Bismillahhirrohmannirrohim.
Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Hamdan wa Syukron Lillahi Amma Ba'du.
Ikhwah blogger yang dirahmati Allah SWT,
Sengaja aku tulis catatan ini teruntuk saudara-saudara semuslimku terkhusus bagi yang kini sedang mencari ilmu di kampus biru LIPIA & sangat mengharapkan kehadiran mukafaah.
Kita semua tau, terlebih bagi thullab LIPIA bahwa mukafaah tidak terlepas dari kegiatan sehari-hari. Mukafaah menjelma menjadi dilema yang tiada habisnya bagi thullab. Ia terkadang datang sumringah membuat siapa yang mendengarnya menjadi bahagia. Bahkan terkadang pula Ia datang diantara harapan dan keputusasaan.
Namun ikhwah, ada garis besar yang terkadang sulit disadari kebanyakan dari kita. Bahwa mukafaah ma’had adalah mukaafaatullah. Mukafaah Allah. Rezeki dari Allah SWT melalui sebuah lembaga yang bernama LIPIA. Seseorang yang berjuang dalam perburuan ilmu untuk meninggikan KalimatNya, Demi Allah tidak akan pernah Allah SWT siakan semua usaha yang telah tercurah.
Cucuran keringat beserta peluh yang meretas di wajah kita tak akan dipandang sebelah mata oleh Allah SWT. Allah SWT akan beli penat dan lelah kita semua itu dengan harga yang tidak murah. Allah SWT akan kucurkan Rahmat dan BarokahNya kepada hamba-hamba yang tak pernah henti menelan kesyukuran walau terasa masam. Itulah realita kita ikhwah. Dan realita ini harus kita aplikasikan dalam kondisi kita ketika apa yang terjadi, yakni mukafaah belum juga datang.
Hal semacam ini pernah dibahas pula oleh ikhwah kita di blog lembaga dakwah kampus Al Fatih yang saat itu menjabat sebagai kadep Humas. Akhuna Tajun Nashir. Beliau mengingatkan bahwa patutlah bagi kita semua untuk mengingat kembali betapa banyak sudah ma'had memberikan apa yang kita butuhkan. Baik itu dari segi pembelajaran maupun fasilitas yang telah diberikan. Bagaimana tidak ? Mari kita coba bertanya kepada diri masing-masing dan mengingat beberapa tahun yang lalu atau yang baru masuk kemarin yang kesemua intinya semenjak menginjakkan kaki pertama kali di ma'had kita tercinta ini, pernakah kita diminta oleh pihak kampus untuk membayar iuran, uang pangkal, uang bangunan(yaa...mungkin hanya bayar kertas formulir+map beserta nomor antrian seharga 3000 perak.itupun bukan resmi dari titah ma'had, hanya oknum satpam ma'had saja yang ingin memanfaatkan)atau beban-beban materi lainnya yang tentunya jika dibebankan pada kita, tak elak kita akan merasa keberatan. Contoh kecil saja, kitab-kitab pembelajaran atau kita yang sudah di syari'ah dengan kitab besar yang ada di rak kita saat ini, mulai dari kitab-kitab sastra yang bahasanya mudah dicerna sampai kitab-kitab ushul fiqih yang membutuhkan otak tajam untuk memahaminya, dari manakah semua itu berasal ?. Ditambah sederet fasilitas lain yang sangat jarang kita temukan di pelosok negeri ini. Mulai dari perpustakaan arab terbesar di Asia Tenggara sampai tenaga pengajar professional yang sangat menguasai di bidangnya.
Pihak kampus, para dosen, apalagi para muhsinin yang telah menginfaqkan harta mereka dengan suka rela untuk investasi besar ini tidak akan menuntut apapun kepada kita. Karena mereka semua melakukan hal tersebut Insya Allah ikhlas lillah ta’ala. Buktinya ya kenyataan yang ada di lapangan sampai saat ini.
Pernakah kita mendengar ada peraturan yang mewajibkan para alumni yang telah lulus kemudian diharuskan untuk mengabdi di kampus selama beberapa tahun misalnya, ataupun dikirim ke timur tengah untuk menjadi tenaga kerja di sana ?
Tidakkan ?
Oleh karenanya kita harus mempertanyakan kepada diri kita sendiri. Pertanyaan paling mendasar adalah, dengan sederet fasilitas yang telah kita dapatkan tersebut apakah out put yang bisa kita hasilkan? Apakah bentuk balas budi yang sudah kita berikan, baik kepada kampus ataupun masyarakat luas?
Distribusi nikmat yang sangat merata bagi semua makhluk. Lelaki, perempuan, kaya, miskin, sehat, cacat, dirosah pagi, dirosah sore, semua sama. Hanya terkadang Allah SWT sedikit memoles nikmatNya dengan corak yang berbeda pada setiap orangnya. Pada suatu keadaan nikmat itu muncul berupa material dalam lembaran-lembaran rupiah, atau pada sebagian yang lain Allah wujudkan nikmat tersebut dalam sinergi-sinergi halus berupa keberkahan, kesehatan, ketenangan hati, kekhusyuan ibadah, kemaqbulan doa, ataupun kemanfaatan akan ilmu dan kelancaran kita dalam menimba ilmu baru dikelas dari apa yang disampaikan para dosen.
Seorang yang belum menerima mukafaah ma’had, maka bisa jadi Allah akan berikan ia dan orang-orang disekitarnya sebuah kelapangan yang luar biasa dalam jalan rizki lain, keuntungan yang berlipat dalam bisnis pribadi misalnya, kesembuhan bagi si sakit, atau hal lainnya yang tak terduga sebagai penggugur duri-duri dosa yang pernah kita tanam sebelumnnya. Belajar dari semua, tidak dapat pula segala kesalahan berujung pada thullab sehingga mukafaah mengalami keterlambatan ataupun tidak turun sama sekali. Misal saja yang sedang ramai di kalangan thullab adalah dilarangnya jual beli dalam bentuk apapun itu terkhusus jual beli yang dhohir.
Tulisan ini tidak bermaksud mengesampingkan keikhlasan maupun kesyukuran, namun lebih pada penciptaan kerja profesional sebuah lembaga besar di bawah naungan ‘raja’ berpanji hijau. Maka cukuplah syukur dan sabar menjadi kata terbaik sebagai nada dasar sakit hati thullab. :)
Wahai Ikhwah,
Renungkanlah ayat berikut ini :
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
”Kemudian pada hari itu kalian akan ditanya tentang nikmat (yang telah diberikan kepada kalian).” (At-Takâtsur : 8).
Wallahu a'lam bis Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar