Kamis, 09 April 2015

Muhammad Al-Fatih dan Penaklukan Konstantinopel (1)

Konstantinopel merupakan salah satu kota terpenting di dunia. Kota ini dibangun pada tahun 330 M oleh kaisar Romawi Bizantium Konstantin I[1]. Kota ini memiliki posisi yang sangat istimewa dalam peta internasional, sehingga pernah dikatakan, “Andaikan dunia adalah satu kerajaan besar, maka Konstantinopel adalah kota yang paling pantas untuk menjadi ibukotanya.”[2] Sejak kota ini selesai dibangun, orang-orang Romawi Bizantium telah menjadikannya sebagai ibukota, dan saat itu ia adalah kota terbesar di dunia dan sekaligus yang paling penting.[3]

Ketika kaum muslimin mulai masuk ke arena jihad menghadapi kerajaan Bizantium, kota ini telah memiliki posisi yang khusus dalam perang tersebut. Karena itulah dalam beberapa kesempatan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan kabar gembira kepada para shahabatnya mengenai penaklukan kota ini. Seperti yang terjadi pada saat perang Khandaq.[4]

Karena itulah, di lintasan sejarah, para khalifah dan pemimpin kaum muslimin seolah berlomba-lomba dan berusaha untuk menaklukkannya dengan harapan agar mereka dapat mewujudkan apa yang disampaikan dalam hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berbunyi,

لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْأَمِيْرُ أَمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ

“Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan (yang menaklukannya) itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.”[5]

Karena itulah, pasukan mujahidin kaum muslimin telah mengarahkan upayanya ke kota itu sejak masa Muawiyah bin Abu Sufyan pada saat dilancarkannya serangan Islam yang pertama ke kota itu pada tahun 44 H[6]. Akan tetapi serangan itu tidak berhasil. Pada masa Muawiyah terdapat sejumlah usaha lain yang dilakukan untuk menyerangnya, namun kembali dengan hasil yang sama.

Dinasti Umayyah kembali melakukan usaha selanjutnya untuk menaklukkan Konstantinopel. Serangan ini dianggap sebagai serangan terbesar yang pernah dilancarkan oleh dinasti Umayyah ke kota itu; yaitu serangan yang dilakukan pada masa Sulaiman bin Abdul Malik pada tahun 98 H[7].

Usaha untuk menaklukkan Konstantinopel tetap berlanjut. Pada masa-masa awal pemerintahan dinasti Abbasiyah, banyak serangan dan gerakan jihad yang dilancarkan terhadap kerajaan Bizantium, namun serangan-serangan tersebut belum berhasil mencapai Konstantinopel dan mengancamnya, meskipun serangan-serangan itu mampu menyebabkan kegoncangan di dalam kota itu serta mempengaruhi sejumlah peristiwa yang terjadi di sana. Khususnya serangan yang dilancarkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid[8] tahun 190 H.

Pada masa dinasti Utsmaniyah, banyak usaha baru yang dilakukan untuk menaklukkan Konstantinopel. Yang pertama adalah ketika ada usaha untuk menaklukkannya pada masa Sultan Bayazid (Ash-Sha’iqah), di mana pasukannya berhasil mengepungnya dengan kekuatan militer pada tahun 796 H-1393 M[9]. Ketika itu Sultan telah mencoba bernegosiasi dengan Kaisar Bizantium agar ia bersedia menyerahkan kota Konstantinopel kepada kaum muslimin secara damai. Namun, ia berupaya mengulur-ngulur waktu sementara ia terus berusaha meminta bantuan dari Eropa untuk mementahkan serangan kaum muslimin terhadap Konstantinopel.

Pada waktu yang sama, pasukan Mongol yang dipimpin oleh Timur Leng juga telah sampai dan memasuki wilayah Utsmaniyah serta membuat banyak kerusakan. Hal ini memaksa Sultan Bayazid untuk menarik kekuatannya dan melepaskan pengepungan dari kota Konstantinopel agar dapat turun langsung menghadapi pasukan Mongol bersama pasukan Utsmaniyah yang masih tersisa bersamanya.

Setelah itu, pecahlah perang Ankara yang terkenal antara kedua pasukan tersebut, yang dalam pertempuran itu Bayazid Ash-Sha’iqah jatuh ke dalam tawanan musuh dan ia wafat di dalam tawanan pada tahun 1402 M[10]. Hal ini membuat dinasti Utsmaniyah kembali terpecah untuk beberapa waktu, sehingga pemikiran untuk menaklukkan Konstantinopel pun harus terhenti untuk beberapa lama.

Ketika kondisi dalam negeri telah kembali terkendali dengan baik, semangat jihad pun kembali membara. Pada masa Sultan Murad II yang memerintah pada periode 824 H-863 H/1421-1451 M, terdapat sejumlah usaha untuk menaklukkan kota Konstantinopel, di mana pasukan Utsmaniyah pada masanya berhasil mengepung kota itu beberapa kali.

Selama beberapa kali pengepungan itu, raja Bizantium berusaha mengobarkan api fitnah di barisan pasukan Utsmaniyah dengan bantuan dari beberapa orang yang memilih untuk membelot dari Sultan[11]. Cara ini membuat Sultan kewalahan dan mengalihkannya dari tujuan utamanya, sehingga orang-orang dari dinasti Utsmaniyah belum bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan, kecuali di kemudian hari pada masa putranya Muhammad Al-Fatih.

Muhammad Al-Fatih sendiri telah mulai terlibat dalam urusan pemerintahan dan kesultanan pada masa pemerintahan ayahnya. Sejak itu ia juga telah ikut terlibat dalam banyak pertikaian dan perang yang terjadi antara dinasti Utsmaniyah dengan Bizantium dalam beberapa banyak kondisi yang berbeda.

Selain itu, Muhammad Al-Fatih juga telah sepenuhnya mempelajari dengan cermat usaha-usaha yang dilakukan oleh pasukan Utsmaniyah untuk menaklukkan Konstantinopel pada masa-masa sebelumnya. Bahkan, ia juga telah mengetahui berbagai usaha yang tak henti dilakukan sepanjang masa pemerintahan Islam yang berbeda.

Karena itulah, sejak Muhammad Al-Fatih mengambil alih pemerintahan dinasti Utsmaniyah pada tahun 855 H/1451 M[12], ia terus memusatkan pandangan dan perhatiannya kepada Konstantinopel dan selalu berpikir secara mendalam cara yang tepat untuk menaklukkannya.

Bisa jadi kecintaan Muhammad Al-Fatih kepada ulama dan kedekatannya dengan majelis-majelis mereka, membuatnya banyak membaca beberapa hadits Nabi berisi pujian kepada orang yang akan menaklukkan Konstantinopel; seperti sebuah hadits yang telah disebutkan sebelumnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, dan sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan (yang menaklukannya) itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.” Karena itulah Muhammad Al-Fatih sangat berambisi agar hadits Nabi itu dapat terwujud pada dirinya.

__________________________

[1] Sa’id Asyur: Urubba fi Al-Ushur Al-Wustha (290, dan lihat: Bernard Lewis: Istanbul, diterjemahkan oleh Sayyid Ridhwan Ali, Ad-Dar As-Su’udiyah lin Nasyr, Riyadh, 1402 H, hal 11.

[2] Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (54).

[3] Lihat gambaran tentang kota ini dalam: DR. Muhammad Mushthafa Shafwat: Fathu Al-Qusthanthiniyyah wa Sirah Sulthan Muhammad Al-Fatih (36-46).

[4] Lihat: Imam Ahmad bin Hanbal: Al-Musnad (4/303), dan lihat takhrij haditsnya pada DR. Akram Dhiya’ Al-Umari dalam: Al-Mujtama’ Al-Madani fi ‘Ahdi An-Nubuwwah Al-Jihad Dhiddu Al-Musyrikin (115), dan ia menilainya sebagai hadits hasan. Dan juga terdapat beberapa kabar gembira lainnya mengenai penaklukan kota itu yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (1/178, 2/174, 176, 4/193).

[5] Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnad-nya (4/335).

[6] Lihat: Khalifah bin Khayyath: Tarikh (207, 211). Ath-Thabari: Tarikh Ath-Thabari (6/131, 164), Ibnu Al-Atsir: Al-Kamil (3/420).

[7] Khalifah bin Khayyath: Tarikh (315). Ath-Thabari: Tarikh Ath-Thabari (8/117), Ibnu Al-Atsir: Al-Kamil (5/28, 43), Ibnu Khaldun: Al-Ibar (3/70).

[8] Khalifah bin Khayyath: Tarikh (458). Dan lihat: Ath-Thabari: Tarikh Ath-Thabari (10/69), Ibnu Al-Atsir: Al-Kamil (6/185, 186).

[9] Al-Qaramani: Tarikh Salathin Ali Utsman (18), Muhammad Farid Bek: Idem 139, Muhammad Mushthafa Shafwat: Fathu Al-Qusthanthiniyyah (12), dan lihat: Ibnu Hajar Al-Asqalani: Inba’ul Ghamr fi Abna’il Umar (3/247).

[10] Al-Qaramani: Idem (20), Ibnu Hajar: Idem (3/247), Ibrahim Bek Halim: At-Tuhfah Al-Halimiyyah (50), Muhammad Farid Bek Al-Muhami: Tarikh Ad-Daulah Al-Aliyyah (51), Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (53).

[11] Al-Qaramani: Idem (23), Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (120-121), DR. Sa’id Asyur: Urubba fi Al-Ushur Al-Wustha (654), Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (39).

[12] Lihat: As-Sakhawi: Adh-Dhau’ Al-Lami’ (10/47), Muhammad Farid Bek Al-Muhami: Tarikh Ad-Daulah Al-Aliyyah (160), Ali Hasun: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (22).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar