya, aku akan menjamin baginya empat perkaya. Barangsiapa bersilaturahmi, umurnya akan dipanjangkan, kawan-kawannya akan cinta kepadanya, rezekinya akan dilapangkan, dan ia akan masuk kedalam surga.” (Kanzul-‘Ummal).

Di Azab Dalam Kubur ? Ini sebabnya..? (1)

Di antara ulama yang berpendapat seperti Bukhari adalah Imam Tirmidzi. Beliau meriwayatkan hadis dari Umar, dengan redaksi, “Orang mati diazab karena keluarganya menangisinya.”

Beliau mengatakan, “Hadis Umar berderakat hadis shahih. Segolongan ulama menilai makruh menangisi ornag mati. Mereka berkata, ‘Orang mati diazab karena keluarganya menangisinya.’ Mereka berpendapat sesuai dengan hadis di atas. Ibn Al-Mubarak berkata, ‘Ku harap jika memang beliau (Umar) melarang semasa hidupnya, hal itu tidak menjadi beban atasnya’.”
Interpretasi ini juga menjadi pendapat Imam Qurthubi. Beliau berkata, “Sebagian atau mayoritas ulama berpendapat bahwa orang mati diazab karena tangisan keluarganya jika tangisan itu berasal dari kebiasaan dan pilihannya. Seorang penyair berkata, ‘Jika aku mati, tangisilah aku bersama keluargaku dan pukullah dadamu karena aku, wahai putri kuil.’ Begitu juga bila ia mewasiatkan hal itu.”

Ratapan, menampar pipi, dan memukul dada adalah kebiasaan Jahiliyah. “Mereka biasanya mewasiatkan keluarganya untuk menangisi dan meratapi mereka, serta mengumumka kematian. Hal itu merupakan kebiasaan mereka yang terkenal dan terdapat dalam bait-bait puisi mereka. Karenanya, si orang mati itu pantas mendapat siksa, disebabkan permintaannya kepada keluarganya semasa hidupnya,” demikian kata Ibn al-Atsir.

Kata-kata Bukhari sebaiknya diperhatikan, “Orang mati diazab karena sebagian tangisan keluarganya.” Jadi, ia tidak diazab oleh setiap tangisan. Tangisan yang air matanya mengalir, tanpa merobek baju dan menampar pipi, tidak mengakibatkan si mati disiksa. Ada banyak nas yang mendukung pernyataan ini.

Ibn Timiyah disodorkan masalah ini. Beliau menganggap lemah pendapat Bukhari, Qurthubi, Ibn Abdul Barr dan lain-lain dalam menginterpretasikan hadis-hadis yang menyatakan bahwa ornag mati diazab karena tangisan keluarganya yang masih hidup. Beliau mengatakan setelah menuturkan nas-nas mengenai hal itu:

Beberapa golongan dari ulama salaf dan khalaf mengingkari hal itu dan meyakini bahwa itu termasuk mengazab manusia karena dosa orang lain. Itu bertentangan dengan ayat, “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Pendapat mereka tentang hadis-hadis shahih itu bermacam-macam.

Ada yang menyalahkan perawi hadis seperti Umar ibn Khaththab dan lainnya. Ini pendapat Aisyah, Syafii, dan lain-lain. Ada lagi yang menakwil dengan pengertian jika si mati berwasiat mengenai hal itu. Jadi, ia diazab karena telah mewasiatkannya. Ini pendapat Muzani dan lain-lain. Sebagian yang lain menafsirkannya dengan pengertian jika menjadi adat kebiasaan mereka. Jadi, ia diazab karena meninggalkan nahi munkar. Ini pendapat Abu al-Barakat. Semua pendapat ini lemah sekali.
Ibn Taimiyah menolak pendapat-pendapat yang menakwilkan hadis itu:

Hadis-hadis shahih yang jelas dan diriwayatkan oleh perawi seperti Umar ibn al-Khaththab, Abdullah ibn Umar, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain itu tidak dapat ditolak dengan cara seperti ini. Aisyah memiliki pandangan yang menolak hadis di atas dengan sedikit takwil dan ijtihad karena menilai makna hadis tersebut keliru. Sebenarnya tidak demikian. Barangsiapa merenungkan hal ini, ia akan menemukan bahwa hadis shahih yang jelas dan diriwayatkan para perawi terpercaya ini tidak akan dapat ditolak oleh siapa pun kecuali bila ia keliru.

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa Aisyah terjebak dalam sesuatu yang mestinya harus dijauhinya. Ia berkata, “Aisyah meriwayatkan dari Nabi SAW dua redaksi hadis. Yang pertama, ‘Sesungguhnya Allah akan menambah azab terhadap orang kafir karena keluarganya menangisinya.’ Ini sesuai dengan hadis Umar. Jika boleh menambah azab-nya karena tangisan keluarganya, maka boleh juga mengazabnya -dari yang tadinya tidak diazab- karena tangisan keluarganya. Karena itu, Imam Syafii dalam Mukhtalaf al-Hadis menolak hadis ini karena kerancuan maknanya. Menurutnya, yang lebih dapat diterima adalah riwayat Aisyah lainnya, ‘Sungguh mereka menangisinya, dan sungguh ia diazab di dalam kuburnya’.”

@Sumber: Ensiklopedia Kiamat/Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykar