Usai membeli songkok dan minyak wangi di salah satu stand di condet Jakarta Timur dengan salah satu santri ana, kemarin sore dengan menggunakan motor dari kramat jati. Ketika keluar dari salah satu gang condet ingin putar balik arah kramat jati, pandangan ana berhambur ke arah pinggir jalan. Berdiri di sana tukang buah tepat di seberang Pusat Grosir Cililitan. Maksud hati bukan untuk membeli beberapa potongan buah yang tertata rapi, bukan pula belahan semangka yang bikin ngiler lidah, melainkan secarik kertas yang mengusik mata ana. Secarik kertas putih bertuliskan “Gratis untuk muallaf”.
Pandangan ana mengarah ke santri ana, menanyakan soal tulisan yang menurut ana asing tapi Subhanallah luar biasa sekali. Ana masih bimbang antara turun dengan santri ana atau tidak untuk mengambil gambar tersebut atau sekadar berbincang dengan si penjual buah yang sudah mulai termakan usia itu. Kalau ana turun, itu berarti ana telah membuang waktu ana dan santri ana untuk kembali ke markaz Qur'an dan menghafal di sana. Karena memang kami dari markaz Qur'an. Akan tetapi kalau ana diam saja, artinya hanya ana dan segelintir orang yang menikmati tulisan luar biasa dari tukang buah itu. Sayang kalau tidak diceritakan kepada dunia lewat tulisan, jangan sampai kalah dengan pemberitaan media gosip yang tak kenal lelah menjual kebohongan dan duka orang. Ungkap ana dalam hati.
Diiringi panas sisa panas matahari yang akan kembali ke peraduannya dan akan digantikan oleh seonggok bulan, ana bergegas mengubah arah sepeda motor, memutar kunci ke arah off dan mendatangi tukang buah itu.
Selagi memulai percakapan dengan bapak si penjual buah itu, ana suruh santri ana untuk mengabadikan tulisan di gerobak dagangnya dengan ponsel jepang.
Cekrik...!!!
“Permisi, Pak. Kenapa bertuliskan khusus muallaf gratis ?” tanya ana sambil menerima ponsel dari tangan santri ana yang dipakai untuk memotret.
“Ya, gratis untuk muallaf, ” jawab bapak penjual buah itu singkat yang kutaksir umurnya sekitar 54 tahun.
Menyadari pertanyaan yang agak standar itu, ana beralih ke pertanyaan lain yang lebih mendalam.
“Ngomong-ngomong kalau boleh tau sudah berapa lama bapak memberlakukan ini ?”
“Sudah beberapa bulan lalu, Mas.” jawabnya sambil mengelap telenan yang basah.
Tak mungkin hanya bertanya saja, akhirnya ana dan santri ana mencomot beberapa buah dari gerobaknya.
“Berapa muallaf yang sudah ke sini ?”
“Sebulan terakhir ada 2 orang, Mas.”
“Dengan membawa bukti bahwa ia muallaf benar pak ?”
“Iya benar, membawa surat pernyataan atau bukti bahwa ia memang muallaf.”
Ana menengok ke jam tangan butut ana, takut kesorean. Apalagi bawa santri.
“Apa motivasi bapak yang membuat bapak menggratiskan buah untuk muallaf ini ?”
“3 in 1, Mas.” ucapnya dengan gaya yang masih sama, lempeng.
Ana mengernyit kebingungan. Kemudian terucap tiba-tiba pertanyaan dari santri ana yang mungkin belum faham juga dengan perkataan bapak penjual buah.
3 in 1 bagaimana pak maksudnya, maaf ?”
“Iya, 3 in 1.”
Ana dan santri ana masih tak mengerti. Apakah yang dimaksud bahwa bagi muallaf yang bawa orang muallaf lain dan berjumlah 3 orang akan diberi gratis buah 1..?.
“Maksud, bapak, 3 in 1 apa ya ?", tambahku mendesak.
“Shodaqoh, kepedulian sosial dan berkah rizki, Mas.”
"Ohhh....".
An manggut-manggut meng-o-kan. Melihat jam sudah menunjukkan tepat pukul 5, ana pun beranjak menuju ke sepeda motor yang terparkir dan menyuruh santri ana untuk membayar buah yang kami makan tadi. Ana pun langsung cabut begitu saja meninggalkan bapak lempeng itu setelah mengucapkan terima kasih.
Subhanallah. Ide jualan yang inspiratif dan kreatif. Sayang, hanya ada segelintir orang saja yang memiliki sifat dan karakter bapak penjual buah itu. Seraya mengendarai motor ana ajak santri ana untuk berdo'a bagi kesehatan dan kelimpahan rezeki untuk bapak penjual buah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar