Sesekali cobalah Anda hitung berapa langkah kaki yang Anda ayunkan dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau kuliah, setiap harinya. Lalu kalikan jumlah langkah kaki itu dua kali, pulang-pergi. Jika Anda beruntung punya sepeda angin, cobalah diingat-ingat berapa putaran roda yang Anda kayuh. Repot, ya?
Lebih bersyukur lagi, bila Anda punya sepeda motor. Anda tinggal melihat speedometer. Berapa angka yang tertera ketika Anda berangkat dari rumah dan sampai di sekolah, tinggal dikurangi saja kan? Itulah jarak yang Anda habiskan setiap hari untuk: MENUNTUT ILMU atau BEKERJA. Anda sering tidak menyadarinya, ya? Karena sudah terlalu terbiasa. Padahal, di sepanjang jalan itulah, antara lain, usia Anda dipertaruhkan: punya nilai baik atau buruk?
Misalkan saja, jarak dari rumah Anda ke tempat kerja sekitar 5 kilometer. Setiap ayunan langkahmu, katakanlah, sejauh 1/5 meter. Maka, Anda sudah mengayunkan langkah sebanyak = 5 km : 1/2 m = 5.000 m : 1/2 m = 5.000 X 2 kali = 10.000 kali. Coba bayangkan, 10.000 kali Anda mengayunkan langkah kaki kanan dan kiri berselang-seling! Jangan kaki kanan atau kiri doang ya yang bergerak, nanti keserimpet.
Betapa tingginya frekuensi langkah Anda setiap hari, dan betapa bernilainya langkah itu. Bila Anda mengawali langkah itu dengan niat menuntut ilmu, misalnya, lalu sepanjang perjalanan itu Anda membaca doa dan zikir. Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar. Lihat, Anda sudah terbiasa berzikir ribuan kali setiap hari. Seorang sufi kelas berat seperti Fudhail bin Iyad atau Ibrahim bin Adham saja bisa kalah, jika Anda konsisten melakukan wirid itu.
Kalkulasi serupa juga berlaku, jika Anda mengendarai sepeda pancal atau sepeda motor. Putaran roda sepeda atau motor itu akan lebih bermakna, andai Anda mengetahui bagaimana cara “menghidupkannya”, salah satunya, dengan zikir dan doa. Kalau berani, silakan dites, Anda ucapkan takbir: Allahu akbar, Allahu akbar, Laa ilaaha illallahu Allahu akbar. Orang-orang pasti pada minggir, mempersilakan Anda lewat lebih dulu, karena dikiranya Anda sedang demonstrasi.
Buat Anda yang biasa naik mobil pribadi, disopiri ayah atau ibu, jangan cuma terpaku dalam ruangan ber-AC. Matikan AC, dan bukalah kaca jendela, rasakan: bagaimana panasnya udara kota di luar, di waktu siang, dan betapa menyesakkannya bau asap knalpot dan hembusan debu. Sadarilah, puluhan atau ratusan, bahkan ribuan kawan Anda tak pernah sedetikpun merasakan sejuknya AC. Bersyukurlah, Anda jadi tahu betapa besar nikmat Allah, karena orangtua Anda diberi rezeki sebuah mobil.
Tapi, Anda jangan salah sangka. Sejuknya AC dan cepatnya perjalanan yang Anda tempuh bukan berarti nilai dan makna yang Anda dapat lebih tinggi dari kawan-kawan Anda yang berjalan kaki atau bersepeda. Sebab Allah Yang Mahateliti akan menghitung kerja keras yang kita kerahkan untuk mencapai sesuatu, bukan hanya cepat selesai dan lekas sampai. Kecuali jika Anda juga berdoa dan berzikir sepanjang berkendara mobil itu: Alhamdulillah wa syukru lillah … seperti lagunya Opick. Itu tandanya segala fasilitas dan kenyamanan tidak membuat Anda lupa dengan keagungan Ar Rahman dan peduli dengan lingkungan di sekitar Anda.
Lihatlah, di jalanan Anda akan temui beragam jenis manusia dengan segala tingkah-polahnya. Di jalanan Anda juga akan menyaksikan aneka rupa peristiwa dengan segenap rahasia dan hikmahnya. Di jalanan Anda akan menemukan sebagian dari arti hidup yang sebenarnya.
Saya teringat dengan novel remaja yang amat terkenal di era 1980-an, Ali Topan Anak Jalanan. Novel itu mengungkapkan kisah anak muda yang digembleng dengan kerasnya suasana hidup di jantung Ibukota Jakarta, tepatnya mangkal di Pasar Cikini, dekat dengan lokasi SMA di Jalan Pegangsaan – kawasan elite Menteng tuh. Penulisnya, Teguh Esha, seperti menceritakan sebagian dari pengalaman hidupnya sendiri. Tapi, seperti kebiasaan jelek pengarang, ia tentu mendramatisasi sebagian besar plot cerita.
Nah, dalam novel lanjutan yang terbit tahun 1990-an, Teguh yang mulai belajar mengaji Al Qur’an, kemudian bercerita tentang Ali Topan yang telah menjadi Wartawan – dan akhirnya – juga Santri Jalanan. Novel “Ali Topan Santri Jalanan”, seingat paman, belum pernah diterbitkan sebagai buku, hanya pernah dimuat dalam cerber di majalah Panjimas.
Ali Topan telah menemukan arti hidup sebagai anak muda, kemudian menjadi wartawan, dan akhirnya santri Islam – di jalanan. Kita bisa belajar apa saja dari jalanan yang kita tempuh setiap waktu, tergantung dari niat dan cara pandang kita terhadap hidup ini. Banyak seniman besar lahir, banyak pemikir besar tumbuh, dan lebih banyak lagi pemimpin masyarakat yang digembleng: di jalanan. Tentu saja kita harus menimba nilai positif dari jalanan: kemandirian, kebersahajaan, dan kebebasan yang terarah.
Jangan salah belajar dari jalanan yang penuh kekotoran, kejahatan, dan penyimpangan perilaku sosial. Jika salah langkah bisa jadi preman. Itu musuhnya Fudhail bin Iyad, bekas perampok yang bertaubat menjadi sufi besar. Astaghfirullah al azhim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar