Tanggapan atas Khilafah & Demokrasi
Tulisan DR. Adian Husaini yang berjudul “Khilafah & Demokrasi” sangat menarik untuk disimak.
Sekilas Ana lihat di media sosial, tulisan beliau sering diloper oleh mitra-mitra dakwah sebagai tameng untuk menangkis serangan terhadap demokrasi.
Juga dijadikan senjata memperlemah pandangan bahwa khilafah dengan sistem Islam-nya sebagai solusi bagi persoalan kekinian.
Nah, untuk memperkaya khazanah diskusi tentang demokrasi & khilafah, izinkan Ana yang dhaif ini urun pemikiran.
Ana ingin membuat tanggapan atas tulisan DR. Adian Husaini paragraf demi paragraf mengikuti poin-poin di tulisan beliau.
# Apakah sistem khilafah & demokrasi dapat dibenturkan?
Tergantung. Bila kita bicara aspek kedaulatan (hak membuat hukum) maka demokrasi & khilafah jelas berbeda secara diametral.
Benturannya menjadi sebuah keniscayaan. Komprominya merupakan kemustahilan.
Khilafah menempatkan kedaulatan pada syara’ sementara demokrasi menempatkan kedaulatan pada manusia.
Namun, ketika kita membahas aspek kekuasaan maka keduanya memiliki kemiripan yaitu menempatkan kekuasaan berada di tangan manusia. Ini berbeda dengan teokrasi yang menempatkan Tuhan sebagai penentu kekuasaan seseorang.
Harus diakui di dalam sistem demokrasi ada azas kebebasan berpendapat sehingga harus dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan dakwah. Termasuk di dalamnya dakwah untuk menolak sistem demokrasi yang menempatkan manusia sebagai pembuat hukum.
Oleh sebab itu semua organisasi Islam umumnya dapat lebih leluasa melancarkan dakwahnya di negara-negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, Inggris, AS, kecuali di beberapa negara demokratis di Eropa.
Tentu saja bukan dalam rangka menikmati demokrasi, tapi lebih didorong faktor keimanan yang ingin memaksimalkan dakwah di setiap kesempatan.
Jangankan di negara demokratis, di negara otoriter saja dakwah harus dimaksimalkan.
Apakah keleluasaan berdakwah di banyak negara demokrasi dapat dijadikan alasan untuk menerima sistem demokrasi?
Penyimpulan seperti ini menurut Ana terlalu tergesa-gesa. Demokrasi harus dikaji secara kritis berdasarkan dalil syara’, bukan berdasarkan kepentingan sempit kekuasaan. Alhamdulillah, banyak kajian terkait ini oleh para ulama & menghasilkan kesimpulan yang sama.
Senada dengan tulisan DR. Adian Husaini, cacat pada demokrasi terletak pada aspek “kedaulatan hukum”.
Kerusakan dasar dari demokrasi pada hak membuat hukum di tangan manusia, sementara di dalam Islam tidak ada pilihan selain hak membuat hukum berada di tangan syara’.
Kritik terhadap sistem demokrasi ini banyak dilontarkan oleh para ulama seperti Syaikh Abdul Qadim Zallum, Syaikh Ali Belhaj, Syaikh Abul A’la al-Maududi, Syaikh Said Hawwa & lain-lain.
Bila demokrasi rusak dari dasarnya lantas apakah kita boleh meng-Islamkan demokrasi?
Bagi kalangan tertentu demokrasi bisa diterima sebagian & ditolak sebagian yang lain. Sehingga, demokrasi, menurut mereka, menyimpan harapan untuk kebangkitan Islam.
Namun, yang lain memiliki pandangan berbeda. Menurut mereka, kenyataan menunjukkan bahwa umat Islam sudah berkali-kali tertipu dengan demokrasi.
Pengkhianatan atas kemenangan Front Islamic du Salut (FIS) di Aljazair atau Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir dalam kancah demokrasi sudah cukup menjadi pelajaran bahwa demokrasi tidak bisa diharapkan untuk kebangkitan Islam.
Disamping itu, kelompok penentang demokrasi ini teguh memegang prinsip bahwa Islam jauh lebih sempurna.
Bagi mereka bila kita telah memiliki Islam kenapa pula harus melirik demokrasi yang jelas rusak akarnya dan rusak pula implementasinya?
Bila Islam adalah konsep terbaik & sempurna maka kenapa pula kita berusaha meng-Islam-kan sesuatu yang bukan produk Islam?
Adapun perdebatan apakah istilah demokrasi dapat di-Islamkan atau tidak, maka tentu saja masing-masing memiliki dasar argumentasi yang berbeda.
DR. Adian Huseini mengatakan kenajisan istilah “demokrasi” bukan “ lidzatihi”, tetapi “lighairihi ”, karena itu menurutnya masih bisa “disamak”.
Alasannya kita telah menggunakan berbagai istilah asing yang sudah diislamkan maknanya, seperti “agama”, “dosa”, “sorga”, “neraka”, “pahala” & lain-lain.
Terus terang penjelasan DR. Adian Husaini terkait ini terlalu singkat. Tidak jelas pemaparan tentang mana yang dimaksud “ lidzatihi ” & mana yang “ lighairihi”.
Namun demikian, Ana cenderung tidak sepakat dengan usaha peng-Islam-an istilah demokrasi. Usaha peng-Islam-an istilah demokrasi akan menambah kekaburan pemahaman umat tentang sistem Islam itu sendiri. Umat akan mudah terjebak pada pemahaman bahwa sistem yang ada sekarang sudah Islami.
Padahal, kerusakan sistem demokrasi sudah menyeluruh dari akar sampai implementasinya.
Bagaimana mungkin kita meng-Islam-kan sesuatu yang rusak akarnya & rusak pula bangunannya?
Bagaimana mungkin kita meng-Islam-kan sesuatu yang lahir bukan dari rahim Islam?
Disamping itu, asumsi sistem sekarang sudah Islami membuat umat merasa sudah paham tentang sistem Islam, padahal mereka belum mempelajarinya secara serius & mendetil.
Adapun sistem khilafah harus dipahamkan kepada umat agar mereka dapat melihat bahwa sistem ini adalah sistem politik yang unik & khas.
Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam & telah dipraktekkan oleh para sahabat serta kaum muslimin selama lebih dari 13 abad.
Tidak hanya itu, khilafah dengan sistem Islam kaffah-nya juga harus dipahamkan sebagai solusi bagi persoalan umat. Bila kita menolak premis bahwa Islam kaffah (dalam naungan khilafah) sebagai solusi atas persoalan umat, lalu sistem selain Islam apakah yang diyakini sebagai solusi?
Bukankah kenyataan menunjukkan bahwa nasib umat Islam terpuruk justru terjadi tanpa khilafah?
Begitu juga kejayaan umat Islam mencapai puncaknya terjadi pada masa khilafah?
Adapun praktek menyimpang pada masa kekhilafahan tidak serta merta menjadi alasan untuk berpindah haluan mencari solusi pada demokrasi.
Analoginya, bila shalat kita tidak khusyu’ di masjid, maka bukan berarti menjadi kebolehan kita beribadah di gereja, bukan?
Praktek menyimpang pada sejarah Islam seharusnya dijadikan bahan kajian kritis untuk penyempurnaan prakteknya di masa depan. Bila kita tidak serius mengkajinya maka kita akan mudah terjebak pada asumsi yang salah tentang khilafah.
Misalnya, kita beranggapan bahwa otoritas yang sangat besar pada seorang khalifah berakibat akuntabilitas pemerintahan menjadi lebih buruk dibandingkan sistem demokrasi.
Padahal, dengan otoritas yang besar diimbangi dengan ketakwaan rakyat yang tinggi membuat akuntabilitas pemerintahan pada sistem khilafah menjadi jauh lebih sempurna. Bahkan bila dibandingkan dengan sistem demokrasi sekalipun.
Ada lapis-lapis penjagaan akuntabilitas negara dalam sistem khilafah. Dari anjuran untuk melakukan muhasabah secara fardiah kepada penyimpangan penguasa, kontrol yang dilakukan oleh partai atau organisasi, keberadaan majelis ummat sampai adanya institusi qadhi mazhalim.
Bila kita mengkaji secara detil tentang khilafah maka kita mudah sekali memahami “Islam is the best system”.
Sayangnya sistem Islam mudah dipahami & dirasakan sampai ke sumsumnya hanya oleh kawan-kawan yang mengkaji sistem khilafah secara serius.
Membaca & mendalami penjelasannya paragraf demi paragraf pada kitab-kitab tentang struktur khilafah beserta sistem-sistemnya.
Ada poin yang Ana sepakat dari tulisan DR. Adian Husaini, yaitu tentang pentingnya menyiapkan orang-orang yang akan memimpin umat Islam. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam & itu pula yang harusnya dilakukan oleh gerakan Islam hari ini secara serius.
Namun, pentingnya tentang hal ini tidak berarti men-discourage dakwah yang mengajak umat mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya khilafah.
Bila Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam tidak pernah mengajak umat Islam untuk mendirikan negara Islam tidak berarti menyeru umat menegakkan khilafah menjadi salah.
Pertanyaannya nanti bisa dibalik, apakah Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam pernah menyeru meng-Islam-kan demokrasi?
Pernahkah Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam membolehkan umat berjuang dalam sistem demokrasi?
Memang Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam tidak pernah mengatakan, “Mari kita dirikan negara, agar kita jaya!” Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam tidak pernah mengatakan, “Mari kita Islam-kan demokrasi. Memperjuangkan demokrasi akan membuat umat jaya”.
Sependek yang Ana tahu, istilah daulah (negara) tidak dikenal di masa Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam. Ini adalah makna serapan yang datang belakangan ke dunia Arab.
Sehingga menjadi wajar kita tidak menemukan teks hadits yang berbunyi, “Mari kita tegakkan daulah Islam”.
Yang jelas keberadaan negara berbentuk khilafah ini memiliki dasar Al-Qur’an, Sunnah & Ijma sahabat.
Terkait kewajiban khilafah banyak dibahas di dalam kitab-kitab ulama terdahulu.
Terkait istilah demokrasi yang sudah dikenal sejak abad ke 5 SM di Athena Yunani tidak pernah disebut-sebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam & para sahabat.
Begitu juga Islamisasi sistem demokrasi tidak pernah dibahas sedikitpun oleh kitab-kitab para ulama terdahulu.
Demokrasi lahir dari rahim tanpa agama, maka wajar kita tidak akan pernah menemukan dasar Qur’an, Sunnah & Ijma sahabat untuknya.
Bila khilafah dengan sistem Islam jelas pijakannya, lalu kenapa kita lebih memilih demokrasi yang tidak memiliki pijakan syar’i sama sekali?
Terkait nasehat DR. Adian Husaini tentang bersikap adil dalam semangat mendirikan khilafah sangat penting untuk direnungkan & diresapi.
Ana sangat setuju bahwa orang-orang yang rajin melafalkan kata khilafah & rajin turun ke jalan menyuarakannya tidak otomatis lebih baik & mulia daripada para dai yang berjuang di medan yang lain.
Yang jelas, semua pengemban dakwah apapun medannya musti berusaha menyempurnakan keberIslamannya. Bukan untuk gagah-gagahan, tapi karena ingin menjadi hamba Allah Subhanah yang baik.
Ana juga sepakat dengan pandangan DR. Adian Husaini tentang luasnya dimensi perjuangan Islam.
Memang benar semua yang menginginkan tegaknya sistem Islam perlu membangun sinergi.
Supaya apa?
Agar peradaban super Islam segera lahir di pentas dunia karena pertolongan Allah Subhanah.
Peradaban Islam masa depan bukanlah peradaban yang dibangun sendirian oleh HTI, PKS, DDII, MIUMI, NU, Muhammadiyah, INSISTS & Organisasi lain-lain.
Peradaban Islam adalah peradaban umat secara keseluruhan tidak memandang mazhab & organisasi.
Khilafah yang akan berdiri bukan khilafah kelompok tertentu tapi khilafah kaum muslmin, bahkan khilafah untuk semua manusia.
Oleh karena itu, penting para aktivitis dakwah untuk berusaha memperkuat sinergi. Membangun komunikasi yang lebih baik. Memperkuat keikhlasan berjuang karena Allah Subhanah bukan berjuang untuk kelompok.
Semoga Allah Subhanah memberi kemenangan pada umat Islam dengan kembalinya peradaban Islam dalam pentas kehidupan.
Wallahu a’lam bish-shawab .