Selain kasus korupsi kejahatan lain yang patut mendapat perhatian adalah tindak kekerasan dan kejahatan seksual pada anak dan perempuan. Sepanjang tahun 2014, kejahatan ini bukannya surut, malah mengalami peningkatan dengan tahun sebelumnya, dengan makin maraknya virus HIV/AIDS dan narkoba, termasuk miras oplosan yang telah memakan korban banyak.
Di tanah air kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan menjadi persoalan yang belum kunjung tuntas. Alih-alih tuntas, justru kuantitas dan kualitas kekerasan ini terus berkembang dan sepertinya ini terus mewarisi pada tahun-tahun baru berikutnya.
Kekerasan seksual terjadi di ranah personal yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan darah atau kekerabatan (ayah, kakak, adik, paman, kakek), selain itu hubungan remaja yang dikatakan pacaran juga tidak sedikit yang terjerat dalam kasus ini. Sedangkan kekerasan di ranah komunitas pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal juga ikut menambahkan jumlah korban.
Kasus kekerasan terhadap perempuan terus mengalir ke setiap penjuru negeri, mulai dari kota-kota besar hingga ke pelosok kampung sekalipun. Di ujung negeri ini di provinsi papua jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 1.360 kasus untuk setiap 10.000 perempuan.
Perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang berupa perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB) inilah yang memicu perkembangan dalam kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Melihat Indonesia yang disinyalir telah menjadi tempat tujuan wisata kaum pedofil mancanegara. Diduga kuat ada semacam event organizer yang mengelola wisata seks bagi kaum pedofil ini seperti di Bali dan Lombok yang banyak menjadi tujuan wisata kaum pedofil.
Perempuan akan cenderung dinilai sebagai pelengkap penderita semata. Dan dalih pemerintah yang selalu diulangi oleh semua presiden bahwa perempuan harus diberikan ruang gerak setara dengan laki-laki disetiap lini pemerintahan dan pembangunan kedepan. Maka besar harapan para pegiat gender kepada pemerintah khususnya presiden agar mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Dalam kacamata feminis, adanya ketidaksetaraan gender dianggap sangat merugikan perempuan, karena ketidaksetaraan ini memunculkan berbagai ketidakadilan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, kalangan feminis menilai bahwa liberalisasi/pembebasan kaum perempuan akan membuat kaum perempuan lebih maju.
Isu liberalisasi dan kesetaraan gender ini membawa dampak buruk bagi kaum perempuan, runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, merebaknya pelecehan dan meningkatnya kasus-kasus aborsi, eksploitasi perempuan, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar