#UthlahShoifiyyah
#ShoifiyyahMubarokah
#KeepDakwahOnShoifiyyah
#NyantrendWeekend
#SummerMubaarak2015
Allahhu Akbar Allahhu Akbar,
Laa ilaaha illa Allahu wAllahu Akbar,
Allahu Akbar walillahil Hamdu...
Hari terakhir Ramadhan ketika itu sangat terasa sekali di Surabaya. Terkhusus rumah Ana yang dekat drngan masjid. Sehabis shalat magrib, gema takbir bersahutan dari speaker masjid menyambut hari Idul Fitri esok paginya. Namun, karena Ana setiap tahun selalu shalat idul fithri di desa sehingga malam harinya justru Ana buat untuk pulang kampung malam itu juga bersama keluarga. Sehingga, Ana & keluarga jarang sekali melaksanakan shalat idul fithri di Surabaya. Selain faktor jalanan yang sepi juga malam hari terasa sejuk ditemani angin semilir malam.
Ya, hampir sepanjang perjalanan yang Ana dengar sahutan takbiran. Entah itu dari masjid, surau, musholla maupun deretan patrol ataupun anak-anak & kaum muda yang menyambut lebaran dengan bedug serta alat musik lainnya di jalanan. Rumah keluarga orang tua Ana berada di Kota Gresik Desa. Termasuk kota tetangga Surabaya. Waktu perjalanan tempuh, sekitar 1 jam lebih 15 menit dengan motor.
Nah, Ana mau menceritakan pengalaman pelaksanaan shalat Idul Fitri di desa ini. Ada perbedaan dengan pelaksanaan di kebanyakan masjid di Surabaya. Tidak terlalu banyak, hanya beda waktu pelaksanaan saja. Kalau di Surabaya, shalat idul fithri biasanya dimulai jam 7 pagi. Sementara, kalau di sini shalatnya mulai jam setengah 7 pagi. Biasanya setelah sampai di desa, Ana & keluarga langsung tidur tanpa nambah kegiatan apa-apa karena tahu besoknya akan bangun pagi untuk sholat idul fithri. Meski demikian, Ana & keluarga harus benar-benar ekstra untuk bangun lebih awal, karena malamnya kan Ana & keluarga baru datang dari Surabaya. Ana & keluarga minimal berangkat menuju masjid pukul 6 pagi.
Bisa kebayangkan, kalau kita telat sedikit ketika berangkat, pas sampai lokasi ternyata sudah penuh pake banget. Pastinya, tidak kebagian tempat karena yang sholat ribuan kaum muslimin disekitar desa Gresik. Tapi Alhamdulillah, seumur-umur Ana & keluarga belum pernah yang namnya telat shalat idul fithri. Pun, biasanya kalau emang telat toh akhirnya Ana berangkat pakai sepeda motor. Tinggal ngeng...!!!.
Oh ya juga, yang unik tradisi di desa Ana adalah dalam penentuan shaff shalat idul fithri di lapangan, sangat-sangat diatur sekali. Jadi untuk shaff jama'ah laki-lakinya, shaff pertama sampai dengan shaff kelima khusus untuk kakek atau lansia, kemudian di susul belakangnya bapak-bapak atau orang tua & seterusnya sampai nanti shaff terakhir adalah anak-anak. Begitu pula dengan shaff jama'ah yang perempuan. So, buat bapak-ibu ataupun keluarga yang shalat idul fithri di sini harus merelakan untuk meninggalkan atau berpisah sejenak dengan anak-ananknya karena ada aturan penentuan shaff shalat. Di sini, yang khatib & imamnya diimporkan dari luar kota Gresik. Seperti tahun ini, adalah dari Surabaya. Karena Desa di Gresik ini warganya mayoritas berbahasa Jawa & Ana pun juga orang Jawa, walhasil sang khatib akhirnya berceramah pakai bahasa Jawa. Emang Ana bisa pakai bahasa Jawa, masalahnya Jawa apa dulu. Kalau Jawa Krama Ana tak terlalu faham & bahasa inilah yang dipakai sang khatib ceramah. Udah deh, karena Ana besar di Surabaya yang biasa pakai bahasa Jawa kasar juga lama kuliah di Jakarta yang mayoritas bahasa lo-gue, jadi kadang nda' ngerti yang di sampaikan sang khatib. Tapi kayaknya hanya tentang harapan agar amal ibadah seluruh warga dapat di terima oleh Allah & dapat dipertemukan lagi dengan Ramadhan tahun depan. Alhamdulillah akhirnya selesai juga shalat idul fithri pada pukul setengah 8 pagi. Acara di tutup dengan maaf-maafan bareng.
Oke ikhwah, itulah pengalaman shalat idul fithri di Desa Gresik. Kalau disuruh milih, Ana lebih baik shalat di masjid yang menggunakan bahasa Indonesia aja deh. Selain biar ngerti & juga dapat tambahan ilmu. Tapi, jadi kembali ke soa awal bagaimana kalau berangkat pulang kampungnya nda' malam. Pastinya bakal kena macet !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar