Kamis, 09 April 2015

Muhammad Al-Fatih dan Penaklukan Konstantinopel (4)

Armada laut Utsmaniyah terus berupaya melewati rantai raksasa yang mengontrol kapal-kapal yang akan masuk ke selat Tanduk Emas, agar dapat membawa masuk kapal-kapal Islam ke sana. Mereka mencoba melepaskan panah-panah mereka untuk menyerang kapal-kapal Bizantium dan kapal-kapal Eropa yang berada di wilayah itu. Akan tetapi pada awalnya mereka belum bisa mewujudkan tujuan mereka. Kegagalan ini pada gilirannya semakin membangkitkan mental dari pasukan yang mempertahankan kota[1].

Sementara itu, para pendeta dan pemuka agama Nashrani terus berkeliling di dalam kota dan menyemangati pasukan yang mempertahankan kota agar tetap tegar bertahan dan bersabar. Mereka juga menyerukan agar orang-orang mau datang ke gereja dan berdoa kepada Al-Masih dan Bunda Maria agar menyelamatkan kota. Bahkan, Kaisar Bizantium sendiri sering mengunjungi gereja Hagia Sophia untuk tujuan yang sama.[2]

Kedua pasukan memperlihatkan semangat tempur yang luar biasa, baik pasukan penyerang yang dipimpin oleh Al-Fatih, maupun pasukan yang mempertahankan kota di bawah pimpinan Konstantin XI yang tak bosan-bosannya menawarkan berbagai penawaran yang berbeda kepada Sultan agar ia mau mundur dengan iming-iming harta, ketaatan, ataupun tawaran-tawaran lain yang ditawarkannya. Namun Al-Fatih Rahimahullah selalu menjawabnya dengan memintanya menyerahkan kota secara damai[3], dan jika ia mau menyerahkannya, Al-Fatih menjamin bahwa tidak ada seorang pun dari penduduknya yang akan disakiti, dan tidak ada satu pun dari gerejanya yang akan dirusak.

Isi pokok dari surat Sultan adalah, “Hendaklah raja kalian menyerahkan kota Konstantinopel kepadaku, dan aku bersumpah bahwa pasukanku tidak akan mengganggu seorang pun, baik pada dirinya, hartanya, maupun kehormatannya. Barang siapa yang ingin tetap tinggal, ia dapat tinggal di dalam kota dengan aman dan selamat, dan barang siapa yang ingin meninggalkan kota untuk pergi kemana pun yang ia kehendaki, maka ia juga dapat pergi dengan aman dan selamat.”[4]

Pengepungan masih tetap terasa kurang sempurna karena selat Tanduk Emas masih dikuasai oleh armada laut Bizantium. Meskipun demikian, serangan dari pasukan Utsmaniyah terus dilakukan tanpa ampun. Sementara itu, pasukan Yanisari memperlihatkan keberanian yang mengagumkan dan kegigihan yang tiada bandingnya. Mereka tak ragu untuk menyerbu maju mengikuti setiap tembakan meriam.

Pada tanggal 18 April 1453[5], meriam-meriam dari pasukan Utsmaniyah berhasil membuat sebuah celah di tembok benteng Bizantium, tepatnya di arah lembah Lekus yang berada di bagian barat dari tembok kota. Begitu celah itu terbuka, pasukan Utsmaniyah segera bergegas menuju ke sana agar dapat menerobos masuk ke dalam kota melalui celah tersebut, dan selain itu mereka juga tetap mencoba menerobos masuk dari bagian lain dengan menggunakan tangga-tangga yang mereka tempatkan di tembok benteng.

Akan tetapi, pasukan yang bertugas melindungi benteng, yang dipimpin oleh Giustiniani, berjuang mati-matian mempertahankan celah dan tembok itu, sehingga pertempuran berkecamuk semakin dahsyat antara kedua pasukan. Celah yang terbuka pada saat itu cukup sempit, sementara panah dan tombak yang diluntarkan oleh pasukan Bizantium kepada kaum muslimin berjumlah sangat banyak.

Karena sempitnya medan tempur, perlawanan musuh yang semakin keras, dan hari yang mulai gelap, maka Al-Fatih memerintahkan pasukannya untuk mundur, setelah sebelumnya sempat membuat musuh ketakutan, sembari mencari waktu lain yang lebih baik untuk menyerang[6].

Pada hari yang sama, sejumlah kapal armada laut Utsmaniyah juga kembali mencoba menembus selat Tanduk Emas dengan menghancurkan rantai besar yang menjadi penghalang itu, akan tetapi gabungan kapal-kapal Bizantium dan kapal-kapal Eropa, ditambah dengan beberapa kelompok pasukan penjaga yang bertugas di belakang rantai tersebut dan sekaligus menjaga jalan masuk teluk, berhasil secara bersama-sama memukul kapal-kapal Islam dan bahkan menghancurkan sebagiannya, sehingga banyak tentara laut kaum muslimin yang gugur sebagai syahid pada peristiwa itu. Hal ini membuat sisa-sisa kapal lainnya terpaksa harus kembali setelah gagal mewujudkan misinya.

Dua hari setelah pertempuran ini, terjadi pula sebuah pertempuran lain antara armada laut Utsmaniyah dengan sejumlah kapal perang Eropa yang mencoba untuk memasuki selat. Kapal-kapal kaum muslimin mengerahkan usaha yang luar biasa untuk menghalangi mereka, dan bahkan Al-Fatih sendiri turun langsung mengawasi jalannya pertempuran dari pinggir pantai. Akan tetapi pada akhirnya kapal-kapal Eropa berhasil sampai di tujuannya, dan kapal-kapal Utsmaniyah gagal menghalanginya meskipun telah banyak usaha yang dilakukan untuk itu. Sultan Al-Fatih sangat marah atas peristiwa ini dan segera memecat panglima pasukan laut.[7]

Sejumlah kekalahan yang diderita pasukan kaum muslimin itu memiliki peran yang cukup besar pada munculnya beberapa usaha dari sebagian penasehat Sultan, terutama menteri Khalil Basya, untuk meyakinkannya agar mau melupakan ambisinya untuk menguasai Konstantinopel dan mau menerima perjanjian damai dengan penduduknya tanpa harus menguasainya, lalu kemudian membuka dan menghentikan pengepungan.

Akan tetapi, Sultan Al-Fatih tetap bersikeras untuk berusaha melakukan penaklukan dan tetap memerintahkan untuk menyerang titik-titik pertahanan kota dengan meriam dari sejumlah tempat yang berbeda. Sementara itu, pada saat yang sama, ia tak henti berpikir keras mengenai cara untuk memasukkan kapal-kapal Islam ke selat Tanduk Emas, apalagi bahwa tembok-tembok yang menghadap Teluk Emas itu terlihat lemah. Hal itu tentunya akan memaksa Bizantium menarik sebagian pasukannya yang bertahan di benteng barat dari kota.

Dengan terpecahnya kekuatan pasukan yang mempertahankan kota, tentunya kesempatan akan menjadi lebih besar untuk menyerang tembok-tembok tersebut setelah pasukan yang bertugas mempertahankannya menjadi berkurang.

Akhirnya, Sultan Al-Fatih berhasil menemukan cara yang bisa memasukkan kapal-kapalnya ke Tanduk Emas tanpa harus masuk ke dalam pertempuran dengan pasukan laut Bizantium dan sekaligus melewati rantai raksasa yang menutupi jalan masuk selat tersebut. Cara itu adalah dengan menyeret kapal-kapal Utsmaniyah di daratan sampai melewati rantai yang menutupi jalan selat dan juga melewati garis-garis pertahanan lainnya.

Setelah melewati semua itu, barulah kapal-kapal itu kembali diturunkan ke laut. Al-Fatih bersama para ahli militernya telah mempelajari hal ini dan mereka pun telah mengetahui apa saja peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan itu. Mereka juga telah mempelajari dengan cermat jalur darat yang akan ditempuh untuk menyeret kapal-kapal, yang jaraknya diperkirakan kurang lebih sekitar tiga mil. Setelah mempelajari semua itu dengan sangat teliti dan penuh ketenangan, Al-Fatih merasa puas dengan ide tersebut dan ia juga memperoleh dukungan dari para ahli militer untuk melaksanakannya.

Pekerjaan besar itu dilakukan dengan penuh hati-hati dan secara rahasia. Dimulai dengan meratakan jalan dan mempersiapkannya tanpa ada orang Bizantium yang mengetahui maksudnya. Selain itu, kayu dan minyak juga diperintahkan untuk dikumpulkan dalam jumlah yang sangat besar. Setelah melengkapi seluruh peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan, maka pada sore hari tanggal 21 April 1453, Sultan Al-Fatih memerintahkan pasukannya untuk menarik perhatian pasukan Bizantium yang berada di Tanduk Emas dengan melakukan beberapa usaha penyeberangan melewati rantai raksasa, sehingga seluruh kekuatan Bizantium berkumpul dan tidak lagi memiliki kesempatan untuk memperhatikan apa yang tengah terjadi pada sisi lainnya.

Pada saat-saat yang genting itu Sultan Al-Fatih terus memerintahkan pasukan untuk meletakkan kayu-kayu di jalan yang telah diratakan sebelumnya dan kemudian kayu-kayu itu dilumuri dengan minyak. Kemudian kapal-kapal yang ada di selat Bosforus diseret ke darat menggunakan kayu-kayu yang telah dilumuri dengan minyak itu sejauh tiga mil, hingga sampai di titik yang aman, dan kemudian kapal-kapal tersebut diturunkan kembali ke selat Tanduk Emas.

Pada malam itu, pasukan Utsmaniyah berhasil menyeret lebih dari tujuh puluh kapal dan menurunkannya di selat Tanduk Emas pada saat musuh dalam keadaan lengah, dan dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sultan Al-Fatih sendiri turun langsung untuk mengawasi operasi rahasia yang berlangsung pada malam hari tersebut dan jauh dari pandangan musuh dan pengawasan mereka.

 

__________________________

[1] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (134), Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (120).

[2] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (137), Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (100).

[3] Yusuf Ashaf: Tarikh Salathin Ali Utsman (58).

[4] Abdussalam Fahmi: Muhammad Al-Fatih (92).

[5] Pencatatan hari-hari saat berlangsungnya pertempuran dilakukan dengan penanggalan Masehi, dan saya tidak menemukan buku yang menuliskan hari-harinya mengikuti penanggalan hijriah, karena itu saya mohon maaf karena hanya menyebutkan penanggalan Masehi.

[6] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (136), Abdussalam Fahmi: Muhammad Al-Fatih (123).

[7] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (134), Abdussalam Fahmi: Muhammad Al-Fatih (97), Muhammad Abdullah Anan: Mawaqif Hasimah (180).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar