Rabu, 19 Agustus 2015

#KisahUthlah 7

Bismillah,
#KisahUthlah 7

#UthlahShoifiyyah
#ShoifiyyahMubarokah
#KeepDakwahOnShoifiyyah
#NyantrendWeekend
#SummerMubaarak2015

Ikhwah sisi lain kehidupan adalah hal yang tak pernah kita tahu, bahwa hidup menawarkan beribu pilihan, beribu catatan &sisi itu tengah Ana saksikan di relasi kehidupan. Semalam, saat atmosfer momen kemerdekaan masih sedikit menghangat, Allah seolah sengaja memberi Ana sebuah perenungan berharga.

Gerbong, stasiun & rangkaian kereta seolah jadi saksi bisu bahwa perjalanan adalah ibarat kereta yang melintasi rel-rel yang saling silang menuju stasiu & perjalanan terakhir dari stasiun adalah sebuah keabadiaan & akhir dari kehidupan. Inilah hidup ikhwah. Sebuah peran yang harus kita mainkan dengan tersedu atau tersenyum, menangis atau tertawa, bahkan tak urung terpingkal jenaka mentertawakan kehidupan yang amat lucu tapi tragis ini.

Kontras yang kita lihat adalah sebuah kebiasaan kultur bangsa yang mulai menjangkiti sebagian rakyat kita, mungkin telah lelah juga dengan kehidupan sendiri pun yang begitu sulit & pada akhirnya ruang-ruang empati itu seolah hanya bagian ritual rutinitas keagamaan dengan bersandar pada hari kebesaran agama masing-masing.

Ana terpaku pada pergeseran paradigma ini, yang kian hari mensesaki akal & nalar Ana. sedang sisi lain kehidupan yang lain seolah menampakan ketimpangan, kerumunan pertanyaan memenuhi otak Ana. SIAPA MEREKA ? KENAPA MEREKA SELARUT INI BERKELUYURAN DI KRETA ? APA RUMAHNYA TAK LAYAK ? APA MEREKA TAK SEKOLAH ? Bukankah mereka menginginkan kasih sayang & belai lembut sapaan ?. Ana tersedu menyendiri.

Sambil Ana tatap seorang anak yang tertidur damai di atas sobekan kardus bekas yang mulai tak layak. Tak tersirat kesedihan di wajahnya, tak tergambar kegetiran di matanya. Mata-mata polos yang harusnya menghiasi meja -meja belajar atau bangku-bangku sekolah namun malam ini mereka malah bercengkrama dengan asyik di pelataran stasiun kereta.

Anak-anak jalanan, itu sebutan mereka yang lahir di atas trotoar beralaskan aspal, besar dengan asap roda & deru kereta. Ya, anak jalanan. Entah siapa yang menyematkan predikat itu, mereka bertahan di kerasnya kehidupan, dengan wajah lugu mereka jalani kerasnya kehidupan yang kadang mereka sendiri tak tahu kenapa mereka ada.

Ana seka lelehan air mata yang terasa membasahi kedua mata ini. a
Apakah seperti ini potret anak-anak di Negeri Ana tercinta ? Belum lagi bahaya yang mengintai mereka. Pedofilia sebuah laten baru yang menyeruak dari bobroknya sistem imunitas iman, apakah negeri ini akan jadi Sodom yang di hujani Allah Subhanah dengan batu dalam sejarah Nabi Luth ? Entahlah.

Sambil masih menyeka air mata yang mengembang di kelopak mata, Ana beranjak melanjutkan langkah ke pelataran stasiun untuk mencari taxi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar