Penyerangan
Kota Konstantinopel dikelilingi oleh air laut dari tiga sisi, yaitu Selat Bosforus, laut Marmara, dan selat Tanduk Emas yang dijaga dengan rantai yang sangat besar untuk mengontrol kapal-kapal yang masuk ke dalamnya. Di samping itu juga terdapat dua baris tembok yang melindungi kota itu di bagian darat, dimulai dari pantai laut Marmara hingga Tanduk Emas, dan diselingi oleh sungai Lekus.
Di antara dua tembok tersebut terdapat sebuah ruang kosong yang lebarnya mencapai enam puluh kaki, dengan tinggi tembok bagian dalam mencapai empat puluh kaki, dan di bagian atasnya terdapat beberapa menara yang tingginya mencapai enam puluh kaki. Sedangkan tembok bagian luar, tingginya mencapai sekitar dua puluh lima kaki dan di atasnya juga terdapat menara yang tersebar di sepanjang tembok itu dan penuh dengan tentara penjaga[1].
Jika dilihat dari sisi militer, Konstantinopel merupakan kota dengan perlindungan dan pertahanan yang terbaik di dunia. Karena ia memiliki tembok-tembok dan benteng-benteng, di samping pertahanan alami yang dimilikinya. Hal inilah yang membuatnya sangat sulit ditembus. Karena itu pulalah puluhan usaha militer yang dilakukan untuk menembusnya seringkali menemui kegagalan, termasuk sebelas usaha yang dilakukan oleh pasukan Islam sebelumnya.
Sultan Al-Fatih menyempurnakan semua persiapan jihad, baik dari segi personel pasukan maupun dari segi peralatan perang, di kota Edirne. Pada saat yang sama ia tak pernah lepas melakukan pengawasan terhadap Konstantinopel dan mengikuti beritanya serta menyiapkan peta yang diperlukan untuk mengepungnya. Selain itu, ia juga turun langsung melakukan sejumlah kunjungan untuk memantau dan menyaksikan langsung kekokohan pertahanan Konstantinopel dan tembok-tembok kokohnya[2].
Sultan Al-Fatih juga telah menyiapkan jalan di antara Edirne dan Konstantinopel agar dapat digunakan untuk menarik meriam-meriam raksasa menuju Konstantinopel. Dibutuhkan waktu selama dua bulan untuk membawa meriam-meriam itu dari Edirne ke dekat Konstantinopel dengan penjagaan yang ketat dari sekelompok pasukan hingga kedatangan pasukan Utsmaniyah yang dipimpin langsung oleh Sultan Al-Fatih di luar kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awwal 857 H – 6 April 1453 M.
Setibanya di sana, Sultan mengumpulkan seluruh pasukannya yang ketika itu berjumlah sekitar dua ratus lima puluh ribu prajurit dan menyampaikan sebuah khutbah yang sangat kuat di hadapan mereka. Sultan mendorong mereka untuk berjihad dan berusaha meraih kemenangan atau mati syahid.
Dalam khutbahnya, Sultan Al-Fatih ia juga mengingatkan mereka tentang pengorbanan dan bertempur dengan niat yang tulus pada saat berhadapan langsung dengan musuh. Lalu ia membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan untuk itu, ia juga mengingatkan mereka tentang hadits-hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang memberi kabar gembira mengenai penaklukan Konstantinopel, keutamaan yang dimiliki oleh pasukan dan pemimpin yang menaklukkannya, serta kemuliaan yang akan diperoleh oleh Islam dan umat Islam karena penaklukan tersebut.
Pasukan Utsmaniyah merespons khutbah Al-Fatih dengan meneriakkan tahlil, takbir, dan doa[3]. Lalu para ulama juga ikut menyebar di barisan pasukan dan ikut bertempur sebagai mujahidin. Hal ini memberi pengaruh yang besar dalam mengangkat mental mereka, sehingga setiap prajurit tidak sabar lagi menunggu pertempuran agar dapat menunaikan kewajibannya.
Pada hari berikutnya, Sultan Al-Fatih membagi pasukan daratnya di depan tembok kota bagian luar. Ia membentuk tiga kelompok utama dengan tujuan untuk semakin memperketat pengepungan darat dari berbagai arah. Lalu ia juga menyiapkan pasukan cadangan yang berjaga-jaga di belakang pasukan utama. Setelah itu ia menempatkan meriam-meriam di hadapan tembok, terutama meriam kesultanan yang ditempatkan di depan pintu gerbang Thuba Qaby. Sultan juga menempatkan beberapa regu untuk melakukan pengawasan di sejumlah tempat yang tinggi dan dekat dari kota.
Pada saat yang sama kapal-kapal dari armada laut Utsmaniyah mulai diperintahkan untuk menyebar di sekitar perairan yang mengelilingi kota. Akan tetapi pada awalnya kapal-kapal tersebut tidak bisa masuk sampai ke Tanduk Emas karena keberadaan rantai raksasa yang menghalangi setiap kapal yang akan masuk dan bahkan menghancurkan setiap kapal yang mencoba mendekat. Kapal-kapal milik armada laut Utsmaniyah juga berhasil menguasai pulau-pulau para raja yang berada di laut Marmara[4].
Pada saat yang sama pula, pasukan Bizantium yang dipimpin langsung oleh Kaisar Konstantin XI juga menyebar di atas tembok benteng dan mengerahkan segala usaha yang dapat mereka lakukan untuk melindungi kota mereka dan mempertahankannya.
Pasukan Utsmaniyah memperketat pengepungan dan terjadi sejumlah kali bentrokan dan pertempuran antara pasukan kaum muslimin dengan pasukan Bizantium sejak hari pertama dari pengepungan. Banyak prajurit Utsmaniyah yang gugur sebagai syahid, yakni dari mereka yang ditugaskan mendekati gerbang-gerbang kota.
Sementara itu, meriam-meriam milik pasukan Utsmaniyah terus melepaskan tembakan dari berbagai posisi yang berbeda ke arah kota. Tembakan-tembakan serta suaranya yang menakutkan itu berefek besar dalam menyebabkan timbulnya rasa takut dan ngeri pada pasukan Bizantium yang berada di dalam kota, di samping juga berhasil menghancurkan beberapa bagian dari tembok yang mengelilingi kota.
Namun demikian, pasukan Bizantium yang mempertahankan kota segera menjaga bagian yang hancur itu dan dengan cepat berupaya membangunnya kembali. Di luar itu juga ada beberapa bantuan yang tiba dari Eropa dan mencoba memberi dukungan untuk kota Konstantinopel pada masa yang amat sulit tersebut. Di antaranya adalah pasukan Genoa yang terdiri dari lima kapal dan dipimpin langsung oleh panglima militer Genoa, Giustiniani, yang didampingi oleh tujuh ratus tentara sukarelawan yang datang dari berbagai penjuru Eropa.
Kapal-kapal mereka berhasil tiba di Konstantinopel setelah melewati pertempuran laut menghadapi kapal-kapal Utsmaniyah yang tengah mengepung kota. Kedatangan pasukan bantuan ini berpengaruh besar dalam mengangkat mental pasukan Bizantium. Bahkan, panglima dari pasukan itu, yakni Giustiniani yang dikenal sebagai sosok yang cerdas dan pemberani, diangkat sebagai komandan dari pasukan yang bertugas mempertahankan kota.[5]
__________________________
[1] Al-Qaramani: Salathin Ali Utsman (20), Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (96), Ali Hasun: Al-Utsmaniyyun wa Al-Balqan (88).
[2] Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (82), Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (132), Muhammad Shafwat: Fathu Al-Qusthanthiniyyah (57).
[3] Al-Qaramani: Salathin Ali Utsman (24, 25), Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (93), Ali Hasun: Al-Utsmaniyyun wa Al-Balqan (87).
[4] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (133), Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (98, Ali Hasun: Al-Utsmaniyyun wa Al-Balqan (89).
[5] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (134), Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (102), Ali Hasun: Al-Utsmaniyyun wa Al-Balqan (92), Muhammad Shafwat: Fathu Al-Qusthanthiniyyah (71).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar