Senin, 20 April 2015

Tata Cara Turun untuk Sujud (2)

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ. أَخْرَجَهُ اْلأَرْبَعَةُ

(Wa`il mengatakan) “Aku melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam apabila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Diriwayatkan oleh empat ulama hadits.[1]

Syarah Hadits

Perkataannya, “Aku melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam” ini adalah penglihatan dengan kasat mata bukan hanya sebagai pengetahuan, karena berkaitan dengan sesuatu yang nampak oleh mata.

Perkataannya, “Meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.” Ini kebalikan dari hadits riwayat Abu Hurairah yang telah berlalu, yakni “Hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”

Akan tetapi mengapa derajat hadits riwayat Abu Hurairah lebih kuat? Jawabnya, hadits pertama diperkuat oleh hadits riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma yang dinyatakan shahih Ibnu Khuzaimah dan disebutkan oleh Al-Bukhari secara muallaq dan mauquf.

Inilah dari sisi kekuatannya. Adapun jika kita menginginkan untuk mengunggulkannya dengan banyak perawi yang meriwayatkan hadits niscaya hadits riwayat Wa`il lebih kuat; karena diriwayatkan oleh empat orang ulama hadits sedangkan hadits riwayat Abu Hurairah tersebut di atas diriwayatkan oleh tiga orang ulama hadits.

Secara zhahir, penulis kitab ini, Ibnu Hajar menyatakan bahwa di antara kedua hadits tersebut terdapat pertentangan di mana keduanya tidak mungkin digabungkan melainkan dengan cara memilih yang lebih kuat.

Ibnu Hajar Rahimahullah lebih menguatkan hadits riwayat Abu Hurairah daripada hadits riwayat Wa`il, sebagaimana diketahui bahwa metode tarjih (memilih yang lebih kuat) mengharuskan pembatalan salah satu di antara dua pendapat.

Maksudnya, apabila engkau mengatakan, “Pendapat ini lebih kuat daripada yang itu,” berarti engkau membatalkan pendapat yang lemah. Sebagaimana diketahui apabila seseorang mendapati dua dalil yang secara zhahir bertentangan baik di dalam Al-Qur`an atau hadits maka kita menggunakan urutan sebagai berikut:

Pertama, kita berusaha menggabungkan kedua dalil dengan menerapkan salah satunya suatu pemahaman dan yang lainnya pada pemahaman yang lain pula hingga keduanya tidak bertentangan.

Inilah yang wajib dilakukan karena apabila menggabungkan kedua hadits dengan metode ini berarti kita mengamalkan keduanya secara menyeluruh tanpa melemahkan salah satunya.

Mengenai tata cara penggabungan tersebut kita menerapkan salah satu dalil pada suatu keadaan yang tidak bertentangan dengan dalil yang lain, baik berkenaan dengan masa, tempat, keadaan orang yang diterangkan dalam dalil, atau hal lainnya sesuai keadaan.

Kedua, jika tidak memungkinkan untuk digabungkan, maka kita tinjau dari sisi sejarah. Apabila salah satunya datang kemudian maka dalil tersebut diperlakukan sebagai penghapus hukum dari dali yang pertama. Nasakh (penghapusan hukum) terdapat di dalam Al-Qur`an dan hadits.

Ketiga, jika kita tidak mengetahui sejarah dalil tersebut, maka kita kembali ke metode tarjih (memlih yang lebih kuat). Hal-hal yang menguatkan sebuah dalil itu banyak dan telah disebutkan oleh ulama ahli ushul fikih dan hadits.

Dalil yang lebih kuat dari berarti melemahkan dalil lainnya, baik keunggulannya dari sisi penetapan atau dari sisi pendalilan. Jika ada dua dalil yang bertentangan maka boleh jadi salah satunya lebih kuat dari sisi pendalilan. Ada dalil yang dipahami dengan beberapa kemungkinan dan ada yang hanya dipahami secara pasti tanpa ada kemungkinan lainnya, sehingga dalil yang dipahami secara pasti tentunya lebih kuat, hal ini jelas adanya.

Boleh jadi ada dalil yang lebih kuat daripada yang lainya dari sisi penetapan, di mana salah satunya diriwayatkan oleh banyak perawi, atau yang lain diriwayatkan dengan jalur periwayatan kedua bukan jalur periwayatan yang pertama. Masih banyak cara-cara dalam metode tarjih.

Keempat, Apabila kita tidak dapat melakukan metode tarjih, kewajiban kita adalah berhenti dan mengembalikan ilmunya kepada Allah Ta’ala. Yang dapat diamati dari urutan menggabungkan dalil ini sekalipun para ulama mewajibkannya, namun faktanya cara tersebut merupakan sesuatu yang relatif.

Maksudnya, manusia tidak mengetahui hal tersebut, adapun secara syari’at maka tidak mungkin terjadi. Sebab, agama ini sudah jelas dan tegas sedangkan yang tersembunyi datang dari keterbatasan manusia.

Tingkatan yang keempat ini yaitu berhenti dan menyerahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala dari sisi syari’at tidak mungkin, akan tetapi kalau diukur dari pemahaman manusia menjadi mungkin.

Seseorang boleh jadi tidak sanggup menguatkan suatu dalil hingga memiliki ilmunya, maka pada saat itulah dia berhenti. Terkadang ada seseorang yang berhenti dari awal melihat dua dalil yang bertentangan karena tidak mengetahui sejarah dan tidak sanggup memilih yang kuat di antara keduanya.

Jadi, permasalahan ini merupakan masalah relatif, sedangkan jika dikatakan bahwa ada dua dalil yang benar-benar bertetangan dan tidak dapat digabungkan sama sekali setelah melalui beberapa cara yang telah disebutkan di atas, maka itu merupakan perkara yang tidak mungkin.

Alasannya, jika demikian adanya maka berarti dalam agama ini terdapat sesuatu yang belum dijelaskan. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur`an, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maa`idah: 3).

Jika kita asumsikan bahwa dalam agama ini terdapat sesuatu yang tidak diketahui, berarti agama ini belum disempurnakan, padahal segala sesuatu dalam agama ini telah jelas. Akan tetapi bisa terjadi pertentangan yang tidak mungkin dipecahkan dengan tiga metode tersebut di atas berdasarkan pengamatan seorang mujtahid yang tidak mengetahui cara menggabungkan dua dalil tersebut.

Hal ini karena terbatasnya ilmu dan pemahaman seseorang atau karena tidak dapat mencermati dan meneliti dalil. Namun jika katakan bahwa ada dua dalil yang tidak bisa digabungkan sama sekali setelah melalui tidak metode di atas secara fakta, maka ini merupakan perkara yang tidak mungkin.

 

 

__________________________

[1] HR. Abu Dawud, kitab Shalat, bab bagaimana seseorang mendahulukan kedua lututnya daripada kedua tangannya (nomor 838); HR. At-Tirmidzi, kitab Shalat bab Keterangan perihal meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan (nomor 268; HR. An-Nasa`í, kitab Pelaksanaan bab Apa yang pertama kali sampai ke tanah tatkala seseorang akan sujud (nomor 1089); HR. Ibnu Majah kitab Mendirikan Shalat, bab Sujud (nomor 882).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar