“katakanlah :Ini adalah jalanku, aku berdakwah ke jalan Allah dengan bashirah (ilmu dan hikmah) aku dan juga orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah dan aku bukanlah orang-orang musyrik.” (Q.S. Yusuf : 108)
“Bagaimana kalau kita namakan Laskar Limosin?,” tawarku kepada yang lain.
Alasanku menamai dengan Laskar Limosin karena jadwal kumpul rutinan Kami setiap pekannya selalu setiap malam Sabtu. Dan itu ada di kata ‘MOS’. Moalem Sabtu. Hehe.
“Lho, LI sama IN nya berarti apa Akh?,” tanya akh Khayat penasaran.
“Nah… LI itu Liqo’. Kalau IN itu Insya Allah…,” jawabku seakan mengajari mereka suatu ilmu baru.
“Setuju kang!,” teriak Akh Zaki mengagetkan Kami semua.
“Lantas siapa nih, komandan Laskar Limosin?. Kan Akh Zainudin Syam sudah tidak bisa bersua dengan kita lagi ikhwah. Beliau sudah menapak di kota Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga kepemimpinan harus segera diganti. Juga biar Ana bisa dengan mudah berkomunikasi dengan Antum semua,” kata Ustadz Ujang Murobbi Kami.
Kami saling berpandang satu sama lain dan saling melirik.
“Kamu saja, Akh Zaki. Kamu kan, ketua Komunitas Ma’tsurat,” Akh Ibnu angkat bicara menawarkan calonnya.
“Enak saja!, jangan atu mah,” tolak Akh Zaki sambil menjawil Akh Ibnu.
“Syarat utama jadi ketua itu yang paling tua, usul Ana mah mending Akh Khayat saja kang!,” lanjut Akh Zaki berorasi.
“Ehhh… jangan Ana lah. Mending Akh Muhammad saja. Dia kan paling ganteng di antara Kita,” Akh Khayat menggoda seraya menunjuk rambut Akh Muhammad yang mirip Cristiano Ronaldo.
“Hahaha… memang Ane ganteng ya?,” Akh Muhammad cengar-cengir gede rasa.
Ustadz Ujang menghela napas sejenak dan coba memberikan usul.
“Ya sudah, mending kalian hompimpah saja sekarang!.”
Aku, Akh Zaki, Akh Ibnu, Akh Khayat dan Akh Muhammad pun bersepakat hompimpah untuk menetukan siapa komandan Laskar Limosin.
Kami adalah mahasiswa LIPIA Jakarta. Sebuah kampus elit yang berlokasi di depan mall besar Pejaten Village Jakarta Selatan. LIPIA merupakan satu-satunya kampus di Indonesia yang memberikan fasilitas ‘mencari ilmu’ gratis bagi putra/tri yang berkesempatan lolos tes di Indonesia. Dari kampus ini pula lah, Aku memilih untuk bergabung dengan perkumpulan atau liqo’ ini sebagai upaya untuk membangun karakter, persaudaraan dan motivasi belajar di LIPIA.
Aku pribadi sangat antusias sekali saat mendapat tawaran untuk bergabung dengan perkumpulan seperti ini. Selain ilmu syar’i yang Aku dapat, Aku juga bisa menambah pengetahuan yang tak ku dapat di ruangan kelas. Juga selain hidup di Ibu kota yang menuntutku untuk tetap berada di koridor islam sebagaimana yang diajarkan oleh kampusku. Pun, tak sedikit juga mahasiswa/wi lain tak tertarik dengan perkumpulan seperti ini, sehingga ketika sebuah dakwah diperlukan di tengah masyarakat Jakarta, mereka sangat kurang dengan yang namanya bekal atau materi. Padahal, dengan ikut perkumpulan seperti ini, Aku bisa mendapatkan hal itu sekaligus. Hebat bukan!?.
Banyak faktor memang yang menjadi kendala bagi mahasiswa/wi di kampus untuk bergabung dan ikut dengan perkumpulan seperti Kami. Salah satunya adalah kurangnya motivasi untuk dakwah di tengah masyarakat. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa perkumpulan seperti Kami hanyalah akan mengurangi intesitas belajar mereka. Padahal, sama sekali tidak!. Karena jelas sekali, pertemuan hanya diadakan seminggu sekali.
“Percuma Akhi, kalau ujung-ujungnya harus menambah jadwal harian khusus lagi selama sepekan. Lagian juga, pelajaran di kampus sudah cukup bagi kita,” ujar salah seorang mahasiwa ketika Aku bertanya soal perkumpulan seperti Kami.
Hompimpah selesai dan terpilihlah Akh Khayat sebagai komandan Laskar Limosin.
***
Pekan perdana Kami diisi dengan bermain futsal di Kebagusan jam delapan pagi. Ya, salah satu tempat futsal favorit mahasiswa kampus LIPIA. termasuk Kami. Bertujuan untuk pengakraban dan menguatkan fisik saja, mengingat futsal merupakan olahraga popular yang digemari anak muda saat ini. Kami berlima bertanding melawan penyewa futsal lain yang kebetulan mau dan sedang ada di satu lokasi. Ustadz Ujang hanya menyoraki Kami dari luar lapangan saja.
Awalnya Kami saling tunjuk siapa yang menjadi kiper. Karena tidak ada yang mau, akhirnya Kami putuskan hompimpah. Dan, jadilah Akh Muhammad yang terpilih. Laki-laki terganteng dengan potongan rambut ala Cristiano Ronaldo, setidaknya bagi Akh Zaki. Ternyata cukup cekatan juga dalam menghalau datangnya bola.
“Masya Allah… sejak kapan Cristiano Ronaldo jadi kiper?,” Akh Khayat menggoda.
Di lain pihak, lawan Kami tidak mau kalah hebat dalam urusan bertahan. Mereka juga punya penjaga gawang yang bagus. Setidaknya ada lima peluang emas yang berhasil Kami ciptakan, mereka mentahkan dengan mudah. Dua melalui sepakan Akh Zaki dan Akh Khayat, serta sebuah sundulanku, berhasil ditepisnya dengan baik.
“Wan, oper jauuuh.. Wan!,” teriak salah seorang pemain lawan, berdiri bebas di area pertahanan Kami.
Kemudian dia menyambut bola dari laki-laki bernama Wan yang kukenal dari sahutan mereka dengan dadanya.
Seorang lagi berkaos Persebaya bernomer 99 menggiring bola melewati celah di antara dua kaki Akh Ibnu. Lewat. Lalu dia bersiap mengambil ancang-ancang, tekadnya menjebol gawang Akh Muhammad dan…
Gol!gol!gol!
Jarum jam menunjuk pukul sepuluh lebih lima menit. Semakin tinggi matahari, sinarnya semakin menyengat. Kami sepakat menyudahi permainan dengan kekalahan bagi Laskar Limosin. Satu kosong.
“Kekalahan bisa berarti keberhasilan yang tertunda, ikhwah,” hibur Ustadz Ujang bak pelatih bola yang menasehati para pemainnya.
Kami istirahat sembari minum es sisri yang sengaja telah dipesan oleh Ustadz Ujang untuk Kami. Sekedar pelepas dahaga.
“Akh Muhammad, minumnya pakai tangan kanan atuh!,” Akh Zaki mengingatkan.
“Eh, iya iya map lupa,” Akh Muhammad menepuk jidat, konyol.
“Haduhhh… Akh Muhammad ini bagaimana,” timpal Ustadz Ujang dan komandan Laskar Limosin berbarengan.
Banyak sekali hal-hal kecil yang memang mesti diingatkan. Bahkan tak elak, Akupun sering melakukan hal yang lumrah itu jika sedang kehausan. Perkara kebaikan sederhana memang perlu dibumikan kembali. Hal-hal sedehana saja, seperti buang sampah makanan pada tempatnya, saling bertegur sapa, berlaku jujur dan masih banyak lagi.
“Eh kang, bohong untuk kebaikan gimana menurut kalian?. Boleh ya?!,” Tanya Akh Ibnu memecah sunyi Kami menikmati es sisri.
“Kenapa memangnya Akh?.”
“Tuh… Akh Khayat tadi bohong sama temen kosannya, katanya mau belajar bareng, ehh.. ternyata malah main futsal,” Akh Ibnu mencoba menjelaskan.
Ku lihat Ustadz Ujang sudah bersiap untuk menjawab. Beliau menghela napas barang sejenak.
“Nah, ikhwah… kata Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam ada dua hal yang akan banyak menjerumuskan anak Adam ke dalam neraka. Mulut dan kemaluan mereka. Dari mulut bisa keluar kata-kata bohong, menghina, memfitnah, menggunjing dan lain sebagainya. Begitu juga dengan kemaluan. Akh Khayat tidak perlu ragu, bilang saja kita sedang belajar. Kita belajar bekerja sama, melatih kekompakan Laskar Limosin melalui permainan. Saling memahami satu sama lain lewat olahraga futsal. Ok?.”
“Wuiihh, kamu dengar itu baik-baik,” kataku mengingatkan.
“Akang pernah bohong?,” tanyaku ke Akh Ibnu.
“Hehehe… ada deh, mau tahu saja.”
“Mmmhh… menjaga kemaluan juga ya Ustadz?,” terlihat Akh Muhammad tertarik dengan topic yang satu ini.
Aku manggut saja mengiyakan.
“Ustadz, saya sering tuh Ustadz mergoki anak-anak muda lagi maksiat, Ustadz. Apalagi kalau malam minggu sering tuh warga Jakarta keluar dan cari tempat remang-remang Ustadz. Di tempat yang juga ramai dikunjungi anak muda. Cekakak-cekikik.”
Aku menghela napas.
“Ya, ini menjadi PR kita bersama. Mari kita saling mengingatkan saja. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang beruntung, yang mampu mengendalikan dan menjaga mulut serta kemaluan.”
Amin.
Saat perjalanan pulang di sekitaran perempatan Jatipadang, sebuah sepeda motor melaju kencang dan berhenti mendadak di depan Kami.
“Akh Ibnu awas!,” teriakku keras dan sekejap aku reflek menarik tubuhnya yang berjalan paling depan di antara Kami.
“Heeh! Kalau bawa motor hati-hati dong!, untung dia tidak kenapa-kenapa!,” bentak Akh Khayat.
“Maaf deh, maaf ya?.” Kata pengendara itu.
Aku sebenarnya ingin protes juga. Tapi terkejut sekali saat menatapnya lebih dekat. Dan dia… masih bocah.
“Wuihh, Kau rupanya,” Akh Muhammad terkejut dan kenal dengannya.
“Eh kalian rupanya. Sedang apa?,” tanyanya balik.
Sejenak, Ustadz Ujang member kesempatan Kami Laskar Limosin untuk bercakap-cakap dengan bocah pengendara motor itu. Aku perhatikan bocah itu menyalakan api rokok dan mulai menciptakan kepulan asap dari mulutnya di sela-sela percakapan. Laskar Limosin sempat protes, tapi tak digubrisnya.
“Merokok itu hak asasi manusia, guys.”
“Alamak! Menghirup udara bebas juga hak asasi manusia bro,” ucap ketua Laskar Limosin tak mau kalah.
Setelah Kami usai berbincang dan bocah laki-laki itu pergi, Aku bertanya kepada Akh Khayat.
“Dia siapa?.”
“Nasrulloh kang. Teman satu kelas di kampus,” jawab Akh Khayat.
“Di amah musuh, kang,” cetus Akh Zaki.
“Musuh?, kok tadi kalian akrab?,” Tanya Ustadz Ujang menelisik.
“Kalau di kampus dia pentolan. Yaa gitulah suka ganggu orang lain. Pokoknya musuh mah,” Akh Ibnu tak mau ketinggalan menerangkan.
“Nahh… ini dia nih yang jadi korbannya kang,” ledek Akh Khayat memonyongkan bibirnya, menunjuk Akh Muhammad.
Aku prihatin mendengarnya. Dan mungkin murobbi Kami Ustadz Ujang. Melihat kondisi Nasrulloh, membuat tubuhku lemas. Bayangkan seorang bocah sudah berani mengendarai motor ngebut. Sambil merokok pula.
Tak lama kemudian, Ustadz Ujang menjelaskan kepada Kami, bahwa jangan menganggap Nasrulloh itu musuh. Juga teman-teman lain yang nyatanya berperilaku menyimpang. Bisa saja mereka adalah korban. Sejatinya, anak seusia itu sedang mencari jati diri.
“Saran dari Ustadz, ajak dia ikut kumpul rutinan bareng Laskar Limosin saja. Di sini kita bisa dapatkan aktivitas positif. Dan mudah-mudahan dia tertular.”
“Kalau tidak mau ikut gimana Ustadz?.”
“Ya, nggak apa-apa. Kan tugas kita sebatas mengajak. Jadi tak perlu yang namanya memaksa.”
***
Minggu ketiga.
Ada perkara penting yang harus Ustadz Ujang sampaikan hari ini. Biasanya jadwal rutinan Laskar Limosin malam Sabtu, namun berhubung banyak yang bentrok dengan agenda lain, jadilah Kami kumpul rutinnya ditunda hari Sabtu malam. Setelah isya’.
“Wahh, kalau begitu perlu ganti nama jadi Laskar Malming nih. Malam Minggu,” ledekku di awal-awal pembukaan. Lascar Limosin belum lengkap satu anggota. Si Cristiano Ronaldo telat hadir, alasannya perutnya sedang bermasalah. Jadi, terpaksa harus ditunda membicarakan perkara penting, sampai Akh Muhammad datang.
Sebagai pembuka, Ustadz Ujang memberi pembelajaran dari Negara kepulauan yang eksotis tentang arti kerja keras, pantang menyerah dan hidup mandiri. Di Jepang ada sebuah uangkapan “ganbatte”. Artinya berusahalah. Sebuah sugesti positif yang menuntut keseriusan, kesungguhan dan upaya maksimal dalam mewujudkan cita-cita.
“Itulah sebabnya Jepang masih tetap menjadi negara maju, walaupun tsunami sempat memporak-porandakan wilayah itu. Nah, ikhwah, ada sebuah kata kunci untuk mengikat itu semua,” Ustadz Ujang memperhatikan Kami satu per satu.
Kami melongo.
“Disiplin!. Ibarat mengukir huruf hiragana, katakana dan kanji. Kesemua huruf dibentuk secara teratur dan disiplin. Dari situ, terbentuklah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Disiplin kuncinya.”
Lama Akh Muhammad tak datang, Aku pun bertanya.
“Oh iya, Akh Muhammad sakit apa ya?. Kok lama sekali datangnya?.”
“Tahu tuh Ustadz, tadi bilangnya sakit perut. Katanya kebanyakan makan rujak paginya,” sahut Akh Zaki.
“Ya sudahlah. Sebelum Kita sudahi, ada hal penting yang ingin Ustadz sampaikan...”
Tak lama tiba-tiba terdengar sebuah teriakan. Akh Muhammad berlarian memanggil ke arah Kami.
“Ustadz, bahaya Ustadz!.”
“Masya Allah, baru saja dibicarakan. Dia sudah datang,” kataku.
“Apanya yang bahaya?,” tanya Ustadz Ujang tak mengerti.
“Nasrulloh Ustadz Ujang,” jawab Akh Muhammad tersengal-sengal dan berusaha menjelaskan.
“Nasrulloh dikeroyok Ustadz!.”
Kami pun bergegas menyusul ke tempat kejadian perkara. Ustadz Ujang mengendarai motor sambil membonceng Akh Muhammad. Sementara Akh Khayat, Akh Zaki dan Akh Ibnu mengendarai sepeda mereka masing-masing.
“Itu Ustadz, di situ!,” tunjuk Akh Muhammad.
Motor Kami secara perlahan menurunkan kecepatan sampai akhirnya benar-benar berhenti. Ada tiga pemuda berperawakan tinggi besar sedang mengeroyok Nasrulloh yang seorang diri. Aku mendengar bentakan-bentakan kasar dan cercaan dari ketiga pria itu. Astaga!, Nasrulloh benar-benar menjadi bulan-bulanan ketiga orang itu.
Ustadz Ujang dan Akh Khayat sebagai ketua Laskar Limosin segera datang meleri sampai berhasil memisahkan mereka.
Dan ternyata, masalahnya sepele. Salah satu dari mereka tidak terima sepeda motornya diserempet motor Nasrulloh yang kala itu melaju kencang, mengakibatkan kaca spion sebelah kanan pecah. Mereka tidak terima, lalu minta ganti rugi. Namun, Nasrulloh mengalah dengan dalih tak punya uang.
Dan tiba-tiba, Ustadz Ujang mengeluarkan uang dari dompet beliau.
“Makasih ya Ustadz. Maaf merepotkan,” ujar Nasrulloh seraya mengusap pipinya yang memar-memar.
“Enak saja!, jangan lupa diganti!,” omel Akh Khayat.
“Ya sudah, lain kali kalau bawa motor pelan-pelan ya?. Yang penting Kamu selamat,” ucap Ustadz Ujang mengakhiri.
Langit semakin gelap. Malam semakin pekat. Laskar Limosin sudah lengkap. Akhirnya, inilah saatnya Kami mendengar keputusan Ustad Ujang. Setelah sekian lama bersama, tanpa banyak prolog, Ustadz Ujang langsung berkata.
“Ustadz mulai besok akan pergi ke Makkah. Nanti kalian akan memilih mentor baru ya?.”
Serempak Kami protes.
“Yahhh...”
“Lama nggak Ustadz?,” tanya Akh Ibnu.
“Iya, maafkan Ustadz. Karena Ustadz akan haji dengan istri Ustadz. Tolong dimaafkan jika selama ini ada salah kepada kalian atau cara penyampaian Ustadz yang sulit dimengerti.
“Iya Ustadz, maafkan Zaki juga ya.”
“Oiya, bagaimana dengan kuliah Ustadz nantinya?,” tanya Akh Muhammad.
“Kenapa tidak kasih-kasih kabar Ustadz?,” protes Akh Khayat.
“Insya Allah sebulan lagi Ustadz akan lulus kuliahnya. Bagi Ustadz kalian adalah generasi berikut yang nantinya memiliki akhlak mulia, kejujuran, saling tolong-menolong tak peduli kepada siapa pun dia. Tetap pelihara kelestarian perangai baik kalian. Dan berjanjilah kepada Ustadz untuk terus berusaha belajar. Kejar pendidikan di kampus sampai selesai!. Oke?!..”
Kami semua mengangguk.
Malam semakin redup. Pertemuan Kami dengan Ustadz Ujang berakhir di sebuah masjid di Jakarta Selatan. Siapa yang bisa menebak, seperti apa Kami di masa depan?. Apakah Kami tetap memiliki teman-teman yang hebat?. Atau apakah kelak Kami akan menjadi orang hebat?. Ahh, Aku hanya bisa berharap kepada Mu, ya Rabb. Semoga Aku bisa kembali melihat kisah mereka lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar