Rabu, 14 September 2016

Contoh Terbaik untuk Tidak Dicontoh

Contoh Terbaik untuk Tidak Dicontoh

Sudah hukum alam, di dunia ini ada benda yang baik & rusak. Yang baik digunakan hingga rusak. Yang rusak diperbaiki hingga baik kembali, lalu digunakan lagi. Untuk menikmati manfaat benda, nyaris tiap orang bisa. Namun, untuk memperbaiki tak semua orang sanggup. Dia harus ahli, setidaknya orang yang mampu & paham. Di setiap negara ada UU-nya. Yang memperbaiki harus lah aslinya. Bila melanggar UU, sanksinya ada bahkan hingga penjara.

Orang sakit tentu harus dokter yang mengobati. Jika yang menangani bukan dokter, jadilah perkara karena hampir pasti akan membahayakan si sakit. Demikian pula dalam memperbaiki mesin, tidak semua bisa & mampu buka bengkel. Di samping harus ada modal & lokasi, terutama juga musti ada ahli mesinnya. Begitu juga untuk perbaiki barang-barang elektronik lain, harus ada aslinya. Begitulah untuk perbaiki benda rusak, memang harus ada yang mampu perbaiki.

Begitu juga untuk memperbaiki perilaku rusak. Harus oleh ahlinya. Pertanyaannya, siapa aslinya?. Ini wilayah karakter yang kita sendiri sulit untuk menjawabnya. Hari ini tiap orang harus perbaiki diri sendiri. Soalnya, entah paham atau tidak, itu hal yang memilukan. Soalnya, memperbaiki atau malah menambah runyam, itu perkara yang mengkhawatirkan. Soalnya, yang benar jadi keliru, yang salah malah jadi kebiasaan hingga 'jadi kebenaran'. Ini anomali, terbolak-balik & mengerikan. Dampaknya jelas lebih dahsyat dari sekadar konsekuensi.

Dalam kondisi begini, tak jelas mana layang mana emas. Anak & remaja yang tak pernah didik karakter, satu contoh misalnya, hanya menyaksikan bahwa berdebat cuma soal bicara. Yang piawai bicara & bisa unggul, dielu-elukan sebagai pemenang. Tak paham apakah itu benar atau malah salah. Tak tahu untuk negara atau asing, untuk swasta atau masyarakat. Hingga tak masalah bila kepentingan pribadi & kelompok lebih diutamakan ketimbang bangsa & negara. Generasi muda dijejali perilaku debat emosional, mau menang sendiri, dengan alasan yang dicari-cari. Maka seperti apa generasi muda ini kelak?.

Dalam kondisi seperti ini, tak semua orang bisa tampil mendidik karakter, orang yang belum memperbaiki kekeliruannya, yang belum menebus kesalahan & yang belum bertaubat jelas berbahaya mendidik karakter. Apa hasilnya pendidikan karakter dilakukan oleh koruptor yang belum mengembalikan uang negara, belum mengakui salah & belum meminta maaf. Begitu juga dengan pengusaha sukses yang serakah. Juga tak kalah menjerumuskan politikus yang kutu loncat, atau pemarah, pendendam, pendengki & penghasut.

Untuk mau Jujur kan diri sendiri, berbuat ma'ruf & menjadi orang baik saja tidak mampu, bagaimana hendak memperbaiki karakter orang lain. Inilah problem berat kita. Kita harus temukan & praktekkan nilai baik & buang keburukan. Kadang bisa kadang tidak karena terus berproses. Di saat itu juga kita harus dimainkan kekisruhan orang lain. Padahal diri sendiri masih buruk. Orang serakah diminta membangun harmoni sosial, bisakah?.

Mendidik manusia memang berat & amat susah. Jauh lebih sulit ketimbang memperbaiki mesin rusak, rumah bocor, atau tembok yang retak. Manusia punya phisik, akal, hati & nafsu. Mudah kah mendisiplinkan pemalas?. Ringankah menegakkan kejujuran pada pengangguran. Bisakah sabarkan orang lapar. Mudahkah meredam kemarahan mereka yang digusur. Sanggupkah menghimbau pengusaha yang terus ekspansi melihat apapun. Mudahkah ikhlaskan masyarakat melihat koruptor, lalu lang kesana sini. Siapa sanggup mendidik pejabat yang sewenang-wenang. Ini pertanyaan yang membuat napas tersengal.

Mendidik manusia bukan sekedar butuh guru, dosen, Ustadz, pendeta & biksu. Yang kita butuhkan bukan cuma ilmu. Tak cukup itu. Ini mengajar, bukan mendidik. Untuk mendidik, sang pendidik harus membuktikan diri bahwa dirinya memang telah mempraktekkan apa yang diajarkan. Jika belum itulah yang terjadi hari ini. Belajar agama seperti belajar ilmu ekonomi, hanya sebagai pengetahuan.

Sama-sama banyak ilmu & tinggi tetapi hanya sebagai pengalaman. Tidak dipakai untuk perbaiki diri. Jarang guru agama hari ini yang amalan ilmunya hingga berakhlak mulia. Karena itu akan susah bila hendak mendidik manusia jadi baik & jujur. Guru agama & santri akhirnya kurang lebih juga sama. Bedanya cuma yang satu memberi ilmu, yang lain menerima ilmu. Yang satu tinggi ilmunya, yang lain sedang menimba ilmu. Namun keduanya sama-sama tidak maksimal dalam mengamalkan ilmunya untuk perbaiki diri.

Hasilnya lihat saja. Guru yang hanya memberi ilmu, cuma mengubah kompetensi murid. Banyak yang menguasai ilmu doktoral, sebanyak itu pula yang berhasil. Banyak yang punya kedudukan, sebanyak itu pula yang punya prestasi. Tapi perubahan prestatif itu ternyata tidak mengubah perilaku. Yang sombong makin sombong. Yang kikir makin tamak. Yang jahat makin terasa dzalimnya karena punya kedudukan.

Berubah dari tak punya apa-apa jadi punya harta, punya kedudukan & punya jabatan penting. Tapi perilaku tak berubah bahkan tabiat makin menjadi-jadi. Dulu sampai tahun 2000-an awal jangankan murid, orang tua & masyarakat pun amat hormat pada guru. Kini dimana-mana murid melawan guru. Sesama murid gaduh, yang antar sekolah perkelahian malah sudah berbunuhan. Yang begitu pulang ke rumah, kini sudah bukan berita lagi, anak melawan orang tua.

Setelah lulus kemudian bekerja atau jadi pengusaha, perilaku negatif bermunculan. Bahkan menemukan bentuk terbaik ya karena dikemas dalam kepiawaian manajemen. Keserakahan tak tampak karena dikemas dalam holding industri Hulu hilir. Kedengkian juga jadi shaleh karena dibalut akuisisi & merger. Karena tidak diajar memahami kesulitan hidup, para direktur tidak risih bila perbedaan gaji berpuluh kali lipat dibanding staf dibawah.

Kareba tidak diajarkan kejujuran, korupsi terjadi di tiap lirik. Membeli barang atas nama kantor, misalnya, bonus atau discount nya diambil. Pemahamannya jelas bahwa itu memang miliknya. Alasan lain bukankah bonus itu keluar karena kepandaiannya menawar. Padahal dia belanja atas nama kantor, dengan uang kantor & perjalanannya dibiayai kantor. Inilah korupsi yang amat halus. Maka jangankan yang perlu etika & pengertian. Yang jelas-jelas bukan haknya saja diambil, apalagi yang halus seperti itu.

Begitulah karena karakter terpuruk, tidak jelas lagi Batas-atas kehidupan. Yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Yang keliru dibela, yang benar difitnah. Yang kaya dihormati, entah dia koruptor, 'pencuri kerah putih' atau 'politikus cari makan'. Yang bisa memberi uang diangkat jadi pemimpin. Yang bersih tapi tak punya uang malah disisihkan. Jika bicara untuk mengingatkan dianggap sakit hati. Maka yang benar-benar punya jiwa kepemimpinan akhirnya dipasung.

Akut bukan?. Maka, jangan salah bila kemudian ada yang mengatakan : Indonesia jadi contoh terbaik untuk tidak dicontoh. Semua keburukan nyaris ada, dari Sabang sampai Merauke. Dengan kondisi seperti ini bisakah perilaku dididik?. Menyederhanakan pertanyaan ini mudah. Namun isi pertanyaan ini berat & yang lebih berat adalah menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar