Jumat, 21 Agustus 2015

Andai Malam Tak Berujung

Memaksakan untuk sekedar cerita yang bahasa kerennya anti mainstream. It’s like I’m watching. But this is not a film. This is a real story. Bismillah. Semoga bermanfaat ikhwah.

Malam kemarin rasanya seperti hidup di masa ustadz Rakhmat Abdullah. Ya, sang Murobbi. Bagaimana perjuangan Ana harus balik lagi ke Jakarta untuk sekedar memenuhi panggilan dakwah dengan ikhwah yang yang tak pernah padam semangatnya. Kalau boleh hiperbola, seakan tersusun bagai sebuah mosaik. Kepingan demi kepingan mengantar mimpi, memberi ilusi. Mimpi mereka untuk menjadi ikhwan yang tangguh di tengah zaman yang sudah 'amburadul' ini. Katanya sih. Ilusi yang melupakan mereka bahwa tanggal masuk kuliah mereka masih satu minggu lagi.

Melihat antusias mereka demi menadah cucuran ilmu dari Ana, tak Ana siakan begitu saja. Terpaksa atau tidak, ya harus Lillah !. Begitu kata hati Ana. Baru sehari kemudian, Ana putuskan untuk berangkat ke Jakarta meskipun jam masuk kuliah memang masih seminggu lagi. Naluri hati tak bisa dielak. Ada kepingan rasa yang tersakiti. Apalagi kalau bukan momen bertemu keluarga. Bagaimana keringat, gairah, cinta, benci, rindu dan segala naluri lainnya tak mudah begitu saja dilupakan.  Yang akhirnya, idealisme dan ideologi itu harus Ana lebur dalam dengkuran dan gemertak gigi.

Tapi, bukan itu ikhwah yang ingin Ana bagi. Ya, semua berawal ketika kemarin malam dengan motor butut yang biasa dipakai untuk kuliah menemani Ana menyusuri ramainya malam di Jakarta untuk bertemu mustami' Ana di bilangan Jakarta Selatan. Sambil mengingat-ingat jalan yang sebulan lalu Ana lewati saat sebelum liburan kuliah. Melewati pom bensin besar yang menebarkan bau bensin dan solar. Melewati belokan pasar minggu yang dipenuhi pedagang sayur-mayur & buah-buahan. Di belahan lain menyeruak tawa dan teriakan para sopir mikrolet serta pedagang yang memenuhi jalanan di depan pasar. Ah.. rasanya tingkah orang-orangnya sama saja. Keluh Ana dalam hati. Seakan terlupa bahwa ini adalah Jakarta. Kota metropolitan terbesar pertama sebelum kota Ana, Surabaya. Lihat... di beberapa jalanan telah berubah menjadi hutan belantara, dengan hukum rimba berada di tangan para preman. Keadilan menguap, hilang bersama angin malam ketika itu.

Waktu maghrib tiba. Selagi menunggu janji dengan mustami' Ana, Ana belokkan motor Ana ke arah masjid al Ikhlas. Atau biasa orang menyebutnya masjid Abu Usamah. Diambil dari nama Imam masjid yang sering mengimami di situ. Termasuk salah satu masjid favorit Ana kalau lagi suntuk dengan tugas kuliah. Suara emas imamnya, membuat hati Ana jadi bisa berdesir. Seakan mampu merontokkan sendi-sendi kekabutan tugas perkuliahan. Terkadang ada rasa iri dengan suara emasnya. Iri yang baik, menurut Ana.

Usai shalat sunnah, Ana lihat sekeliling lainnya, beberapa orang sedang menguntai do'a. Kepala menghujam ke bawah khusyu' dan batin luruh dalam sengsara, derita dan harapan kepada Sang Pemilik hidup. Hingga Ana kemudian terusik dengan satu pandangan penasaran. Memandang seorang yang tak asing di mata Ana. Sedang shalat sunnah di antara jama'ah. Ana coba pandang lagi, untuk meyakinkan bahwa yang Ana pandang memang benar adanya dengan yang Ana maksud. Hingga tahiyyat akhir dan salam. Ingin rasanya menyapa. Tapi takut tak kenal dengan Ana yang tak punya bakat besar untuk orang seperti beliau. Ana yakinkan lagi hati ini untuk menyapa. Ahh..., rasanya berat sekali. Hingga kemudian tak tersadar, akhirnya beliau yang menyapa Ana duluan.

Ya benar, bang Ali. Hampir semua anggota whatsapp di bawah naungan PK, pasti mengenal beliau. Founder PK yang juga berbisnis kopi kedelai. Berbagai pertanyaan ingin terlontar. Tapi ada satu yang paling penting. Ada keperluan apa sampai beliau ada di masjid ini ?. Saling sapa dan tanya dalam dekapan ukhuwah. Ternyata beliau punya janji jam setengah delapan dengan orang lain. Obrolan kami lanjutkan dengan makan bareng di warung depan masjid. Disinilah kemudian obrolan mulai sedikit agak 'sersan'. Serius santai. Saling berbagi dengan cerita dan pengalaman hidup.

Masya Allah... Ana tertegun dengan perjuangan bagaimana beliau ketika awal mula terbesit kata 'Pengusaha Kampus'. Hingga sekarang yang memiliki cabang tak hanya konsen di usaha monoton saja. Tapi juga seperti di bidang kepenulisan dan pembentukan koperasi yang masih berkaitan dengan 'Pengusaha Kampus' tentunya. Sharing terkait usulan 'PK Ta'aruf'. Cita-cita mulia beliau untuk anak-anaknya kedepan. Dan masih banyak lagi. Dengan selingan cerita kehidupan pendidikan Ana yang diwarnai perjuangan pahit tak kenal batas.

Hidangan yang mulai habis, tak memberhentikan obrolan Ana. Hingga akhirnya kemudian beliau teringat dengan janji dengan seseorang. Kumandang isya' bergema. Kami mempercepat langkah. Dan disaat itulah beliau harus pamit terlebih dahulu demi kata 'tepat waktu'. Aah... andai malam tak berujung. Mungkin beliau bisa bercerita lebih lama dengan Ana. Juga Ana sebaliknya. Bisa berbagi apa yang bisa Ana ceritakan. Lebih-lebih bisa ajak beliau bergabung denga mustami' Ana di liqo' untuk jadi pembicara.

Rasa-rasanya kalau ketemu beliau seakan mempunyai vision broad dan vision talk. Bagaimana punya gulungan mimpi yang dibawa kemana-mana. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan orang-orang hebat, beliau akan share mimpi-mimpi beliau. Sekali lagi, andai malam tak berujung. karena mosaik malam adalah gairah pada kehidupan. Pada ujungnya, selalu ada jeda. Dengan hiruk pikuk masih tersisa di benak mereka. Saat para preman dan pedagang termenung memandangi langit, menyisakan kekerasan dan harapan akan hidup dalam otak mereka. Saat di mana mereka menemukan diri mereka, entah utuh maupun tinggal sisa-sisa.

Wallahu A'lam bishawab. Semoga ada yang bisa diambil pelajaran atau Lesson learnednya bagi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar