Kamis, 09 April 2015

Muhammad Al-Fatih dan Penaklukan Konstantinopel (2)

Sultan Al-Fatih mengerahkan segala usahanya untuk menyusun rencana dan mengatur semua aspek yang dibutuhkan untuk menaklukkan Konstantinopel. Untuk itu ia telah berusaha keras memperkuat militer Utsmaniyah dengan tambahan personil pasukan hingga mencapai hampir seperempat juta mujahid[1]. Ini merupakan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan kekuatan militer negara lain pada masa itu.

Di samping itu, Sultan Al-Fatih juga memiliki perhatian khusus untuk mengadakan pelatihan bagi pasukan itu dan membekalinya dengan berbagai macam seni tempur yang berbeda dan menggunakan aneka macam senjata, sehingga mereka siap untuk menghadapi operasi jihad yang telah direncanakan. Sultan juga tidak lupa menyiapkan pasukannya agar memiliki mental yang kuat, dengan terus menanamkan semangat jihad di dalam diri mereka. Tak lupa pula ia mengingatkan mereka akan pujian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap pasukan yang akan menaklukkan Konstantinopel, dan berharap agar merekalah pasukan yang dimaksudkan di dalam hadits itu.

Semua ini membekali mereka dengan kekuatan mental dan keberanian yang tidak ada bandingannya. Selain itu, penyebaran ulama di barisan pasukan juga memiliki peran yang sangat besar dalam mengokohkan tekad mereka dan mengikat mereka dengan jihad dalam arti yang sebenarnya, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala.

Sultan Al-Fatih juga mencurahkan perhatian yang besar untuk mendirikan benteng Rumeli Hishari di sisi Eropa dari selat Bosforus yang berada pada titik tersempit dari selat tersebut, dan berhadapan langsung dengan sebuah benteng yang dibangun pada masa Sultan Bayazid yang berada di sisi Asia.

Raja Bizantium sendiri berusaha untuk mencoba membujuk Sultan Al-Fatih agar ia membatalkan rencananya mendirikan benteng tersebut, dan ia berjanji akan menggantinya dengan jumlah harta yang banyak. Namun Sultan Al-Fatih tetap bersikeras mendirikannya karena ia mengetahui bahwa daerah itu memiliki posisi yang sangat strategis dari segi militer. Akhirnya selesailah pembangunan sebuah benteng yang cukup tinggi dan memiliki pertahanan yang sangat baik. Tinggi benteng itu mencapai 82 meter.

Dengan demikian, kedua benteng itu berdiri berhadap-hadapan dan hanya terpisah oleh jarak 660 meter, dan keduanya memiliki control atas kapal-kapal yang melintas dari arah timur Bosforus ke arah barat. Peluru-peluru meriam yang dimilikinya mampu menghalangi kapal mana pun untuk sampai ke Konstantinopel dari wilayah-wilayah yang berada di bagian timurnya, sepeti kerajaan Trabzon dan daerah-daerah lainnya yang diperkirakan bisa memberikan bantuan dan sokongan untuk kota pada saat dibutuhkan[2].

Sultan Al-Fatih juga memberi perhatian khusus pada proses pengumpulan senjata-senjata yang dibutuhkan untuk serangan yang telah direncanakan itu. Alat yang paling utama adalah meriam-meriam, yang mana untuk itu Sultan secara khusus mendatangkan seorang insinyur dari Hongaria yang bernama Orban, dan ia sangat ahli dalam pembuatan meriam.

Sultan menyambut orang itu dengan baik dan memenuhi semua kebutuhannya, baik itu berupa dana, materi yang dibutuhkan untuk membuat meriam, maupun bantuan tenaga manusia. Insinyur tersebut berhasil merancang dan menyelesaikan pembuatan sejumlah meriam besar, yang paling utama adalah meriam kesultanan yang begitu terkenal saat itu. Diceritakan bahwa beratnya mencapai ratusan ton dan membutuhkan ratusan banteng yang kuat untuk menggerakkannya. Sultan Al-Fatih turun langsung mengawasi proses pembuatan meriam-meriam ini dan juga percobaannya[3].

Selain semua persiapan yang dilakukan di atas, Sultan Al-Fatih juga memberi perhatian khusus kepada armada laut Utsmaniyah. Sultan terus berupaya memperkuatnya dan membekalinya dengan berbagai macam jenis kapal yang berbeda agar ia siap melakukan perannya dalam serangan terhadap Konstantinopel yang merupakan sebuah kota laut. Sehingga, pengepungannya tidak akan lengkap tanpa adanya armada laut yang kuat dalam mengemban misi itu. Diceritakan bahwa jumlah kapal yang disiapkan untuk misi ini mencapai lebih dari empat ratus kapal[4].

Sebelum menyerang Konstantinopel, Sultan Al-Fatih juga membuat sejumlah perjanjian damai dengan musuh-musuhnya agar ia dapat memusatkan perhatiannya kepada satu musuh saja. Maka ia membuat perjanjian damai dengan kerajaan Galata yang terletak di bagian timur Konstantinopel dan hanya terpisahkan oleh selat Tanduk Emas. Ia juga membuat perjanjian damai dengan Al-Majd dan Venesia, yang mana keduanya merupakan kerajaan Eropa yang berada di sekitar Konstantinopel.

Akan tetapi, semua perjanjian itu tidak berguna saat ia mulai melancarkan serangan terhadap Konstantinopel, karena pasukan dari kota-kota itu dan juga kota lainnya terus berdatangan untuk ikut ambil bagian dalam mempertahankan Konstantinopel[5]. Itu merupakan sebuah bentuk solidaritas terhadap bangsa mereka sendiri dari kaum Nashrani, dengan melupakan perjanjian damai yang telah mereka tanda tangani dengan kaum muslimin.

Ketika Sultan Al-Fatih masih mempersiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk menaklukkan Konstantinopel, Kaisar Bizantium terus berjuang mati-matian untuk membujuknya mengurungkan niatnya dengan menawarkan beraneka macam hadiah dan harta benda kepadanya, serta dengan berupaya menyuap beberapa orang penasehatnya agar dapat mempengaruhi keputusannya[6]. Akan tetapi Sultan Al-Fatih telah berketetapan hati untuk menjalankan rencananya dan semua gangguan itu sama sekali tidak membuatnya berpaling dari tujuannya.

Ketika Kaisar Bizantium menyaksikan betapa kuat tekad yang dimiliki oleh Sultan untuk meraih tujuannya, ia segera meminta bantuan dari berbagai negara dan kota yang berbeda di Eropa, terutama dari Paus sebagai pemimpin tertinggi dalam agama katolik. Padahal ketika itu gereja-gereja yang berada di wilayah kerajaan Bizantium dan khususnya gereja Konstantinopel sendiri adalah pengikut gereja ortodoks yang memiliki permusuhan yang sengit dengan gereja katolik.

Oleh karena itulah, Kaisar terpaksa harus menyenangkan hati Paus dengan mendekat kepadanya serta memperlihatkan kesiapannya untuk mengerahkan segala usahanya dalam menyatukan gereja ortodoks timur agar mau tunduk kepada Paus, padahal saat itu gereja ortodoks sendiri belum menyatakan ketertarikannya untuk itu.

Berdasarkan permintaan itu, Paus mengirimkan wakilnya ke Konstantinopel, yang kemudian menyampaikan kotbah di gereja Hagia Sophia, yang mana ia mendoakan Paus serta mengumumkan tentang bersatunya kedua gereja. Hal ini menyulut amarah dari jemaat ortodoks yang berada di kota itu dan mendorong mereka untuk melakukan gerakan penolakan terhadap kesepakatan yang dibuat oleh sang kaisar katolik tersebut. Bahkan salah seorang pemimpin gereja ortodoks berkata, “Sungguh aku lebih suka melihat sorban orang-orang Turki di wilayah Bizantium daripada harus melihat topi-topi latin.”[7]

 

__________________________

[1] Muhammad Farid Bek: Tarikh Ad-Daulah Al-Aliyyah (161).

[2] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (131), Muhammad Farid Bek Al-Muhami: Tarikh Ad-Daulah Al-Aliyyah (161), dan lihat: Al-Qaramani: Tarikh Salathin Ali Utsman (26).

[3] Lihat: Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (132), Abdul Aziz Fahmi: Muhammad Al-Fatih (79), Muhammad Mushthafa Shafwat: Fathu Al-Qusthanthiniyyah (74).

[4] Al-Qaramani: Salathin Ali Utsman (26), Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (90).

[5] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (132), Muhammad Farid Bek: Tarikh Ad-Daulah Al-Aliyyah (162), Muhammad Mushthafa Shafwat: Fathu Al-Qusthanthiniyyah (70), dan lihat: Yusuf Ashaf: Tarikh Salathin Ali Utsman (58).

[6] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (134), Muhammad Shafwat: Fath Al-Qusthanthiniyyah (69).

[7] Yilmaz Oztuna: Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah (132), dan lihat: Salim Ar-Rasyidi: Muhammad Al-Fatih (89), Muhammad Shafwat: Fathu Al-Qusthanthiniyyah (55).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar