Selasa, 28 April 2015

Nama-nama Bulan Rajab dan Beberapa Hukum yang Terdapat Padanya

Sebuah pendapat mengatakan bahwa bulan Rajab ini memiliki empat belas sebutan:

Syahrullah (bulan Allah).[1]
Rajab.
Rajab Mudhar.
Munshilul Asinnah (waktu keluarnya mata pedang dari tempatnya).
Al-Asham (tuli).[2]
Al-Ashab.
Munaffis.
Muthahhir.
Ma’la.
Muqim.
Haram.
Muqasyqisy.
Mubri`u.
Fard.
Pendapat lain mengatakan bahwa Rajab memiliki tujuh belas nama, yaitu nama-nama di atas ditambah dengan:

Rajm.
Munshil Alah (tombak).
Manzi’ Al-Asinnah.
Banyak sekali hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab ini, di antaranya hukum yang berlaku pada masa jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat, apakah hal tersebut tetap berlaku setelah Islam datang, seperti peperangan –telah disebutkan sebelumnya– begitu pula sembelihan, karena semasa jahiliyah, orang-orang kafir menyembelih sembelihan yang mereka namakan Al-‘Atirah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya dalam Islam, mayoritas ulama berpendapat bahwa Islam telah membatalkan hukum ini. Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيْرَةَ

“Tidak ada fara’, tidak pula atirah.” (Muttafaq Alaih)[3]

Ada pula yang berpendapat bahwa hal tersebut tetap dianjurkan seperti yang dikemukakan Ibnu Sirin. Hal ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari penduduk Bashrah dan sekelompok ahli hadits dari kalangan ulama khalaf menguatkan pendapat ini. Hanbal juga menukil hal yang sama dari Imam Ahmad.

Mikhnaf bin Sulaim Al-Ghamidi meriwayatkan bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda ketika di Arafah,

إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً وَعَتِيْرَةً وَ هِيَ الَّتِي يُسَمِّيهَا النَّاسُ الرَّجَبِيَّةَ

“Sesungguhnya setiap penghuni rumah pada setiap tahun memiliki kurban dan persembahan, yang mereka namakan Ar-Rajabiyah.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah)[4]

Nubaisyah meriwayatkan bahwa para shahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami memberikan persembahan semasa jahiliyah – yakni pada bulan Rajab– beliau bersabda, “Sembelihlah kurban di bulan apa saja, dan berbaktilah kepada Allah, dan berikan makan (orang yang membutuhkan)” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah)[5]

Al-Harits bin Amr bin meriwayatkan, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya tentang Al-Fara’ dan Al-Ata`ir? Beliau menjawab, “Siapa yang mau, silakan memberi persembahan dan siapa yang tidak mau, maka jangan melakukannya. Siapa mau, silakan menyembelih dan siapa yang tidak ingin, maka jangan melakukannya” (HR. An-Nasa’i)[6]

Dalam hadits lain disebutkan, “Al-Atirah (sembelihan) adalah haq” (HR. An-Nasa’i)[7]

Abu Razin meriwayatkan,

“Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dulu di masa jahiliyah, kami menyembelih hewan-hewan sembelihan – yakni pada bulan Rajab- lalu kami makan dan memberi makan orang yang datang kepada kami?’ Beliau bersabda, “Tidak masalah dengan hal itu” (HR. An-Nasa`i)[8]

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma meriwayatkan,

“Orang-orang Quraisy meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk melakukan Atirah (penyembelihan), maka beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka, “Sembelihlah seperti yang dilakukan pada masa jahiliyah, tetapi siapa dari kalian yang mau menyembelih karena Allah, lalu makan darinya dan bersedekah, maka lakukanlah” (HR. Ath-Thabarani)[9]

Para ulama menggabungkan antara hadits-hadits yang membolehkan atirah dengan hadits yang berbunyi “Tidak ada Fara’ dan tidak ada pula Atirah.” Bahwa hal yang dilarang adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah, yaitu menyembelih untuk selain Allah. Sufyan bin Uyainah Rahimahullah berpendapat bahwa maksud hadits ini adalah meniadakan kewajiban untuk melakukan Atirah.

Di antara ulama, ada yang mengatakan bahwa hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu (tentang larangan melakukan Atirah) lebih shahih daripada hadits-hadits yang memperbolehkan sehingga yang harus diterapkan adalah hadits yang menerangkan larangan daripada hadits-hadits lain yang membolehkan. Ini adalah madzhab Imam Ahmad.

Mubarak bin Fudhalah meriwayatkan dari Al-Hasan, ia berkata, “Dalam Islam, tidak ada atirah, sesungguhnya atirah itu hanya ada pada masa jahiliyah. Salah seorang dari orang-orang tersebut puasa pada bulan Rajab dan menyembelih (atirah). Penyembelihan pada bulan Rajab ini serupa dengan menjadikannya sebagai musim untuk melakukan ketaatan dan hari raya, seperti memakan manisan dan sejenisnya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma bahwa ia tidak suka menjadikan Rajab sebagai hari raya.[10]

Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Atha`, ia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang untuk puasa pada seluruh bulan Rajab agar ia tidak dijadikan sebagai hari raya.”

Diriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kamu menjadikan satu bulan sebagai hari raya atau satu hari sebagai hari raya” (HR. Abdur Razzaq)[11]

Berdasarkan kepada hukum asalnya, kaum muslimin tidak boleh menjadikan hari raya selain yang dituntun oleh syariat, yaitu Idul Fitri, Idul Adha, hari-hari Tasyriq. Ini adalah hari raya tahunan dan juga hari Jumat yaitu hari raya mingguan. Adapun selain itu, maka menjadikan suatu bulan atau satu hari sebagai hari raya adalah bid’ah, dan tidak memiliki landasan hukum dalam syariat.[12]

 

 

__________________________

[1] Dalam hal ini telah diriwayatkan sebuah hadits lemah, silakan merujuk Dha’if Al-Jami’ (3094).

[2] Al-Asham, karena pada bulan tersebut tidak terdengar dentingan senjata, orang-orang jahiliyah menamakan Rajab dengan julukan Syahrullah Al-Asham (bulan yang tuli).

[3] Muttafaq Alaih. HR. Al-Bukhari (5473), Kitab: Al-Aqiqah, Bab: Al-Fara’; HR. Muslim (1976), Kitab:: Al-Adhahi, Bab: Al-Fara’u wa Al-‘Atirah. Maksud Al-Fara’ adalah anak pertama dari unta maupun kambing.

[4] Hadits Hasan. HR. Abu Dawud (2788), Kitab: Adh-Dhahaya, Bab: Ma Ja`a fi Ijabi al-Adhahi; HR. At-Tirmidzi (1518), Kitab:: Al-Adhahi Bab: 19; HR. An-Nasa`i (7/167) Kitab: Al-Fara’u wa Al-Atirah, Bab: (1); HR. Ibnu Majah (3125), Kitab: Al-Adhahi Bab: Al-Adhahi wajibah hiya am la?. Dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah (2533).

[5] Hadits Shahih. HR. Abu Dawud (2830), Kitab:: Al-Adhahi, Bab: Fil Al-Atirah; HR. An-Nasa`i (7/169-171), Kitab: Al-Fara’u dan Al-Atirah Bab: Tafsiru Al-Atirah; HR. Ibnu Majah (3167), Kitab:: Ad-Dzaba`ih Bab: Al-Far’ah wa Al-Atirah. Dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibn Majah (2565).

[6] Hadits dha’if. HR. An-Nasa`i (7/167, 169), Kitab: Al-Fara’ wa Al-Atirah, Bab: 1. Dinyatakan dha’if oleh Syaikh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ (5638).

[7] Hadits hasan. HR. An-Nasa`i (7/168), Kitab: Al-Fara’ wa Al-Atirah, Bab: 1. Dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (4122).

[8] Hadits shahih. HR. An-Nasa`i (7/171), Kitab: Al-Fara’ wa Al-Atirah, Bab: Tafsir Al-Fara`. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa`i (4244).

[9] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (11586); Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (4/28) mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Isma’il bin Abi Habibah, Ibnu Ma’in menilainya tsiqah (tepercaya), sementara yang lain menilainya lemah.”

[10] Dha’if (lemah) sekali. HR. Ibnu Majah (1743) diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dengan menjelaskan larangan tanpa menyebutkan alasannya. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Dha’if Ibn Majah (1743), “Lemah sekali.”

[11] Hadits Mursal. HR. Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (7853). Thawus adalah seorang tabi’in.

[12] Dalam hal ini terdapat bantahan bagi orang yang melakukan bid`ah dalam agama Allah dengan sesuatu yang bukan berasal darinya, yaitu hari raya yang tidak sesuai syariat. Seperti merayakan tahun baru hijriyah, maulid Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, malam Nishfu Sya’ban, Lailatul Qadar, dan perayaan lainnya yang bersifat bid’ah. Apalagi ikut serta bersama kaum Nashrani dalam perayaan mereka seperti perayaan tahun baru Masehi. Kepada mereka yang melakukan ini, kami katakan hadits Nabi yang berbunyi, “Siapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami ini apa yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar