Bismillah,
Kayfahaluk Ikhwah pembaca.
Ini lanjutan cerita Ana,
Dengan hashtag berurutan dengan sebelum2nya.
#KisahUthlah 7
Mudah2.an bermanfaat ikhwah.
Oiya lupa,
Insya Allah kisah uthlah Ana tertambah 2 hashtag kali ini ikhwah.
#LiburanBarengAlFatih & #MedcenPresent. Nah, buat yang penasaran dengan 2 hashtag itu, visit yaa di Ldk Al-Fatih Lipia. Bisa jadi, Antum bisa berpartisipasi juga. Aamiin dongg...???
Go to the post with reading & hashtag,
#UthlahShoifiyyah
#ShoifiyyahMubarokah
#KeepDakwahOnShoifiyyah
#NyantrendWeekend
#SummerMubaarak2015
#LiburanBarengAlFatih
#MedcenPresent.
Andai Malam Tak Berujung
Singkat cerita ikhwah, Ana tiba di jakarta (tempat kuliah Ana) tanggal 18 Agustus. Tepat satu hari setelah hari perayaan kemerdekaan. Sementara kuliah Ana ikhwah masih masuk 6 hari lagi. Bahkan bukan rahasia lagi, seperti yang thullab biasa rasakan. Dirosah di Ma'hadil 'Ulum biasanya akan berjalan sekitar 3 atau 4 hari dari tanggal yang di tentukan (Nah tuuhh... sampai2 Ana hafal ikhwah ). It’s like I’m watching. But this is not a film. This is a real story. Bismillah. Semoga bermanfaat ikhwah.
Malam lalu (tanggal 18 Agustus atau malam 19) rasanya seperti hidup di masa ustadz Rakhmat Abdullah. Ya, sang Murobbi. Bagaimana perjuangan Ana harus balik lagi ke Jakarta untuk sekedar memenuhi panggilan dakwah dengan ikhwah yang yang tak pernah padam semangatnya. Kalau boleh hiperbola, seakan tersusun bagai sebuah mosaik. Kepingan demi kepingan mengantar mimpi, memberi ilusi. Mimpi mereka untuk menjadi ikhwan yang tangguh di tengah zaman yang sudah 'amburadul' ini. Katanya sih. Ilusi yang melupakan mereka bahwa di Jakarta kalau maam hari enak untuk main atau ngobrol ke sana kemari.
Melihat antusias mereka demi menadah cucuran ilmu dari Ana, tak Ana siakan begitu saja. Terpaksa atau tidak, ya harus Lillah !. Begitu kata hati Ana. Baru sehari kemudian, Ana putuskan untuk berangkat ke Jakarta meskipun jam masuk kuliah memang masih seminggu lagi. Naluri hati tak bisa dielak. Ada kepingan rasa yang tersakiti. Apalagi kalau bukan momen bertemu keluarga. Bagaimana keringat, gairah, cinta, benci, rindu dan segala naluri lainnya tak mudah begitu saja dilupakan. Yang akhirnya, idealisme dan ideologi itu harus Ana lebur dalam dengkuran & gemertak gigi.
Tapi, bukan itu ikhwah yang ingin Ana bagi. Ya, semua berawal ketika kemarin malam dengan motor butut yang biasa dipakai untuk kuliah menemani Ana menyusuri ramainya malam di Jakarta untuk bertemu mustami' Ana di bilangan Jakarta Selatan. Sambil mengingat-ingat jalan yang sebulan lalu Ana lewati saat sebelum liburan kuliah. Melewati pom bensin besar yang menebarkan bau bensin & solar. Melewati belokan pasar minggu yang dipenuhi pedagang sayur-mayur & buah-buahan. Di belahan lain menyeruak tawa & teriakan para sopir mikrolet serta pedagang yang memenuhi jalanan di depan pasar. Ah.. rasanya tingkah orang-orangnya sama saja. Keluh Ana dalam hati. Seakan terlupa bahwa ini adalah Jakarta. Kota metropolitan terbesar pertama sebelum kota Ana, Surabaya. Lihat... di beberapa jalanan telah berubah menjadi hutan belantara, dengan hukum rimba berada di tangan para preman. Keadilan menguap, hilang bersama angin malam ketika itu.
Waktu maghrib tiba. Selagi menunggu janji dengan mustami' Ana, Ana belokkan motor Ana ke arah masjid al Ikhlas. Atau biasa orang menyebutnya masjid Jamil. Bermula ketika masjid itu mendapatkan predikat mashid terapi & terbersih se Jakarta Selatan. Termasuk salah satu masjid favorit Ana kalau lagi suntuk dengan tugas kuliah. Suara emas imamnya, membuat hati Ana jadi bisa berdesir. Seakan mampu merontokkan sendi-sendi kekabutan tugas perkuliahan. Terkadang ada rasa iri dengan suara emasnya. Iri yang baik, menurut Ana tak masalah. Ghibtoh, ahsan.
Usai shalat sunnah, Ana lihat sekeliling lainnya, beberapa orang sedang menguntai do'a. Kepala menghujam ke bawah khusyu' dan batin luruh dalam sengsara, derita dan harapan kepada Sang Pemilik hidup. Hingga Ana kemudian terusik dengan satu pandangan penasaran. Memandang seorang yang tak asing di mata Ana. Sedang shalat sunnah di antara jama'ah. Ana coba pandang lagi, untuk meyakinkan bahwa yang Ana pandang memang benar adanya dengan yang Ana maksud. Hingga tahiyyat akhir dan salam. Ingin rasanya menyapa. Tapi takut tak kenal dengan Ana yang tak punya bakat besar untuk orang seperti beliau. Ana yakinkan lagi hati ini untuk menyapa. Ahh..., rasanya berat sekali. Hingga kemudian tak tersadar, akhirnya beliau yang menyapa Ana duluan.
Ya benar, Ustadz Mushtofa As Sudaniy. Siapa sih yang tak kenal beliau. Mungin hanya thullab baru saja. Hampir semua penghuni Ma'hadil 'Ulum pasti mengenal beliau. Salah satu ustadz dari Sudan yang juga dosen di Ma'hadil 'Ulum. Berbagai pertanyaan ingin terlontar. Tapi ada satu yang paling penting. Ada keperluan apa sampai beliau ada di masjid ini ?. Saling sapa & tanya dalam dekapan ukhuwah. Ternyata beliau punya janji jam setengah delapan dengan orang lain. Obrolan kami lanjutkan dengan makan bareng di warung depan masjid. Disinilah kemudian obrolan mulai sedikit agak 'sersan'. Serius santai. Saling berbagi dengan cerita & pengalaman hidup, serta tak lupa dengan bahasa Arab yang Ana punya.
Masya Allah... Ana tertegun dengan perjuangan bagaimana beliau juga rela datang lebih awal sebelum waktu mengajar di Ma'hadil 'Ulum tiba. Ya, mungkin alasanada janji dengan orang lain tak bisa disanggah. Tapi, seberapa pentingkah orang itu hingga merelakan untuk meninggalkan kampung halaman & menuju Indonesia ??? Ah... rasanya Ana terlalu sinis. Ungkap Ana dalam hati. Sharing bagaimana awal beliau di Jakarta. Cita-cita mulia beliau untuk anak-anaknya kedepan & masih banyak lagi. Dengan selingan cerita kehidupan pendidikan Ana yang diwarnai perjuangan pahit tak kenal batas.
Hidangan yang mulai habis, tak memberhentikan obrolan Ana. Hingga akhirnya kemudian beliau teringat dengan janji dengan seseorang. Kumandang isya' bergema. Kami mempercepat langkah & disaat itulah beliau harus pamit terlebih dahulu demi kata 'tepat waktu'. Aah... andai malam tak berujung. Mungkin beliau bisa bercerita lebih lama dengan Ana. Juga Ana sebaliknya. Bisa berbagi apa yang bisa Ana ceritakan. Pengennya bisa foto bareng sama beliau untuk dokumentasi pribadi bahwa beliau pernah ngobrol lebih dekat dengan Ana. Tapi apa mau dikata. Baterai hp tak bisa diajak kompromi dengan kondisi Ana ketika itu. Baru ckriikk...!!! mati. Pas dicek tk ada fotonya. Ahh... tak apalah. Lebih berfaedah lagi bisa ajak beliau bergabung denga mustami' Ana di liqo' untuk jadi pembicara. Masya Allah...
Rasa-rasanya kalau ketemu beliau seakan mempunyai vision broad & vision talk. Bagaimana punya gulungan mimpi yang dibawa kemana-mana. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan orang-orang hebat, beliau akan share mimpi-mimpi beliau. Sekali lagi, andai malam tak berujung. karena mosaik malam adalah gairah pada kehidupan. Pada ujungnya, selalu ada jeda. Dengan hiruk pikuk masih tersisa di benak mereka. Saat para preman & pedagang termenung memandangi langit, menyisakan kekerasan dan harapan akan hidup dalam otak mereka. Saat di mana mereka menemukan diri mereka, entah utuh maupun tinggal sisa-sisa.
Wallahu A'lam bishawab. Semoga ada yang bisa diambil pelajaran atau Lesson learnednya bagi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar