Senin, 30 Maret 2015

Mengenal Lebih Dekat Imam Darul Hijrah Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu

Bismillah wal Hamdulillah ..., tahukah Anda siapa tokoh yang akan kita bahas ini? Tokoh yang jika kita mengingatnya maka kita akan mengatakan inilah ulama Madinah yang kedatangannya seolah telah dijanjikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam salah satu haditsnya! Dialah Imamnya negeri hijrah (Madinah), mutiaranya ahli fiqih, bintangnya ahli hadits, simbol kewibawaan ulama, mata airnya ilmu bagi manusia pada masanya, berparas tampan, shalat dan puasanya biasa saja tetapi akhlaknya luhur, Allah Ta’ala telah memberinya dunia dengan kekayaan dan kemegahan, banyak imam besar yang duduk bersimpuh di hadapannya; dialah  Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu, pengarang kitab Al Muwaththa’.

Di Madinah, pada masanya tidak ada yang berani berfatwa sebelum Imam Malik bicara. Bahkan, sebagian sejarawan begitu meninggikannya, sampai-sampai Imam Adz Dzahabi  menyebutkan  jika dijejerkan dengan nama-nama besar di Madinah pada masa tabi’in seperti Sa’id bin Al Musayyib, tujuh ahli fiqih Madinah, Qasim, Salim, Ikrimah, Naafi’,  lalu Zaid bin Aslam, Az Zuhri, Abu Az Zinad, Yahya bin Sa’id, Shafwan bin Sulaim, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman,  lalu jika Imam Malik dipertemukan dengan mereka  maka Imam Malik lebih unggul dibanding mereka,  lalu di antara mereka juga ada  Ibnu Abi Dzi’b, Abdul Aziz bin Al Majisyun, Sulaiman bin Bilal, Fulaih bin Sulaiman, Ad Darawardi, dan yang sezaman dengan mereka, jika mereka semua dipertemukan maka secara mutlak Maliklah yang paling menonjol. (Lihat As Siyar, 7/156)

Padahal di antara nama-nama ini ada yang pernah menjadi gurunya. Bukan hal yang aib, jika ada murid yang di kemudian hari justru menjadi guru dari gurunya terdahulu.   Bahkan Abdurrahman bin Al Mahdi mengatakan bahwa  pada masa Imam Malik ulama Madinah ada empat orang yakni Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Hammad bin Zaid, dan Malik, dan yang paling cerdas dari semuanya adalah Malik.

Tangannya pun begitu dingin, lahir melalui madrasahnya para murid yang kemudian menjadi  imam besar dan bintangnya dunia seperti Imam Abdullah bin Al Mubarak, Imam Muhammad bin Al Hasan, Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan, dan tentunya yang paling  bersinar di antara mereka adalah Imam Asy Syafi’i, yang dikemudian hari nama dan pengaruhnya melambung melebihi Imam Malik sendiri. Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati mereka semua.  

Nama dan Nasab

Imam Adz Dzahabi berkata (As Siyar, 7/150): Dia adalah Syaikhul Islam, hujjahnya umat, Imam negeri hijrah (Madinah), Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Dzu Ashbah bin Auf bin Malik bin Zaid bin Syadad bin Zur’ah yang berasal dari Kabilah Himyar yang disebut denganHimyarul Ashghar, kemudian Al Ashbahi, Al Madini,  nenek moyangnya berasal dari Bani Tamim dari suku Quraisy, Beliau berkawan dengan Utsman bin ‘Ubaidillah, saudara dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, salah satu dari sepuluh sahabat nabi yang dijamin masuk surga.

Ibunya adalah ‘Aliyah binti Syarik Al Azdiyah. Paman-pamannya adalah Abu Suhail Nafi’, Uwais, Ar Rabi’, An Nadhr, anak-anaknya Abu ‘Amr.

Az Zuhri telah meriwayatkan hadits dari ayahnya; Anas, dan dari pamannya; Uwais dan Abu Suhail.     Abu Uwais Abdullah meriwayatkan dari pamannya, Ar Rabi’. Ayah mereka termasuk   seniornya tabi’in. Mengambil hadits dari ‘Utsman dan segolongan sahabat.

Disebut Imam Darul Hijrah, karena dia Imamnya kota Madinah, bahkan sepanjang hayatnya tidak pernah keluar kota Madinah kecuali ketika haji. 

Kelahirannya

Menurut pendapat yang shahih, Beliau dilahirkan tahun 93 H ditahun wafatnya Anas, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau hidup dalam keadaan terawat, makmur, dan penuh keindahan. (Ibid)

Aslinya berasal dari Yaman, keluarganya berimigrasi ke Madinah Munawarah. Para sejarawan tidak berbeda pendapat tentang asalnya ini. Tetapi, mereka berselisih kakek yang mana yang berimigrasi ke Madinah? Al Qadhi Abu Bakar bin ‘Ala Al Qusyairi menyebutkan: Abu Amir bin Amru, kakek dari Abu Malik, sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Qadhi Abu Bakar mengatakan: Dia ikut seluruh peperangan bersama nabi kecuali Badar. Tetapi Imam Ibnu Abdil Bar tidak menyebutkannya, jika memang ini shahih pastilah dia kan menyebutnya dalam kitabnya.  (Muqadimah Al Muwaththa, 1/17-18. Tahqiq: Syaikh Muhammad Mushthafa Al A’zhami)

Diriwayatkan dari Ma’an, Al Waqidi, dan Muhammad bin Adh Dhahak, bahwa ibunya mengandung Beliau selama tiga tahun! Al Waqidi mengatakan ibunya mengandungnya selama dua tahun. (As Siyar, 7/154)

Menurut para pengagumnya, kelahiran Beliau seolah sudah diprediksikan dalam hadits berikut:
يُوشِكُ أَنْ يَضْرِبَ النَّاسُ أَكْبَادَ الْإِبِلِ يَطْلُبُونَ الْعِلْمَ فَلَا يَجِدُونَ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْ عَالِمِ الْمَدِينَةِ

Hampir saja manusia memukul perut Unta demi mencari ilmu, dan mereka tidak mendapatkan seorang pun yang lebih berilmu dibanding ‘alim (orang berilmu)-nya Madinah. (HR. At Tirmidzi No. 2680,  Ahmad dalam Musnadnya No. 7980, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 4291, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 8935, Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 30, dll. Hadits ini dihasankan oleh Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, juga dishahihkan oleh Imam Al Hakim, dan disepakati Imam Adz Dzahabi. (Al Mustadrak No. 307),  Imam An Nawawi juga menshahihkannya. (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/90), namun para ulama lain mengoreksinya.)[1]

Para ulama salaf seperti Imam Abdurazzaq, Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan maksud ulama Madinah dalam hadits ini adalah Imam Malik bin Anas. Imam Ibnu ‘Uyainah juga mengatakan tentang ulama Madinah adalah Abdul Aziz bin Abdullah Al ‘Umari, keturunan Umar bin Al Khathab. Dia seorang zahid  (zuhud), dan bukan ulama. (Lihat keterangan ini dalam Sunan At Tirmidzi No. 2680, juga  Al Ahkam Asy Syar’iyah Al Kubra, 1/285, juga Musnad Ahmad No. 7980)

Imam Adz Dzahabi bercerita: bahwa diriwayatkan dari Ibnu ‘Uyainah, katanya: Aku (Sufyan bin ‘Uyainah) berkata: (Ulama Madinah) yang dimaksud adalah Sa’id bin Al Musayyib, sampai aku katakan bahwa saat itu ada Sulaiman bin Yasar dan Salim bin Abdillah, dan selain mereka. Lalu pada zamanku ini, ulama Madinah tersebut adalah Malik bin Anas, dan tidak ada lagi  yang lainnya yang setara dengannya.

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan: “Pernyataan ini shahih (autentik) dari Sufyan bin ‘Uyainah.” 

Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi, Ibnu Ma’in, Dzu’aib bin ‘Imamah,  Ali bin Al Madini, Az Zubair bin Bakkar, Ishaq bin Abi Israil, bahwa mereka semua mendengar sendiri bahwa Sufyan bin ‘Uyainah menafsirkan yang dimaksud ulama Madinah dalam hadits ini adalah Imam Malik, paling tidak Ibnu ‘Uyainah mengatakan dengan kata: “Aku kira”, “Aku menyangka”, “yang dimaksud” dan “dulu mereka menilainya.”

Sedangkan Abul Mughirah Al Makhzumi mengatakan: bahwa maksud hadits itu adalah Sa’id bin Al Musayyib, lalu guru-gurunya Malik, dan Imam Malik sendiri, lalu murid-muridnya Imam Malik.

Aku (Imam Azd Dzahabi) berkata: “Ulama Madinah setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya adalah Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib, Az Zuhri, ‘Ubaidillah bin Umar, lalu Malik bin Anas.” (Selesai dari Imam Adz Dzahabi, lihat semua dalam Siyar A’lamin Nubala, 7/155)

Sifat-sifat dan Penampilannya

Beliau adalah ulama yang berparas menarik, kulitnya putih, wajahnya merona,  tampan, gagah, senang berpakaian putih,  dan berjenggot tebal.
Dari Adz Dzahabi, bahwa  Isa bin Umar berkata: 

مَا رَأَيْتُ قَطُّ بَيَاضاً، وَلاَ حُمْرَةً أَحْسَنَ مِنْ وَجْهِ مَالِكٍ، وَلاَ أَشَدَّ بَيَاضِ ثَوْبٍ مِنْ مَالِكٍ
“Tidak pernah aku melihat orang yang berkulit putih dan berwajah kemerah-merahan sebagus Malik. Dan tidak pernah aku melihat pakaian yang lebih putih dibanding pakaian Malik.” 

Lalu, Adz Dzahabi bercerita lagi:
وَنَقَلَ غَيْرُ وَاحِدٍ أَنَّهُ كَانَ طُوَالاً، جَسِيْماً، عَظِيْمَ الهَامَةِ، أَشقَرَ، أَبْيَضَ الرَّأسِ وَاللِّحْيَةِ، عَظِيْمَ اللِّحْيَةِ، أَصلَعَ، وَكَانَ لاَ يُحْفِي شَارِبَه، وَيَرَاهُ مُثْلَةً.
Lebih dari satu orang menukilkan, bahwa Beliau adalah seorang yang tinggi fisiknya, blonde, kepala dan jenggotnya putih, jenggotnya lebat, kepalanya botak, dia tidak memendekkan kumisnya, dan menurutnya memendekkan kumis mesti dihukum. (Siyar A’lam An Nubala, 7/163)

Ya, Imam Malik berpendapat mencukur kumis sampai habis bagi laki-laki adalah bid’ah, dan pelakunya harus dihukum. Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahmenyebutkan:
وَقَالَ أَشْهَدُ فِي حَلْقِ الشّارِبِ أَنّهُ بِدْعَةٌ وَأَرَى أَنْ يُوجَعَ ضَرْبًا مَنْ فَعَلَهُ قَالَ مَالِكٌ وَكَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطّابِ إذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ نَفَخَ فَجَعَلَ رِجْلَهُ بِرِدَائِهِ وَهُوَ يَفْتِلُ شَارِبَهُ            
Berkata Malik: ‘Aku bersaksi bahwa mencukur kumis (sampai habis) adalah bid’ah dan aku berpendapat bahwa orang yang melakukanya mesti dipukul,’ Dia melanjutkan, ‘Jika Umar bin al Khaththab sedang dilanda kesulitan suatu masalah, dia naik darah, mengikatkan selendangnya di kaki, dan melinting kumisnya.” (Zaadul Ma’ad, 1/173)

Imam Ibnul Qayyim, menukil dari Ath Thahawi, Beliau berkata, ‘Dalam hal ini (mencukur kumis)  kami tidak dapat satu teks pun dari Imam Asy Syafi’i, sementara dari murid-muridnya seperti Al Muzani dan Ar Rabi’, mereka memotong kumisnya, ini berarti mereka mengambil pelajaran dari Imam Asy Syafi’i.’ Ath Thahawi melanjutkan, ‘Sementara untuk Imam Abu Hanifah, Zufar, Imam Abu Yusuf, dan Imam Muhammad bin Qasim, dalam madzhab mereka mencukur rambut dan kumis (sampai habis) lebih utama dibanding memendekkannya.’ Disebutkan oleh Ibnu Khuwaiz Mindad al Makki dari Imam Asy Syafi’i bahwa dalam hal mencukur kumis, madzhabnya (yakni syafi’i) sama dengan madzhab Imam Abu Hanifah. Itulah pandangan Imam Abu Umar. Sementara Madzhab Imam Ahmad, Utsman berkata, ‘Aku melihat Imam Ahmad memotong kumisnya sangat pendek, dan aku mendengar beliau ditanya tentang memotong kumis, mbeliau menjawab, ‘Dipotong, sebagaimana sabda Rasulullah, Ahfuu asy Syawaarib (potonglah kumis). Hanbal berkata, ‘Ditanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad), anda berpendapat bahwa seorang laki-laki harus memotong kumisnya atau mencukurnya, atau bagaimana memotongnya?’ Dia menjawab, ‘Jika dia memotongnya, tidak mengapa dan jika dia mengambil gunting untuk mencukurnya, juga tidak mengapa.’ Sementara, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Al Mughni berkata, ‘Bebas saja, apakah ia mencukurnya atau sekedar memotongnya, tanpa mencukur.” (Ibid)

Guru-guru dan Murid-muridnya

Beliau mulai menuntut ilmu di usia sepuluh tahun, dan pada usia 21 tahun sudah memiliki majelis dan berfatwa, banyak ulama yang meriwayatkan hadits darinya saat itu. Pada usia masih muda, banyak penuntut ilmu dari berbagai penjuru mendatanginya pada akhir masa khalifah Abu Ja’far Al Manshur, juga setelah masa itu, semakin berjejal manusia mengunjunginya hingga masa Khalifah Harun Ar Rasyid, dan sampai Beliau wafat. (As Siyar, 7/154)

Beliau berguru kepada 900 orang, seperti yang diceritakan Imam An Nawawi berikut ini:
وقال الإمام أبو القاسم عبد الملك بن زيد بن ياسين الدولقى فى كتابه الرسالة المصنفة فى بيان سبل السنة المشرفة: أخذ مالك على تسعمائة شيخ، منهم ثلاثمائة من التابعين، وستمائة من تابيعهم ممن اختاره، وارتضى دينه، وفقهه، وقيامه بحق الرواية وشروطها، وخلصت الثقة به، وترك الرواية عن أهل دين وصلاح لا يعرفون الرواية. وأحوال مالك، رضى الله عنه، ومناقبه كثيرة مشهورة.
Imam Abul Qasim Abdu Malik bin Zaid bin Yasin Ad Daulaqi berkata dalam kitabnya Ar Risalah Al Mushannafah fi Bayani Subulis Sunnah Al Musyarrafah: “Malik mengambil ilmu dari 900 orang guru, 300 dari generasi tabi’in, dan 600 dari generasi tabi’ut tabi’in. Guru yang dipilihnya adalah yang dia ridhai agamanya, ilmu fiqihnya, konsistensinya terhadap syarat-syarat dalam meriwayatkan hadits, mereka bisa dipercaya dalam meriwayatkannya, dan Malik meninggalkan riwayat orang yang punya hutang, dan dia suka memperbaiki riwayat-riwayat yang tidak dikenal. Keadaan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu dan kebaikan-kebaikannya sangat banyak dan terkenal. (Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/93)  

Sebagian gurunya, seperti yang jelaskan Imam An Nawawi:
سمع نافعًا مولى ابن عمر، ومحمد بن المنكدر، وأبا الزبير، والزهرى، وعبد الله بن دينار، وأبا حازم، وخلائق آخرين من التابعين.
Beliau mengambil hadits dari Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, Muhammad bin Al Munkadir, Abu Az Zubair, Az Zuhri, Abdullah bin Dinar, Abu Hazim, dan tabi’in lainnya. (Ibid, 2/89)

Bahkan, nama Beliau masuk dalam salah satu silsilatudz dzahab (rangkaian emas) dalam sanad hadits, yaitu dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar. Jika ada hadits dengan sanad seperti ini, maka inilah sanad terbaik menurut sebagian ulama. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
قال البخارى: أصح الأسانيد مالك، عن نافع، عن ابن عمر. وفى هذه المسألة خلاف، وسبق مرات، فعلى هذا المذهب قال الإمام أبو منصور التميمى: أصحها الشافعى، عن مالك، عن نافع، عن ابن عمر، عن النبى - صلى الله عليه وسلم -.
Berkata Al Bukhari: “Sanad yang paling shahih adalah Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar. Dalam masalah ini terjadi perselisihan pendapat. Penjelasan masalah ini telah  berulang-ulang, bahwa dalam madzhab ini, berkata Imam Abu Manshur At Tamimi: “(Paling shahih adalah) Para sahabat Syafi’i, dari Malik, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Ibid, 2/89)

Imam An Nasa’i mengatakan: “Sahabat-sahabat Naafi’ yang paling kokoh ilmunya adalah Malik, lalu Ayyub, lalu ‘Ubaidullah bin Umar, lalu Umar bin Naafi’, lalu Yahya bin Sa’id, lalu Ibnu  ‘Aun, lalu Shalih bin Kaisan, lalu Musa bin ‘Uqbah, lalu sahabat-sahabatnya pada generasinya. (Ibid, 2/124)  

Sedangkan murid-muridnya dan orang yang pernah mengambil riwayat darinya adalah Abdullah bin Naafi’ Ash Shaayigh, Muhammad bin Maslamah Al Makhzumi,  Al Asham, Abu Mush’ab, Yahya bin Yahya, Az Zuhri, Al Majisyun, Sa’ad bin Abdullah Al Mu’afiri, Asyhab, Ashbagh bin Al Faraj, Muhammad bin Al Qasim, Sahnun, Al Waqar, dan lainnya.  (Selengkapnya Lihat Thabaqat Al Fuqaha, karya Imam Abu Ishaq Asy Syirazi)

Sanjungan Para Ulama Untuknya

Imam An Nawawi  berkata:
وقال الشافعى: إذا جاء الأثر، فمالك النجم. وقال الشافعى أيضًا: لولا مالك وسفيان، يعنى ابن عيينة، لذهب علم الحجاز، وكان مالك إذا شك فى شىء من الحديث تركه كله. وقال أيضًا: مالك معلمى، وعنه أخذنا العلم.

Berkata Asy Syafi’i: “Jika datang sebuah atsar, maka Malik adalah bintangnya.” Beliau juga berkata: “Seandainya bukan karena Malik dan Sufyan (yakni Ibnu ‘Uyainah), maka lenyaplah ilmu di Hijaz, dahulu jika ada sesuatu  yang meragukan dari hadits maka dia tinggalkan semua.” Beliau berkata juga: “Malik adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu.”

Harmalah mengatakan: “Asy Syafi’i tidak pernah mendahulukan seseorang pun di atas  Malik dalam masalah hadits.”

Wahb bin Khalid mengatakan: “Tidak ada di antara Timur dan Barat  seorang laki-laki yang se-amanah Imam Malik terhadap hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”  (Lihat semua dalam Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/76)

Seorang Qari kota Madinah, yakni Ibnu Katsir (bukan Ibnu Katsir pengarang tafsir yang terkenal itu, pen), bercerita kepada Khalaf bin Umar: “Duduklah kamu wahai Khalaf, semalam aku bermimpi seolah ada yang berkata kepadaku, Ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau sedang duduk,  dan manusia berada di sekelilingnya, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, berikanlah perintah kepada kami!” Beliau menjawab: “Aku telah menyimpan harta berharga di bawah mimbar dengan jumlah yang banyak, lalu aku perintahkan Malik untuk membagikannya untuk kalian, maka pergilah kepadanya. Lalu manusia bubar dan mereka satu sama lain saling berkata: “Apa yang kamu lihat dari  perbuatan  Malik?” Sebagian menjawab: “Dia menjalankan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamkepadanya.”  Ketika ini disampaikan kepada Imam Malik, maka Imam Malik berpaling dan menangis, lalu Aku (Khalaf) meninggalkannya dalam keadaan seperti itu (menangis). (Ibid, 2/77, lihat juga As Siyar, 7/159)  

Abdurrahman bin Al Mahdi berkata: “Imamnya manusia pada masanya ada empat; Sufyan Ats Tsauri di Kufah, Malik di Hiiaz, Al Auza’i di Syam, dan Hammad bin Zaid di Bashrah.” (Ibid)

Imam Syafi’i berkata: “Jika disebut nama para ulama, maka Malik adalah bintangnya.” Imam Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Malik adalah ulamanya Hijaz, dan dia adalah hujjah pada zamannya.” (As Siyar, 7/155)

Imam Syafi’i juga berkata: “Tidak ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak benarnya dibanding kitab Al Muwaththa’.” Para ulama mengatakan bahwa ucapan Imam Asy Syafi’i ini ketika sebelum adanya kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebab para ulama telah sepakat keduanya adalah kitab paling shahih. (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/77)

Kehati-hatiannya dan Rasa Hormatnya Terhadap Ilmu dan Hadits
Khalaf bin Umar bercerita, bahwa dia pernah mendengar Imam Malik berkata: “Aku tidak berani berfatwa sebelum bertanya dulu kepada yang lebih berilmu dariku. Apakah engkau melihat aku pantas untuk menjawabnya? Aku bertanya kepada Rabi’ah, kepada Yahya bin Sa’id, mereka memerintahkan aku untuk menjawabnya.” Aku (Khalaf bin Umar) berkata: “Seandainya mereka melarang kamu?” Beliau menjawab: “Aku cegah diriku, tidak selayaknya seseorang mengorbankan dirinya sampai dia bertanya dulu kepada orang yang lebih paham darinya.” (Ibid, 7/159)

Ismail bin Uwais berkata: aku bertanya kepada pamanku, Malik, tentang sebuah masalah, Beliau berkata: “Katakanlah,” lalu dia berwudhu, lalu duduk di atas kasur, dan berkata Laa Haula walaa quwwata illa billah, dan dia tidaklah berfatwa sampai dia mengatakan itu.” (Ibid, 7/161) 

Ini menunjukkan kerendah hatian Imam Malik, sekaligus kehati-hatiannya dalam berfatwa.

Abu Salamah Al Khuza’i berkata:
كان مالك إذا أراد أن يخرج يُحَدِّث توضأ وضوءه للصلاة، ولبس أحسن ثيابه، ومشط لحيته، فقيل له فى ذلك، فقال: أوقر به حديث رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.
Jika Imam Malik hendak keluar dan menyampaikan hadits, maka dia berwudhu seperti wudhunya shalat, memakai pakaian terbaik, dan menyisir jenggotnya, lalu ada yang bertanya tentang apa yang dilakukannya itu. Beliau menjawab: “Beginilah aku memuliakan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/76)

Habib Al Waraq  bertanya kepada Imam Malik tentang tiga orang laki-laki yang mana Imam Malik tidak mau meriwayatkan hadits darinya, Imam Malik menjawab:
يا حبيب، أدركت هذا المسجد وفيه سبعون شيخًا ممن أدرك أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، وروى عن التابعين، ولم نحمل الحديث إلا عن أهله
Wahai Habib, aku jumpai di masjid ini 70 orang syaikh yang pernah berjumpa dengan para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan meriwayatkan hadits dari tabi’in, tetapi kami tidaklah mengambil hadits kecuali dari yang memang ahlinya. (Ibid, 2/91)

Bisyr bin Umar Az Zahrani bertanya kepada Imam Malik tentang seorang laki-laki, Beliau menjawab: “Apakah kau lihat orang itu dalam kitabku?” Aku jawab: “Tidak”. Beliau berkata: “Seandainya dia tsiqah (bisa dipercaya) pastilah kau akan melihatnya ada dalam kitabku.”

Ali bin Al Madini berkata: “Tidaklah aku ketahui bahwa jika ada orang yang ditinggalkan haditsnya  oleh Malik, melainkan orang itu pasti haditsnya bermasalah.” (Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 10/6-7) 

Di Antara Perkataan  dan Nasihat emasnya
Ibnu Wahb berkata, aku mendengar Malik berkata: “Aku tahu, bahwa kerusakan besar akan terjadi ketika manusia selalu membicarakan  apa-apa yang didengarnya.”

Mutharrif bin Abdullah berkata, berkata Malik kepadaku: “Apa yang dibicarakan manusia tentang aku?” Aku menjawab: “Bagi yang jujur mereka memuji, ada pun   yang memusuhi itu sudah pasti terjadi.” Beliau menjawab: “Begitulah manusia, dan selalu begitu. Kami berlindung kepada Allah dari  mengikuti omongan semua manusia.” (Ibid, 7/161)   

Dari Ma’an dan lainnya, bahwa Malik berkata: “Jangan kalian ambil ilmu dari empat manusia: 1. Orang bodoh yang mempertontonkan kebodohannya, walau manusia meriwayatkan darinya. 2. Pelaku bid’ah yang menyeru kepada hawa nafsunya. 3. Orang yang suka berbohong ketika berbicara dengan manusia, walau aku tidak menuduhnya berbohong dalam hadits. 4. Orang shalih, ahli ibadah dan punya keutamaan, tetapi tidak mau menghafal hadits.” (Ibid, 7/162)
Berkata Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu:
من ابتدع فى الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلمخان الرسالة ، لأن اللّه قال {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا} المائدة : 3

“Barangsiapa yang berbuar bid’ah dalam Islam, dan dia memandangnya itu hasanah (baik), maka dia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtelah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan dan aku sempurnakan nikmaku atas kamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.”  (Fatawa Al Azhar, 10/177)
Beliau juga berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه  

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar, maka lihatlah pendapatku, apa-apa yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai maka tinggalkanlah. (Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 27/120)

Sikap Keras Imam Malik terhadap golongan sesat
Ibnu Wahb bercerita, kami sedang bersama Malik, lalu datang seorang laki-laki kepadanya dan bertanya tentang firman Allah: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)

Laki-laki itu bertanya tentang “bagaimana” cara Allah bersemayam? Lalu Imam Malik terdiam, keringatnya bercucuran, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata:  (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5), ayat ini sebagaimana yang Allah sifatkan tentang dirinya, jangan tanyakan “bagaimana caranya”. Tentang bagaimananya itu tidak bisa dirasiokan, dan kamu adalah laki-laki yang buruk, pelaku bid’ah, dan keluarkan dia!”

Dalam riwayat lain Ja’far bin Abdullah,  Imam Malik menjawab: “Bagaimana cara bersemayam tidak bisa dinalar, bersemayam sendiri telah diketahui,  mengimaninya wajib, menanyakannya adalah bid’ah, dan aku menilai kau adalah pelaku bid’ah.” Maka Imam Malik memerintahkannya untuk keluar.

Dalam riwayat Salamah bin Syabib, Imam Malik berkata: “Aku khawatir kamu ini tersesat.” (As Siyar, 7/181)

Sa’id bin Abdul Jabbar berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Mereka wajib diperintah untuk bertaubat, jika tidak mau bertaubat, maka bunuhlah mereka.” Mereka adalah golongan qadariyah. (Ibid)

Imam Asy Syafi’i bercerita: “Jika pengikut hawa nafsu datang kepada Malik, maka dia berkata: “Ada pun aku di atas bukti yang kuat tentang agamaku, dan kamu di atas keragu-keraguan, maka pergilah kamu kepada orang-orang seperti kamu,” Beliau memarahi mereka. (Ibid, 7/180)

Sikap Imam Malik terhadap Syiah Rafidhah juga sangat keras, Beliau mengkafirkannya, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Katsir berikut ini, ketika membahas tafsir surat Al Fath ayat 29:
ومن هذه الآية انتزع الإمام مالك -رحمه الله، في رواية عنه-بتكفير الروافض الذين يبغضون الصحابة، قال: لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر لهذه الآية. ووافقه طائفة من العلماء على ذلك.

Dari ayat ini, Imam Malik Rahimahullah  memutuskan –dalam sebuah riwayat darinya- tentang kafirnya golongan rafidhah, yaitu orang-orang yang marah terhadap sahabat nabi. Beliau berkata: “Karena mereka murka terhadap sahabat nabi, dan barang siapa yang marah terhadap sahabat nabi maka dia kafir menurut ayat ini.” Segolongan ulama sepakat atas fatwanya ini. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 7/362)

Beliau juga berkata tentang Rafidhah –qabbahahumullah fid dunya wal akhirah:

اَلَّذِيْ يَشْتُمُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَهُمْ سَهْمٌ أَوْ قَالَ نَصِيْبٌ فِيْ الْإِسْلاَمِ
Orang yang mencaci maki para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka sama sekali tidak memiliki saham dalam Islam, atau sama sekali tidak memiliki bagian dalam Islam. (Imam Abu Bakar Al Khalal, As Sunnah, 1/493)

Kitab Al Muwaththa
Inilah kitab hadits pertama dalam bentuk susunan yang begitu rapi, disusun oleh Imam Malik selama empat puluh tahun lamanya. Beliau senantiasa mengkoreksinya setiap empat puluh hari sekali, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Abdul Wahid.

Penamaan kitab ini dengan Al Muwaththa’, karena Imam Malik telah mengkonsultasikan riwayat yang ada di dalamnya kepada 70  ulama fiqih di Madinah, dan mereka menyetujuinya (watha’a), sejak itulah dinamakan Al Muwaththa.’ Sebenarnya, selain Imam Malik juga ada ulama lain yang menyusun kitab dengan judul Al Muwaththa’, seperti Al Muwaththa karya Ibnu Abi Dzi’b, Al Muwaththa karya Ibnul Majisyun, dan lainnya.

Para sejarawan berbeda tentang sebab awalnya kenapa Imam Malik menyusun kitab Al Muwaththa’, ada yang berpendapat atas permintaan khalifah Al Mahdi bin Al Manshur, ada juga yang menyebut sebagai arahan dari khalifah Ja’far bin Al Manshur, ada yang juga menyebut ini merupakan inisiatif dirinya sendiri setelah melihat kitabnya Ibnul Majisyun. (Muqadimah Al Muwaththa’, 1/74-77. Tahqiq: Syaikh Muhammad Mushthafa Al A’zhami)

Para ulama memuji kitab ini, di antaranya:
قال الشافعي: «ما في الأرض بعد كتاب الله أكثر صواباً من موطأ مالك بن أنس».
ومن المعلوم، كان هذا قبل تأليف صحيح البخاري. وقال ابن مهدي: «ما كتاب بعد كتاب الله أنفع للناس من الموطأ».
Asy Syafi’i berkata: “Tidak ada di muka bumi ini, kitab yang lebih banyak benarnya dibanding Muwaththa’nya Malik bin Anas.” Telah diketahui bahwa ucapan ini ada sebelum disusunnya Shahih Al Bukhari.
Ibnul Mahdi mengatakan: “Tidak ada kitab, setelah Al Quran, yang lebih bermanfaat dibanding kitab Al Muwaththa’.” (Ibid, 1/121)

Siksaan Yang Pernah Menimpanya
Dalam pembahasan pasal Al Mihnah (ujian), Imam Adz Dzahabi meriwayatkan dari Muhamamd bin Jarir, katanya: “Imam Malik pernah disiksa dengan cambuk dengan rotan, hanya saja mereka berselisih apa sebabnya.” Berkata kepadaku Al Abbas bin Al Walid, berkata kepadaku Ibnu Dzakwan, dari Ath Thathari, katanya: bahwa Abu Ja’far melarang Malik menyampaikan hadits: “Talak orang yang dipaksa tidaklah sah.”

Lalu, orang yang bertanya tentang hadits itu menambah-nambahkannya, lalu menyebarkannya kepada kamusia, akhirnya Malik dicambuk dengan rotan. (As Siyar, 7/169)

Jadi, ada orang yang berkhianat dan tidak amanah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Malik, dengan menambah-nambahkan bunyi hadits tersebut. Khalifah menyangka itu perbuatan Imam Malik, lalu dia mencabuknya.

Sedangkan dalam versi lain, menyebutkan bahwa penguasa tidak setuju dengan kandungan yang ada dalam hadits tersebut, bahwa hadits tersebut menyatakan tidak sahnya cerai orang yang terpaksa, sedangkan khalifah tidak setuju, akhirnya Imam Malik dicambuk karena meriwayatkan hadits tersebut. Hal ini diceritakan oleh Imam Ahmad bin Hambal. (Ibid)

Sementara Ibnu Sa’id dan Al Waqidi memiliki versi lain, bahwa ada orang-orang yang dengki terhadap Imam Malik, akhirnya menghasut khalifah Ja’far dengan menyampaikan hadits tersebut, dan khalifah tidak menyukainya. Maka khalifah memanggil Imam Malik dan berdebat, lalu Imam Malik dihukum dengan cara ditelentangkan dan dicambuk. Justru peristiwa ini membuat nama Imam Malik semakin melambung. (Ibid, 1/170)
Imam Adz Dzahabi memuji Imam Malik dengan mengatakan:
هذا ثمرة المحنة المحمودة أنها ترفع العبد عند المؤمنين، وبكل حال فهي بما كسبت أيدينا، ويعفو الله عن كثير، ومن يرد الله به خيراً يصيب منه»

Ini adalah buah dari ujian yang terpuji, bahwa  ujian itu akan mengangkat derajat seorang hamba di hadapan orang-orang beriman, dan akibat dari apa-apa yang diusahakannya, dan Allah maafkan dari banyak hal.  Barang siapa yang dikehendaki kebaikan maka Allah akan mengujinya dengan musibah.  (Ibid)

Wafatnya
Al Qa’nabi mengatakan: “Mereka mengatakan Malik wafat pada usia 89 tahun, yaitu pada tahun 179H.” (Ibid, 7/200).

Hanya saja para sejarawan berbeda pendapat tentang tanggal pasti wafatnya, ada yang mengatakan pagi hari 14 Rabi’ul Awwal, 179H, seperti dikatakan Ismail bin Abi Uwais. Sementara Mush’ab dan Ma’an bin ‘Isa mengatakan bulan Shafar.  Abu Mush’ab Az Zuhri mengatakan 10 Rabi’ul Awwal. Muhammad bin Sahnun mengatakan 11 Rabi’ul Awwal. Ibnu Wahhab mengatakan 13 Rabi’ul Awwal

Sedangkan Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa yang benar adalah Rabi’ul Awwal, hari Ahad, setelah 22 hari dia sakit. (Ibid)

Beliau wafat karena sakit dan dalam keadaan husnul khatimah, dengan mengucapkan syahadat di akhir hayatnya lalu membaca Al Quran. Ismail bin Abi Uwais mengatakan: “Imam Malik wafat karena sakit, aku tanya sebagian keluargaku apa yang dibaca oleh Malik menjelang wafatnya. Mereka menjawab, Beliau bersyahadat, lalu membaca ayat:   Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).”  (QS. Ar Ruum: 4). (Ibid)

Demikian biografi singkat pribadi mulia, ulama besar, imamnya para imam, Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu.

Wallahu A’lam 

Ustadz Farid Nu’man Hasan

[1] Di antaranya, Imam Abul Hasan Ali bin Al Qaththan Al Fasi, Beliau mengatakan, “Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Abu Az Zubeir, semuanya adalah mudallis (orang yang melakukan keterangan tidak jelas pada sanad dan/atau matan).” (Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 1865)
Hadits ini diriwayatkan secara ‘an’anah (yakni ‘an fulan – dari fulan), menunjukkan keterputusan sanadnya. Hadits yang diriwayatkan secara ‘an’anah bisa saja shahih jika para perawinya bukan mudallis, tapi nyatanya hadits ini diriwayatkan tiga orang para mudallis (perbuatannya disebut tadlis).

Imam Ad Daruquthni menyebut Ibnu Juraij sebagai seburuk-buruknya pelaku tadlis. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Thabaqat Al Mudallisin, No. 83)

Imam Ibnu Hajar menyebut bahwa Abu Az Zubeir terkenal sebagai pelaku tadlis, dan Imam An Nasai juga lainnya menyatakan demikian. (Ibid, No. 101)

Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, dan dia  mengomentari penshahihan Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi, katanya:

قلت : وهو كما قالا ؛ لولا عنعنة ابن جريج وأبي الزبير ؛ فإنهما مدلسان ، لا سيما الأول منهما ؛ فإنه سيىء التدليس كما هو مشروح في ترجمته
Aku (Syaikh Al Albani) berkata: “Hadits ini seperti yang dikatakan oleh mereka berdua (shahih) seandainya tidak dilakukan secara ‘an’anah oleh Ibnu Juraij dan Abu Az Zubeir, karena keduanya adalah mudallis, apalagi yang pertama (Ibnu Juraij), dia adalah orang yang buruk tadlisnya, sebagaimana dijelaskan dalam biografinya.” (As Silsilah Adh Dhaifah No. 4833)

Syaikh Ali Hasyisy memberikan penjelasan yang cukup bagus, katanya:

قلت: هذا الحديث غريب غرابة مطلقة؛ فلم يرو هذا الحديث إلا أبو هريرة، ولم يروه عن أبي هريرة إلا أبو صالح، ولم يروه عن أبي صالح إلا أبو الزبير، ولم يروه عن أبي الزبير إلا ابن جريج تفرد به ابن عيينة. ولم يخرج البخاري ولا مسلم من هذا الطريق حديثا واحدا، بل وأصحاب السنن لم يخرج أحد منهم من هذا الطريق إلا الترمذي والنسائي هذا الحديث فقط

Aku berkata: Hadits ini gharib(menyendiri) dengan keghariban yang mutlak. Hadits ini tidak pernah diriwayatkan kecuali oleh Abu Hurairah saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah kecuali Abu Shalih saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Shalih kecuali Abu Az Zubeir saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Az Zubeir kecuali Ibnu Juraij saja, dan Ibnu ‘Uyainah meriwayatkan secara menyendiri darinya.

Hadits ini tidak pernah diriwayatkan oleh Al Bukhari, tidak pula oleh Muslim, dari jalan hadits seperti ini walau pun satu saja, bahkan para penyusun kitab Sunan tidak ada yang meriwayatkan jalur seperti ini kecuali At Tirmidzi dan An Nasa’i pada hadits ini saja. (Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 93)

Syaikh Ali Hasyisy menyebutkan dua ‘ilat (cacat) pada hadits ini yakni Ibnu Juraij dan Abu Az Zubeir. Lalu Beliau menyimpulkan:
وبهذا يكون الحديث غير صحيح، والسند واه لما فيه من تدليس شديد ومركب
               
Dengan ini, hadits ini menjadi tidak shahih, dan sanadnya lemah, karena di dalamnya terdapat tadlisyang berat dan bertumpuk-tumpuk. (Ibid, Hal. 94). Dengan dua cacat ini pula yang membuat Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 13/358). Demikianlah status hadits ini menurut keterangan para ulama. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar